Pers memiliki banyak pengaruh dalam perhelatan sejarah bangsa ini. Keberadaannya pers mengikat simpul penting untuk memberitahu informasi atas keterbatasan manusia menilik ruang dan waktu. R.M. Tirtoadhisoerjo dengan Medan Prijaji-nya, Haji Misbach dengan Islam Bergerak dan Medan Moeslimin, Mas Marco Kartodhikromo dengan Doenia Bergerak, Semaun dengan Sinar Hindia.
Muhammad Hatta dan Sjahrir membikin Daulat Ra’yat, Amir Sjarifudin dengan Redaksi Benteng, Ir. Soekarno Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat, Ki Hadjar Dewantara dengan Persatoean Indonesia, Dr. Soetomo dengan Soeloeh Indonesia.
Para pejuang era pergerakan pada waktu itu menyandarkan diri pada pers. Keberadaan pers cukup diperhitungkan dalam menyebarkan kesadaran mengenai politik bangsa. Di atas tanah yang dinamakan Indonesia, kita melihat banyak sekali perubahan di atasnya. Mulai dari bercokolnya konsep monarki, kemudian digantikan oleh kesadaran berdemokrasi, syahdan kesadaran untuk berpikir dan merumuskan tak dapat dihindarkan begitu saja.
Mafhum, Benedict Anderson dalam Imagined Communities (Pustaka Pelajar, 2008) untuk melahirkan komunitas-komunitas terbayang yang benar-benar sadar siapakah dirinya ditengah waktu yang senantiasa bergerak, Anderson mencontohkan pers dan novel sebagai lenteranya. (Hlm. 36).
Nasib Mas Marco Kartodikromo kala membikin Doenia Bergerak, berimbas digiring ke penjara. Beberapa kali Mas Marco keluar masuk penjara, suara lantangnya melalui Doenia Bergerak membuat kolonial merah kupingnya. Pada 1915, Mei 1917, dan yang terakhir 1918 ia dibuang di Digul sampai menghembuskan napas terakhir.
Bersandar pada pers penuh dengan risiko. Begitu juga dengan tokoh penting dalam pers pertama di Indonesia, adalah R.M. Tirtoadhisoerjo. Melalui Soenda Berita dan Medan Prijaji-nya, ia menyampaikan informasi cukup revolusioner terkait kesadaran bangsa yang berhadapan dengan Kolonial Belanda.
Tirtoadhisoerjo menilik bagaimana derita, pesakitan, terinjak, selalu di urutan terakhir, yang membikin negeri terjaja akan terus ditekuk. Lebih dahulu sebelum Mas Marco, Misbach, Semaoen, dsb, R.M Tirtoadhisoerjo cukup getol atas derita yang menimpa anak-anak bangsa. Melalui pers yang dia buat, membuktikan apa yang pernah disampaikan Napoleon, bahwa “pena lebih berbahaya dibandingkan selongsong peluru.”
Sebuah buku persembahan dari Penulis Leknas/ Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) yang berkolaborasi dengan KITLV, waktu itu Drs. Jaap Erkelens wakil kepala perwakilan KITLV di Jakarta, kurang lebih menggambarkan cukup terang sejarah Pers di Indonesia. Beberapa tokoh penting seperti A.B Lapian, P. Swantoro, Leo Suryadinata, Taufik Abdullah, dan Abdurrachman Surjomihardjo sebagai ketua penelitian, merancang suguhan pengetahuan menyoal pers di Indonesia.
Penelitan itu menyelipkan sebuah diktum hukum yang dibikin Belanda agar dengan mudah membredel pers agar tak macam-macam menggoyang kursi kekuasan kolonial. Dalam Drukspersreglement 1856, Retroacta Nota Bag. A I. MvK (03 Februari 1913); lanjutan dari nota yang disebutkan dalam Vb sebelumnya. Memberikan contoh dari beberapa surat-surat kabar (Medan Prijaji, Warna Warta, Pewarta Soerabaja, Kaoem Moeda, Sinar Djawa) tentang bahasa yang menghasut.
Medan Prijaji milik Tirtoadhiesorjo, Sinar Djawa milik Semaoen, Warna Warta dimiliki oleh seorang perantua Tionghoa bernama Th. H. Pao dan PL. Gouw, Kaoem Moeda yang dikomandoi oleh Abdul Moeis dan Pewarta Soerabaja yang juga diinisiasi oleh perantau Tionghoa yang juga menyuluh gagasan nasionalisme.
Mengambil istilah Pierre Bourdieu, realitas sosial riskan terjadi benturan ide. Bordieou mengistilahkan itu sebagai champ (arena pertarungan). Sebuah ruang sosial yang terdiri dari pelbagai kelompok itu, akan mempertaruhkan sebuah gagasan. Tirtoadhiesorjo mengingingkan kebebasan dari cengkeraman kolonial. Sedangkan pihak kolonial menerbitkan Drukpersreglement 1856 untuk membuat mulut para lawannya agar terkatup. Het leven zit vol gokken.
Pers, Pengetahuan, dan Kuasa
Tahun 2024, RUU Penyiaran membuat gaduh. Di beberapa daerah seperti di Surakarta, Jakarta, Sulawesi, Bali, dsb telah dihelat unjuk rasa untuk menarik kembali RUU tersebut, yang dirasa dapat membungkam kebebasan berpendapat.
DPR tengah merevisi UU No. 32 Tahun 2002 mengenai penyiaran. Dalam Pasal 50B ayat (2), di situ mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme, terorisme.
Tak hanya itu, RUU penyiaran mengandung pasal yang saling tumpang tindih. Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang telah diatur di Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) membikin kedua lembaga tersebut mengalami tumpang tindih dalam penentuan tugas pokok dan fungsi antara Dewan Pers dan KPI.
Dunia Pers semakin dipepatkan ruang penyampaiannya bila saja RUU itu lekas disahkan. Bila kita menilik buku gubahan Tom Tom Rosenstiel dan Bill Kovach disitu dijelaskan cukup gamblang salah satu dari sembilan kriteria tersirat bahwa jurnalistik itu sebagai ‘Pemantau Kekuasaan.’ Di balik kata itu ada sebuah informasi yang harus disampaikan kepada khalayak umum mengenai kebijakan pemerintah, apakah kebijakan sudah sesuai atau tidak, Pers berperan untuk menyuluh informasi tanpa tedeng aling-aling.
Jurnalisme investigasi yang diolah dengan waktu, tenaga, dan kesempatan yang tidak gampang. Keberadaan Jurnalisme investigasi sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk menilik kebijakan pemerintah yang sering kali tertutup rapat. Jurnalisme investigasi jadi corong penting kepada masyarakat untuk menilik apakah kebijakan yang dibikin oleh penguasa sudah berpihak kepada kelompok papa atau bahkan sebaliknya.
Syahdan, pers sebagai sebagai lumbung informasi mengajak para pembacanya untuk menyusun dan menelaah realitas melalui struktur pengetahuan yang mereka miliki. Mengutip Ketut Wiradnyana dalam mengulas pemikiran Michel Foucault bahwa kesadaran akan pengetahuan adalah kekuasaan itu sendiri menjadikan kebenaran yang ada padanya tidak tunggal, sehingga kebenaran memerlukan multipengetahuan. (YOI, 2018).
Foucault menolak memandang kekuasaan itu sebagai subjek yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek dianggap membatasi, atau menindas. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi/hukum agar membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang bersifat fisik tetapi dikontrol, diatur dan disiplinkan lewat wacana.
Pers sebagai piranti penyuluh informasi berisiko diredupkan dari waktu ke waktu. Melalui aturan hukum berupa RUU Penyiaran itu, bila sahaja aturan itu disepakati, maka khalayak diajak untuk disiplinkan atau dalam hal lain dikooptasi kebebasannya. Sekian.