Sekian hari menjelang peringatan Hari Pahlawan dan pengumunan nama-nama ditetapkan sebagai pahlawan nasional, A Mustofa Bisri (Gus Mus) berseru: “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan nasional.”
Kalimat itu lekas disalin dan beredar di media sosial. Orang-orang berada di barisan Gus Mus menghadapi kemauan pemerintah. Penolakan-penolakan terjadi tetapi Soeharto tetap menjadi pahlawan nasional.
Pada hari bertajuk sejarah, orang-orang memiliki album keburukan Orde Baru dan mengenang Reformasi seperti kalah telak oleh kemauan pemerintah dalam “mencipta” pahlawan tapi abai sejarah.
Kita pun mengetahui ada nama-nama lain turut dijadikan pahlawan nasional. Gus Dur itu pahlawan nasional. Nama sebagai simbol perlawanan kaum buruh pun turut dijadikan pahlawan: Marsinah. Kebijakan pemerintah seperti menjawab puisi digubah Gus Mus berjudul “Di Taman Pahlawan”, berlatar masa 1990-an. Siapa masih ingat dan membaca lagi puisi mengandung kritik dan sejenis ramalan?
Puisi wajib dimunculkan mumpung terjadi gegeran bertema pahlawan. Gus Mus menulis:
Tiba-tiba mereka mendengar tentang Marsinah/ Tiba-tiba mereka semua yang di Taman Pahlawan,/ yang betul-betul pahlawan atau yang keliru dianggap/ pahlawan begitu girang menunggu salvo ditembakkan dan/ gendering penghormatan ditabuh lirih mengiringi/ kedatangan wanita muda yang perkasa itu.
Pada saat Soeharto berkuasa dan menekan gerakan buruh, Marsinah tampil dalam perlawanan. Ia justru mendapat siksa dan “dimatikan” saat penguasa takut terjadi “penularan” keberanian melawan dan menggugat kekuasaan.
Pada masa Indonesia penuh bobrok dan aib, Gus Mus menokohkan Marsinah tanpa maksud meramalkan terjadi “guncangan” sejarah. Gus Mus mungkin termangu mengetahui Soeharto dan Marsinah berbarengan ditetapkan sebagai pahlawan. Dua tokoh berseberangan menjadi pahlawan memerlukan argumentasi tak sembarangan. Gus Mus melanjutkan:
Di atas, Marsinah yang berkerudung awan putih/ berselendang Pelangi tersenyum manis sekali:/ Maaf kawan-kawan, jasadku masih dibutuhkan/ untuk menyingkapkan kebusukan dan membantu mereka/ yang mencari muka/ Kalau sudah tak diperlukan lagi/ biarlah mereka menanamnya di mana saja di persada ini/ sebagai tumbal keadilan atau sekedar bangkai tak berarti.
Pada masa Orde Baru, Marsinah itu tumbal. Ia dihancurkan oleh logika-kekuasaan bertokoh utama Soeharto. Marsinah menguak derita kaum buruh. Marsinah memicu curiga terhadap manipulasi politik-ekonomi diselenggarakan rezim Orde Baru.
Pada 10 November 2025, orang-orang kecewa dengan penetapan Soeharto sebagai pahlawan tambah dibuat bingung saat mengenang Marsinah. Siapa meredakan kecewa dan marah dengan membaca puisi Gus Mus? Di kesusastraan Indonesia, Gus Mus rajin menulis tentang pahlawan. Ia pun rajin menulis tentang Soeharto meski nama tidak dicantumkan gamblang.
Bingung bakal ditanggungkan selama seribu tahun gara-gara Soeharto sebagai pahlawan membuat kita membuka puluhan kamus dan peraturan-peraturan pemerintah dalam memastikan pengertian pahlawan. Kita pasti lelah dan “gagal” menerima pengertian (paling) benar. Gagal itu sedikit dijawab oleh puisi berjudul “Pahlawan” gubahan Gus Mus. Puisi bukan kamus tapi kita diajak merenung lama: Lahir. Hilang. Gugur. Hidup. Mengalir. Sudah. Ia menulis empat kata dalam mengartikan pahlawan di Indonesia.
Mengapa terjadi penetapan Soeharto sebagai pahlawan? Orang-orang membela Soeharto pasti menjawab jasa terbesar saat berkuasa: “Demokrasi Pancasila”. Gus Mus pun memiliki tanggapan saat demokrasi diharuskan bercap Pancasila dan kebijakan kolosal Orde Baru menginginkan jutaan orang menjadi “insan pancasilais”. Kebijakan besar itu terkenang dengan sebutan P-4. Murid-murid masa Orde Baru mengetahui P-4 masuk dalam “kewajiban”. Mereka diharuskan mengetahui kepanjangan: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Pada 1984, Gus Mus menulis puisi berjudul “Doa Penutupan Penataran P-4” seolah menanggapi nafsu besar kekuasaan dengan majikan Soeharto. Kita membaca lagi mumpung bertambah pusing memikirkan Soeharto:
Telah selesai kami tunaikan/ Peningkatan pemahaman, pendalaman, dan/ penghayatan/ Pedoman bangsa telah kami laksanakan/ Segala puji bagiMu, ya, Tuhan/ Kini, dengan hati yang runduk/ Tangan-tangan kami tengadahkan/ Memohon keridlaanMu/ Atas segala yang telah, sedang dan akan kami/ laksanakan/ Demi pengabdian kami/ Kepada bangsa dan negara kami/ Bimbinglah kami, ya, Tuhan/ Dan mudahkanlah kami melakukan dan mengamalkan/ Pedoman yang telah kami pahami dan dalami/ selama ini/ Agar ia tidak berhenti/ Di telinga dan lisan semata/ Tapi merasuk ke sanubari/ memancar dalam sikap dan tingkah laku/ Agar butir-butir mutiara Pancasila/ Tidak hanya menjadi hiasan bibir tanpa makna.
Dulu, jutaan orang wajib ikut Penataran P-4. Penolakan atau gagal lulus berakibat fatal. Rezim mudah membuat mereka salah dan “terhukum”. Semua gara-gara Pancasila. Kini, ingat P-4, ingat Soeharto.
Orde Baru itu tegak dan awet bersenjatakan Pancasila. Kebenaran atas tafsir Pancasila milik penguasa. Pihak-pihak bertentangan dengan Pancasila berarti musuh penguasa. Orde Baru itu memiliki tokoh terpenting dalam perwujudan kepatuhan dan ketertiban. Kita memastikan tokoh terpenting itu Soeharto. Orang berani melawan Soeharto berarti tak mengamalkan Pancasila.
Kita menduga puisi berjudul “Orang Penting” digubah Gus Mus (1987) mengarah tokoh utama Orde Baru: Soeharto. Kita membaca lagi:
Orang penting lain dengan orang lain/ Dia beda karena pentingnya/ Bicaranya penting/ Diamnya penting/ Kebijksanaanya penting/ Ngawurnya pun penting/ Semua yang ada padanya penting/ Sampai pun yang paling tidak penting/ Jika tak penting lagi/ Dia sama dengan yang lain saja.
Kini, menemukan orang penting selalu menentukan nasib Indonesia. Dulu, orang penting atau terpenting itu Soeharto.
Pada 2025, Soeharto tetap tokoh penting. Kita menunggu saja Gus Mus menulis puisi baru terpicu Soeharto sebagai pahlawan. Puisi baru kelak bisa dijadikan album utuh bersama sekian puisi lama bertema pahlawan. Di tilikan sejarah, Gus Mus menggubah puisi berjudul “Surabaya”. Puisi menghidupkan sejarah:
Jangan anggap mereka kalap/ jika mereka terjang senjata Sekutu yang lengkap/ Jangan kita kira mereka nekat/ karena mereka cuma berbekal semangat/ melawan seteru yang hebat/ Jangan sepelekan senjata di tangan mereka/ atau lengan yang mirip kerangka/ Tengoklah baja di dada mereka/ Jangan meremehkan sesobek kain di kepala/ Tengoklan merah-putih yang berkibar/ di hati mereka/ dan dengan pekik mereka/ Allahu Akbar!
Bait itu mengajak kita membaca sejarah, sebelum kita merasa “kalah” gara-gara Soeharto berada dalam arus sejarah untuk menjadi pahlawan.
Pada suatu hari, kita membaca sejarah mengejutkan bertema 1965 dan 1998. Kita bakal mendapat buku “baru” dalam membaca peran Soeharto pada 1965, sebelum menjadi presiden. Kejutan terbesar pasti mengenai Soeharto dan 1998. Dulu, babak itu diberi tajuk Reformasi. Pada 2025, sejarah bisa ditulis ulang untuk mementingkan Soeharto.
Kita lengkapi kebingungan dengan membaca penggalan dari puisi Gus Mus berjudul “Putra-Putra Ibu Pertiwi”. Puisi bernada keras:
Bagai Wanita yang tak ber-ka-be saja/ Ibu Pertiwi terus melahirkan putra-putranya/ Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa. Kita membaca saja tanpa perlu melengkapi tafsir atau mencantumkan nama-nama. Indonesia memang negara memuliakan pahlawa, setiap tahun terus bertambah. Indonesia pun memiliki para bajingan minta tepuk tangan dan dibuatkan monumen termegah sepanjang masa.