Tidak hanya ibadah haji yang identik dengan kisah Nabi Ibrahim, penamaan hari-hari puncak pelaksanaan rukun Islam ke lima ini juga erat kaitannya dengan sejarah Nabi yang bergelar kekasih Allah (khalilullah) ini.
Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya (Maroh Labid atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Munir), mengutip sebuah riwayat perihal penamaan tiga hari istimewa tersebut.
Pada malam hari Tarwiyah atau tanggal delapan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi, seakan-akan ada yang berkata kepadanya: “Susungguhnya Allah memerintankanmu menyembelih anakmu ini”.
Setelah bangun dari tidurnya, dari pagi sampai sore Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya itu, apakah dari Allah atau setan.
Dari perenungan inilah, tanggal delapan Dzulhijjah dinamakan hari Tarwiah, yang berarti hari perenungan.
Kemudian pada malam sembilan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi lagi (sama dengan mimpi kemarin), Nabi Ibrahim pun mengetahui (telah yakin), mimpi itu dari Allah.
Hari saat Nabi Ibrahim mengetahui ini menjadi alasan kenapa tanggal sembilan Dzulhijjah dinamakan hari Arafah, yang bentuk verbalnya adalah “arafa”, yang berarti telah mengetahui atau yakin.
Malam ketiganya, yakni tanggal sepuluh Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi lagi. Persis seperti mimpi dua malam sebelumnya. Akhirnya, Nabi Ibrahim bertekad menyembelih putranya.
Maka hari ketika Nabi Ibrahim bertekad menyembelih putranya dinamakan hari Nahr, yang berarti hari penyembelihan.