Kabupaten Tegal. Okamsi (orang kampung sini) atau warga lokal menganggap daerah ini surga kuliner. Aneka makanan memang tersedia di banyak tempat, pinggir jalan hingga restoran. Andai ada dua puluh lima jam dalam sehari semalam, maka sepanjang waktu itu pula deretan kuliner dari berbagai aliran nampak terang merayu mata, menggugah selera.
Dari sate kambing, sate ayam, kupat glabeg, kupat gulai, ponggol setan, soto tauco sedap malam, hingga sega adep-adep, semua berkontestasi dengan apik. Masing-masing memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dalam cita rasa maupun teknik penyajiannya. Semarak kuliner ini telah berjalan sejak lama.
Tak membingungkan jika beberapa kolega ketika datang ke Kabupaten Tegal untuk urusan pekerjaan atau silaturahmi, saya tinggal pilih saja mana yang sesuai dengan selera kolega. Ini perintah agama, fal yukrim dhoifahu atau memuliakan tamu. Memuliakan tamu adalah komponen fundamental dalam bangunan iman seseorang.
Sega adep-adep
Di Kabupaten Tegal, ada kuliner sega adep-adep. Historiografi lokal menampilkan sega adep-adep sebagai sebuah piranti sosial keagamaan. Ia menjadi bagian integral dalam ritual keagamaan yang dilaksanakan masyarakat Kabupaten Tegal.
Sega adep-adep biasanya hadir dalam sesi selamatan ungkap syukur atau selamatan doa untuk sebuah hajat. Semacam manifesto kebahagian atas nikmat yang diperoleh host acara atau shohibul slametan, karena telah mendapat nikmat. Ini juga menjadi jalan mistik bagi yang berdoa, untuk sebuah capaian hajat.
Sega adep-adep juga hadir dalam acara selamatan menyambut kehadiran jabang bayi atau namu, upacara pernikahan, syukuran kenaikan pangkat, dan keberhasilan lainnya. Sedang untuk jalan mistik untuk mencapai sebuah hajat, sega adep-adep biasanya tandem dengan pembacaan manaqib atau wirid khusus lainnya. Situasi sakral seperti ini dimulai entah sejak kapan dan berlangsung hingga saat ini.
Formasi sega adep-adep tersusun dari nasi (sega) putih atau kuning, kluban atau sayuran kangkung. Kacang panjang, kecipir yang diurab, gesek atau ikan asin bakar maupun goreng, tempe dan tahu kecek atau balado dan ayam bakar (ingkung). Memang tidak ada standar paten untuk formasi ini. Bisa ditambah atau dikurangi. Hanya saja kekhasan sega adep terletak pada uraban dan gesek. Ini yang tidak bisa ditinggalkan.
Sega adep-adep, sebelum dibagikan kepada peserta selamatan atau tetangga, mulanya dihidangkan dalam tampah atau penampan dan diletakkan di tengah jamaah selamatan. Teknik ini pun tidak baku. Bisa juga sega adep-adep disisihkan dulu di ruang makan atau lainnya sambil menunggu acara slametan selesai.
Prinsipnya, setelah acara selamatan selesai, sega adep-adep baru dikemas (orang Tegal menyebutknya dibrengkos) dengan daun pisang, daun jati, piring atau kertas minyak lalu disantap bersama dan dibagikan kepada tetangga. Inilah manifesto berbagi kebahagiaan atau wasilah (jalan mistik) untuk sebuah hajat tertentu.
Desekularisasi atau Desakralisasi?
Sega adep-adep yang eksklusif, warisan tradisi, yang hanya dimunculkan saat selamatan, belakangan ini bisa dijumpai di warung-warung makanan. Kehadirannya secara terbuka dalam dunia kuliner di Kabupaten Tegal sebagai komponen transaksional mengingatkan pada tesis Peter L Berger tentang desekularisasi.
Berger bilang, dunia ini sejatinya sedang mengarah pada penghancuran sekularisasi, institusionalisasi agama alias sakralisasi dalam tiap relung kehidupan manusia semakin menggejala. Dapat disaksikan bersama, institusionalisasia agama telah menemukan signifikansinya dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Merk-merk baju hingga minuman kerap menggunakan simbol atau istilah agama.
Ini menjelaskan bahwa agama telah sedemikian lekat dengan kapital-transaksional. Ini pula yang terjadi dengan sega adep-adep. Ia telah melompat sebagai piranti eksklusif dalam metode ritual menjadi barang dagangan. Bisa jadi ini adalah kecerdasan umat membaca pangsa pasar ekonomi dan ini patut diapresiasi. Setidaknya umat tidak perlu menunggu selamatan terlebih dahulu untuk menikmati sega adep-adep.
Sisi lain, kenyataan ini juga bisa diamati sebagai situasi robohnya eksklufitas sega adep-adep sebagai norma spiritulitas. Sega adep-adep tidak lagi menjadi wilayah ‘transenden’ karena telah menjalin romantisme dengan wilayah duniawi alias profan. Sega adep-adep bukan lagi menjadi unsur mistisme masyarakat Kabupaten Tegal.
Eh, cup.. Masa iya urusan sega adep-adep saja harus ngomong teoritis begini. Sudahlah.
Akhir catatan ini saya mengutip Heideger tentang mistik keseharian. Dimana mistik tidak hanya persoalan kemisteriusan, keterasingan atau invisible. Mistik yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama, ritual dan spiritualisme sejatinya adalah yang nyata dapat dibagikan kepada masyarakat, menimbulkan rasa nyaman, tenang dan ngenakke.
Naah.. jika kita membeli sega adep-adep untuk menghormati tamu atau tamu, ini juga bagian dari mistik keseharian. Dan ini bagian dari komponen keimanan yang harus selalu dijaga. Karena menghormati tetangga dan tamu adalah bagian tidak terpisahkan dalam bangunan keimanan