Sarekat Islam menandai munculnya kepemimpinan baru dalam Islam semasa Hindia Belanda, di mana figur-figur seperti jurnalis-pengusaha Tirtoadisurjo, dan pedagang batik Samanhoedi, juga politisi-ideolog Tjokroaminoto, tampil sebagai pemimpin-pemimpin baru Muslim. Mereka giat menjalin jejaring dan lantang menyuarakan ide kemajuan yang sama dengan yang disuarakan kalangan priyayi baru.
SI didefinisikan sebagai sebuah asosiasi umat Muslim yang bekerja dalam kerangka semangat etis kemajuan, di mana Islam dijadikan sebagai “penanda kepribumian (nativeness)” (Shiraishi, 1997: 43), dan sebagai motor penggerak perjuangan demi kemajuan.
Lebih lanjut, tokoh-tokoh SI:
Raden Mas Tirtoadisurjo (1875-1918) adalah seorang priyayi Jawa baru yang mengawali pendirian sebuah organisasi modern dengan label Islam, dan organisasi itu dibentuk sebagai motor penggerak bagi kemajuan.
Lahir di Blora, Jawa Tengah, Tirtoadisurjo berasal dari sebuah keluarga bupati di Bojonegoro. Laiknya priyayi lain pada masanya, dia memperoleh pendidikan Belanda. Dia masuk STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen; Sekolah Pendidikan Dokter Hindia), sebagaimana Abdul Rivai atau Wahidin. Bedanya, Tirto tetapi tidak tamat. Perhatiannya pada jurnalisme membuatnya lebih aktif dalam menulis tinimbang menghabiskan waktu menyelesaikan ujian akhirnya, Inlandsche Arts examination, sebagai syarat untuk menjadi dokter Jawa (Adam, 2003: 10-15).
Seperti mahasiswa STOVIA lainnya, dia menolak menjadi pegawai sipil pemerintah sebagai seorang pangreh praja. Khusus bagi Tirto, penolakan ini juga barangkali berkelindan pengalamannya pada 1888, ketika dia melihat kakeknya, Tirtonoto, dipecat dari Bupati Bojonegoro, yang rupanya korban dari muslihat yang direncanakan oleh seorang patih dan saudaranya, pembantu residen berkebangsaan Indo-Eropa (Sutherland, 1983: 57).
Karir Tirtoadisurjo di jagat jurnalisme bermula ketika dia menjadi koresponden untuk Hindia Ollanda pada 1894, dan kemudian sebagai pemimpin redaksi Pemberita Betawi dari April 1902 sampai 1903.
Tidak lama setelah itu, dia mulai menerbitkan majalahnya sendiri, Soenda Berita, pada Agustus 1903. Majalah milik pribumi yang terbit mingguan dalam bahasa Melayu (Adam, 2003: 109-10). Namun, namanya mulai meroket ketika dia menerbitkan Medan Prijaji, majalah mingguan yang terbit perdana pada 1 Januari 1907, dengan Tirtoadisurjo sebagai editor dan sekaligus pengelola.
Majalah tersebut dibuat untuk mewakili aspirasi Sarekat Priyayi, sebuah perkumpulan yang dia coba dirikan sebagai hasil perjalanannya keliling Jawa pada Maret 1906 (Shiraishi, 1997: 33). Penerbitan majalah itu terwujud dengan sokongan priyayi Temanggoeng Pandji Ardjodinoto, Kepala Jaksa Cirebon, yang menyumbang 1.000 gulden. Selain itu, para priyayi menjadi setengah dari pelanggannya (Adam, 2003: 110-11).
Dengan keberhasilan Medan Priyayi, Tirto melangkah lebih jauh ke dalam bisnis penerbitan. Tidak lama setelah meluncurkan Medan Priyayi, dia menerbitkan majalah bulanan Soeloeh Keadilan (April 1907). Seperti halnya Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan secara finansial didukung oleh priyayi dermawan, di antaranya Raden Adipati Aria Prawiradiningrat yang menyumbang 1.000 gulden. Namun, untuk mendirikan bisnis pers, dia membutuhkan dukungan keuangan yang berkelanjutan. Karena alasan itu, dia mendekati Haji Mohammad Arsad, pemegang saham utama H.M. Arsad & Co, yang menerbitkan dua majalah tersebut. Selain itu, untuk pembaca perempuan, Tirto menerbitkan Poetri Hindia, yang terbit pertama kali pada Juni 1908.
Tirto terus berusaha memperoleh dukungan kaum priyayi untuk bisnis penerbitannya. Dia menjadikan Bupati Karanganyar, Raden Remenggoeng Tirto Koesoemo, sebagai patronnya, dan meminta istri-istri priyayi terkemuka, juga beberapa perempuan Belanda dan indo-Eropa untuk masuk dalam dewan redaksi baik Medan Priyayi maupun Poetri Hindia. Melalui strategi itulah, bisnis Tirto mulai berkembang.
Tirto selanjutnya mengubah Medan Priyayi dari semula sebatas majalah menjadi sebuah persekutuan dagang (maatschappij). Dengan persetujuan dari Pemerintah Belanda (10 Desember 1908), dia mendirikan Toko Buku Jawa Medan Priyayi, perusahaan penerbitan dan alat tulis (Javansche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji) dengan total modal 75.000 gulden (Adam, 2003: 112-13).
Tirtoadisurjo yang mulai dikenal sebagai pengusaha inilah yang kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada Maret 1909, dengan misi utama memperjuangkan kepentingan umat Muslim Hindia Belanda. Kerja sama bisnisnya dengan Mohammad Arsad menjadikan Tirto memiliki hubungan dengan keluarga Ba Junaid, saudagar Arab terkemuka di Batavia (Syaikh Ahmad bun Abdurrachman dan Syaikh Mohammad bin Said), yang diminta Tirto untuk menjadi anggota utama SDI (Mobini-Kesheh, 1999: 42-44). Maka, melalui sebuah pertemuan pada 27 Maret 1909 di kediaman Tirto di Bogor (Buitenzorg), lahirlah SDI. Melalui SDI inilah, Tirto memelopori berdirinya sebuah organisasi di mana baik elite pribumi maupun orang Hadrami tertungkus-lumus dalam usaha ekonomi, dengan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Bagi Tirto, SDI merupakan wadah bagi umat Muslim Hindia Belanda untuk berjuang memperbaiki lemahnya kemampuan manajerial mereka dalam bidang ekonomi dan bisnis (Burhanudin, 2012: 237).
Halaman Selanjutnya: Samanhoedi
Namun, semangat kewirausahaan Tirtoadisurjo menemui hambatan struktural. Pemerintah Belanda tidak memiliki dasar legal untuk memberi izin bagi sebuah asosiasi perdagangan antara pribumi dengan orang-orang Arab. Akan tetapi, Tirtoadisurjo sudah demikian terkenal, dan dihubungkan secara erat dengan berkembangnya gagasan kemajuan. Hal ihwal ini terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang memiliki akses besar pada media cetak yang dia terbitkan, Medan Priyayi. Kepada Tirtoadisurjo-lah, H. Samanhoedi (1868-1956), seorang pengusaha batik masyhur dari Solo, berkonsultasi ketika dia mendirikan Sarekat Dagang Islam di kotanya pada 1911. Terkenal karena mendirikan SDI di Solo, Tirto diminta membuat rancangan anggaran dasar pertama SDI di Solo, pada 11 November 1911, yang kemudian menjadi tanggal lahirnya Sarekat Islam (SI). Didirikan atas dasar semangat kemajuan, SI menfokuskan diri pada upaya peningkatan kesejahteraan, kemakmuran, dan kejayaan negeri (Noer, 1980: 102-4).
Bagi Samanhoedi, semangat kemajuan yang diusung figur terkemuka seperti Tirtoadisurjo memiliki makna khusus bagi ekonomi lokal di Solo. Samanhoedi telah lama terlibat dalam upaya melindungi para pengusaha batik pribumi dari eksploitasi pengusaha Cina dengan membangun sebuah asosiasi, Rekso Roemekso. Tepat sebelum Sarekat Islam terbentuk, orang Cina–yang sebagian terilhami oleh Revolusi Cina pada 1911–menjadi lebih arogan dan semakin kuat mengeksploitasi pedagang-pedagang bumiputera menyusul investasi mereka pada industri batik di Solo (Shirashi, 1997: 39-40; Noer, 1980: 103). Dengan demikian, ekonomi menjadi faktor penting dalam kemunculan SI, dan menentukan arah perkembangannya. Bersamaan dengan pertumbuhan organisasi ini, terjadi berbagai serangan dan boikot anti-Cina yang dilakukan oleh para pemimpin dan anggota SI (Shiraishi, 1997: 46-7).
Halaman Selanjutnya: Tjokroaminoto
Gerakan sosial-ekonomi SI terus berkembang, hingga naiknya H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) dari Surabaya sebagai pemimpin tertinggi SI tahun 1916. Pasca aktif di SI Surabaya sejak 1912, Tjokroaminoto dipercaya untuk merumuskan anggaran dasar baru SI menyusul sikap Pemerintah Belanda yang menunda memberi izin pada Agustus 1912, dan malah melihatnya sebagai sebuah ancaman bagi rust en orde. Dengan tampilnya Tjokroaminoto, gambaran tentang SI sebagai sebuah gerakan politik mulai muncul. Tjokroaminoto mengubah haluan SI dari penciptaan kemajuan bagi rakyat Hindia Belanda menjadi “perjuangan untuk pemerintah sendiri, atau setidaknya rakyat Indonesia diberi hak menyuarakan aspirasi mereka dalam pelbagai persoalan politik” (Noer, 1980: 104, 112).
Tak seperti ulama, Tjokro tidak memiliki pengalaman mempelajari kitab kuning di pondok pesantren. Dia juga tidak pernah ikut komunitas jawi di halaqah Makkah atau Kairo. Meski demikian, dia terlibat dalam pembentukan wacana keislaman di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Mungkin karena Tjokro tetap terlibat dan tetap dekat dengan jaringan ulama. Kiai Saifuddin Zuhri beberapa menyebut namanya dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, juga nama adik Tjokro.
Lahir pada 16 Agustus 1882 di Bakur, kota kecil di Madiun, Jawa Timur, Tjokro berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Silsilahnya bisa dilacak hingga ke Kasan Besari, seorang ulama terkemuka Jawa pada abad ke-18 dan pemimpin Tegalsari Ponorogo. Kakeknya, Mas Adipati Tjokronegoro, adalah Bupati Ponorogo, sementara ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, ialah seorang wedana (kepala pegawai distrik) di Madiun.
Seperti keluarga ningrat lainnya masa itu, Tjokro muda memperoleh pendidikan Barat. Dia lulus dari sekolah Belanda OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren; Sekolah Pelatihan bagi Pegawai Sipil Pribumi) di Magelang pada 1902, sebuah sekolah dengan masa belajar 7 tahun yang membuka jalan bagi kariernya sebagai seorang priyayi. Dus, di usia 20 tahun, Tjokro mulai bekerja sebagai seorang pangreh praja, juru tulis di kabupaten Ngawi selama tiga tahun.
Namun, pada 1905, dia meninggalkan pekerjaannya dan memulai karier barunya di pusat kota Surabaya, Jawa Timur. Di sini, dia bekerja di Perusahaan Coy & Coy sembari menyelesaikan sekolah insinyur di Sekolah Malam Sipil (Burgelijke Avondschool) dari 1907 sampai 1910. Tjokro kemudian bekerja sebagai insinyur di pabrik gula Rogjampi Surabaya.
Saat bekerja di pabrik itulah Tjokro diajak bergabung dengan Sarekat Islam. Dan, kenyataannya, dia membangun kariernya di organisasi ni. Pada Mei 1912, dia secara resmi menjadi anggota SI Surabaya, memandai debutnya sebagai politisi. Saat memimpin cabang SI Surabaya, Tjokro mengelola perusahaan komersialnya, Setiao Oesaha, yang menyokong kegiatan-kegiatan SI termasuk penerbitan Oetoesan Hindia pada Desember 1912. Karies politiknya kian berkembang saat dia dipercaya mengemban tugas penting mengonversi–berdasarkan kebijakan Pemerintah Belanda tahun 1913–cabang-cabang SI ke dalam SI lokal (Mulyana, 2008: 125).
Maka, dengan dukungan D.A. Rinkes yang bertindak sebagai Penasihat Urusan Pribumi, Tjokro–yang menurut Rinkes telah diberkahi naluri politik tajam yang bisa berguna di setiap keadaan (Shiraishi, 1990: 72)–memasuki arena politik. Dia tidak hanya berhasil dalam misinya mengonversi cabang-cabang SI menjadi SI lokal, tetapi juga membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin tertinggi organisasi. Walhasil, dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta pada 18 Februari 1914, Tjokro ditetapkan sebaagi Ketua Central Sarekat Islam (CSI) yang baru didirikan di Surakarta (Noer, 1980: 106; Shiraishi, 1997: 73).
Oleh karena itu, Tjokro menjadi kepala gerakan SI, mewujudkan hasratnya sebagai seorang “patriot Muslim”, yang mempersembahkan tenaganya untuk kepentingan Islam. Dia merepresentasikan kemunculan kepemimpinan baru yang dibutuhkan kalangan Muslim Hindia Belanda yang “dapat mengklaim berbicara untuk kepentingan Islam”. Lebih penting lagi, Tjokro bersawala untuk Islam dapat ditemukan dalam karya-karyanya. Dua buku pentingnya yang harus diberi perhatian adalah Islam dan Sosialisme (1924) dan Tarich Agama Islam, Riwajat dan Pemandangan atas Kehidupan dan Perdjalanan Nabi Muhammad S.A.W. (1950).
Arkian, melalui Tjokroaminoto, lukisan baru kepemimpinan Islam telah muncul di Hindia Belanda. Karier politik dan intelektualnya menabalkan kondisi di mana aktivis Muslim seperti dirinya bisa memiliki otoritas untuk berbicara Islam kepada pembaca Muslim. Fenomena ini harus diletakkan pada perkembangan reformisme Islam yang, dengan dukungan modernisasi Belanda, berperan dalam menemu-ciptakan ruang di mana Muslim seperti Tjokroaminoto bisa muncul sebagai seorang tokoh yang terlibat dalam mendefinisikan Islam bagi rakyat Indonesia.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.
Berkeislaman dalam Kebudayaan
"Masyarakat dunia juga pusing dengan terorisme dan kekerasan. Namun, mereka sadar, kuncinya adalah kebudayaan.”
Foto | 16.05.2017
Dalam praktek keagamaan, oleh kelompok puritan, adat disingkirkan. Adat dinilai sebagai tidak pantas berdampingan agama. Adat manusia, agama Tuhan.
Liputan | 16.05.2017
Sampai hari ini masih ada yang meyakini bahwa Oto benar-benar berkhianat. Hal ini menunjukkan fitnah terhadap Oto itu terkesan “dipelihara”.
Bunga Rampai | 15.08.2017