Pagi ini salah satu kawan memutar pidato Gus Reza Lirboyo di acara Peringatan Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad SAW dan Harlah Nahdlatul Ulama ke-96 di Masjid Rahmat Latsari Tuban melalui Youtube. Seperti ceramah-ceramahnya yang lain, Gus Reza menyelipkan humor-humor khas pesantren. Namun ada yang baru saya dengar, Gus Reza mengutip kalimat dalam bahasa Inggris lalu mengartikannya dengan metode utawi-iku.
When you love [Ingdalem nalikane demen sopo siro] someone [ing wong suwiji] you’ll do [mongko bakal nglakoni sopo siro] everything [ing sekabehane perkoro] yuo’ll do [mongko bakal nglakoni sopo siro ] all crazy things [ing sekabehane perkoro kang edan ] that you can’t explain [kang ora biso ngutaraake sopo siro]
Begitu kira-kira cara Gus Reza memberi makna teks bahasa Inggris dengan metode utawi-iku yang biasa digunakan para santri memberi makna kitab kuning. Tidak sampai di situ, Gus Reza juga menjelaskan bahwa kata “that” dalam rangkain kalimat di atas — dengan meminjam istilah nahwu — bisa berposisi sebagai badal atau isim maushul. Memperkuat argumentasinya itu, putra Kiai Imam Mahrus ini mengutip pula satu bait dari kitab Alfiyah Ibnu Malik:
موصول الأسماء الذي الأنثى التي# واليا إذا ما ثنّيا لا تثبت
Bagi saya ini menarik. Dalam memenggal kata dalam kalimat bahasa Inggris dan memberi makna metode utawi-iku terasa pas dan tepat. Kemampuan memperbandingkan dengan grammar bahasa Arab juga menarik dan juga mengindikasikan Gus Reza paham tata bahasa dua bahasa tersebut plus metode utawi-iku.
Eksperimen Gus Reza di atas juga dilakukan di kalimat bahasa Inggris yang lain. Saat mengisi ceramah di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo, dengan mengutip intelektual Prancis Jacques Barzun, Gus Reza mengatakan:
Intellectual person [ utawi wong kang pinter] who [iku wong] engages [kang manjing sopo who] in critical thinking [indalem pemikiran kritis] , research [lan penelitian ], reflection about society [lan mikir-mikir indalem sekabehane perkorone umat]
Gus Reza juga melakukan anaisis tata bahasa di tengah-tengah memberi makna kalimat di atas. Lagi-lagi dengan meminjam istilah nahwu atau tata bahasa Arab, kiai muda yang pernah diundang ceramah di Amerika dalam forum penyelesaian konflik dengan para pemuka agama dari berbagai negara yang digagas oleh Drew University New Jersey Amerika Serikat (tempo.co, 14/04/2016) ini menjelaskan, bahwa kata research adalah athaf kepada critical thinking.
Bagaimana kalau eksperimen Gus Reza ini dikembangan dalam pembelajaran bahasa Inggris di pesantren atau santri-santri?
Pengalaman sementara penulis, pada umumnya tata bahasa memiliki kesamaan. Singkatnya, secara umum bahasa punya kesamaan logika: ada subjek, predikat, objek dan keterangan. Kalau berpijak dari sini, seharusnya santri yang sudah menguasai detail grammar bahasa Arab akan lebih mudah menangkap saat diajari tata bahasa Inggris. Namun kenapa kadang masih terasa kesulitan, seakan penguasaan atas ilmu nahwu-sorof tak membantu memahami grammar bahasa Inggris?
Tentu banyak dugaan yang menjadi penyebabnya dan bisa jadi salah satu alasannya adalah, dalam pembelajaran bahasa Inggris kurang dikaitkan dengan ilmu bahasa Arab yang telah dikuasai santri. Disinilah, saya kira penting, eksperimen Gus Reza dalam memberi makna bahasa Inggris dengan metode utawi-iku perlu diterapkan, sebagai jembatan dari “jurang yang menganga” antara bahasa Arab dan Inggris dalam imajinasi beberapa santri.
Dan dengan metode utawi-iku — tentu ini masih butuh diskusi yang panjang — seperti kita bisa berbahasa Arab namun tetap ada khas kenusantaraannya, begitu pula ketika belajar bahasa Inggris.