Nama kitab yang satu ini tak asing lagi di telinga pengkaji literatur Ushul Fiqh. al-Luma’ diberi nama oleh penyusunnya. Kitab yang memiliki kedudukan tinggi dalam sejumlah kitab Ushul Fiqh, juga menjadi inspirasi dan rujukan lahir kitab-kitab Ushul Fiqh setelahnya. Disusun oleh Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf al-Fairuzzabady asy-Syairazy asy-Syafi’iy. w. 476 H.
Beliau adalah pendekar fikih juga. Karya lain beliau yang memiliki kedudukan tinggi ialah al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’y. Tak cukup itu, sebagaimana pengakuan banyak ulama, baik murid atau yang semasa dengannya, beliau cukup lihai berdebat dalam ilmu kalam.
Sekian ‘tepuk tangan’ para ulama kepadanya berawal dari kesungguhan dan kehati-hatiannya dalam menuntut ilmu. Tengok saja pengakuan beliau sendiri yang masyhur itu “Aku mengulang-ulangi satu qiyas sebanyak 1000 kali. Saat selesai baru aku mengambil qiyas lain dan melakukan hal yang sama. Aku juga mengulang satu pembahasan sebanyak 1000 kali. Jika pada satu masalah ada penggalan bait yang dijadikan dalilnya maka aku akan menghafal keseluruhan gubahan bait itu”.
Kitab al-Luma’ sesungguhnya tidak lahir tanpa sebab. Berdasarkan pengakuan beliau sendiri juga, bahwa kitab al-Luma’ merupakan ‘anak kandung’ dari kitab at-Tabshirah, sebuah kitab ushul fiqh juga. Kitab at-Tabshirah adalah kitab ushul fiqh pertama beliau. Isinya hanya masalah-masalah ushul fiqh yang diperdebatkan, tanpa ada satu pun masalah yang disepakati. Bahkan, definisi-definisi yang diperlukan tidak beliau sertakan dalam kitab itu.
Setelahnya, beliau menyusun kitab al-Luma’ sebagai penjelas dan pengarah kitab at-Tabshirah. Silang pendapat tidak lagi disebutkan layaknya dalam kitab at-Tabshirah. Definisi yang dibutuhkan juga beliau utamakan dalam kitab ini, bahkan pada pembahasan pertama kitab sudah lebih dahulu dihidangkan definisi dari definisi.
Kitab al-Luma’ berformat ikhtishar atau ringkasan, demikian pernyataan beliau dalam mukadimah kitab. Hingga, isinya pun tidak jauh-jauh beda dengan kitab ringkas ushul fiqh lainnya. Pembahasannya dimulai dengan masalah definisi ilmu dan zan, berlanjut definisi ushul fiqh, amar dan nahy, hingga ditutup dengan bab ijtihad.
Sungguhpun al-Luma’ berbentuk ikhstishar, silang pendapat tetap tak terelakkan. Masalah yang diperdebatkan setidaknya memuat 2-4 pendapat saja. Menariknya, setiap pendapat-pendapat itu beliau ketengahkan satu persatu, lantas beliau berkata ”hadza batilun (pendapat ini salah atau keliru)”. Kemudian beliau menjelaskan dalil kesalahan pendapat itu dan menegaskan pendapat yang tepat disertai dalilnya sekaligus. Hingga, kadang-kadang kitab ini terasa seperti membaca kitab ilmu kalam.
Sementara itu, kitab al-Luma’ yang tadinya lahir setelah at-Tabshirah, juga memuat beberapa modifikasi pendapat beliau sendiri, setidaknya ada tiga tempat yang beliau ‘banting setir’ pendapatnya dari haluan dalam kitab at-Tabshirah; (1) masalah amar dan nahy; (2) masalah syariat sebelum syariat sekarang (syar’u man qablana); dan (3) masalah hukum asal (bab qiyas).
Seolah tak cukup al-Luma’ sebagai wadah pemikiran ushul fiqh beliau, di kemudian hari kitab al-Luma’ ini beliau syarh sendiri. Sementara riwayat menyatakan syarahan tersebut bertajuk al-wushul ila masail al-ushul. Riwayat lain mengatakan judul syarahan itu hanya syarh al-luma’. Kitab syarahan ini merupakan syarah sempurna di antara syarah-syarah lainnya. Karenanya tak mengherankan kitab ini terhitung tebal, lebih dari 1000 halaman. Sebab demikian, termasuk minim ulama kemudian yang men-syarah-inya di kemudian hari.
Akhirnya, biarpun kitab al-Luma’ merupakan mukhtasar akan tetapi sangat cocok dikaji setelah mendaras kitab-kitab ushul fiqh lini menengah-bawah lainnya. Bukan tanpa sebab, ‘cahaya’ yang dipancarkan kitab ini bisa-bisa ‘menyilaukan’ pikiran pembaca. Untuk itulah diberi nama kitab ini al-Luma’; seberkas kemilau ushul fiqh.