Haul Guru Sekumpul ke-14 pada tanggal 9-10 Maret 2019 yang lalu telah usai. Sebuah perhelatan keagamaan akbar untuk memperingati wafatnya KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, seorang Tuan Guru kharismatik yang makamnya berada di kampung Sekumpul Martapura, itu kini meninggalkan kenangan indah, baik bagi jutaan jama’ah yang datang dari berbagai daerah dan penjuru tanah air maupun bagi penduduk kota Martapura yang telah menjadi tuan rumah yang baik.
Bagi kalangan relijius, haul Guru Sekumpul membangkitkan ketakjuban sekaligus memanjakan iman yang membuncah berkat kehadiran umat Islam yang tumpah-ruah, serta menegaskan posisi suci sang Tuan Guru.
Namun di lain pihak, perhelatan itu juga dipandang sebagai suatu fenomena sosial yang menarik perhatian dan menjadi santapan kajian bagi para akademisi dan penikmat ilmu-ilmu sosial. Hampir semua obrolan dan kajian ilmiah itu bernada takjub dan simpatik terhadap pelaksanaan even tahunan yang sakral itu.
Tulisan ini mengandung semangat yang sama, yakni rasa takjub yang memanjakan iman, demi menyaksikan jutaan muslim berkumpul bersama untuk mengenang dan mendoakan Tuan Guru yang mulia. Hal itu karena penulis adalah seorang muslim yang hidup dengan latar belakang doktrin Islam tradisional dan tak jarang mengikuti pengajian yang dilaksanakan Tuan Guru Sekumpul semasa hidupnya, serta menikmati pengaruh nasihat-nasihat dan ajaran-ajaran beliau dalam kehidupan penulis sehari-hari.
Di samping itu, penulis juga seorang penduduk kota Martapura yang secara tidak langsung terlibat dalam melayani para jama’ah Haul yang datang.
Oleh karena itu, penulis merasakan betul khidmatnya melayani para jama’ah dan memberikan kesan kepada mereka betapa penduduk kota ini adalah tuan rumah yang bersahaja sebagai penjaga makam Tuan Guru, sebuah situs yang sakral.
Pada posisi inilah penulis memandang Haul Guru Sekumpul bukan dengan sekedar perasaan takjub dan kenikmatan iman, melainkan juga dengan analisa sosial yang mencoba memaknai beberapa kejadian seputar Haul. Bagaimanapun, fenomena Haul Guru Sekumpul mengandung tanda-tanda dalam interaksi sosial yang dapat dimaknai (Lihat Van Zoest, 1993: 131).
Haul Sebagai Budaya Populer
Tidak sulit untuk menyimpulkan mengapa lautan manusia berdatangan dan menutup seisi kota Martapura, apalagi jika kita menggunakan pendekatan fenomenologi terhadap fenomena yang menghentikan total kegiatan transportasi yang melewati kota itu. Walfred Cantwell Smith (1916-2000) mengatakan:
“tak ada pernyataan tentang suatu agama yang absah kecuali pernyataan itu dapat diterima oleh pemeluk agama yang bersangkutan” (Mujiburrahman, 2011: 217).
Dengan demikian, jika kita bertanya kepada para jama’ah, mengapa mereka rela datang jauh-jauh ke kota Martapura dan meninggalkan rutinitas harian mereka demi mengikuti Haul, tentu sebagian besar mereka, jika tidak semuanya, akan menjawab bahwa itu karena rasa cinta dan rindu mereka terhadap Tuan Guru Sekumpul, terlebih sampai saat ini belum ada satupun ulama yang kharismanya menandingi beliau, bahkan mungkin takkan ada.
Tapi bagaimana dengan para jama’ah debutan? Di antara para jama’ah Haul penulis menemukan tidak sedikit anak muda milenial yang turut berhadir. Sebagian datang bersama keluarga dan sebagian lagi datang bersama dengan kawan-kawan milenial mereka.
Penulis juga mendapati sekelompok anak muda yang tergabung dalam semacam komunitas pecinta motor dan pecinta klub sepakbola eropa juga berkonvoi mendatangi pusat keramaian Haul.
Tuan Guru Sekumpul wafat 14 tahun yang lalu, sehingga ketika beliau masih aktif melaksanakan pengajian rutin, bisa dipastikan anak-anak muda itu tidak pernah hadir dan mengikuti pengajian itu.
Dalam ruang lingkup ini Haul Guru Sekumpul beranjak dari kegiatan keagamaan yang sakral menjadi suatu bagian dari budaya populer dan menjadi kesempatan bagi anak-anak muda untuk menegaskan identitasnya, baik sebagai bagian dari kesalehan sosial masyarakat maupun dengan tujuan agar setidaknya tidak tersingkir dari pergaulan.
Hadirnya media-media berbasis internet dan khususnya media sosial tentu memberi andil besar bagi popularitas Haul di kalangan anak muda milenial.
Kebanggaan Sebagai Penjaga Makam
Yang paling menarik dari segala fenomena yang terlihat selama pelaksanaan haul adalah peran penduduk kota Martapura sebagai tuan rumah. Sejak jauh-jauh hari mereka mempercantik kota dengan memasang umbul-umbul dan bendera-bendera.
Setiap Rukun Tetangga (RT) tak ingin terlupa untuk mengucapkan “selamat datang para jama’ah haul Guru Sekumpul” melalui spanduk-spanduk yang dipancang di setiap jalan dan gang. Para petinggi pemerintah dan calon-calon dewan legislatif peserta Pemilu tentu tak ketinggalan memasang spanduk dan banner ucapan selamat datang itu.
Baca juga:
Sedekah adalah motivasi utama penduduk kota Martapura dalam melayani para jama’ah. Tanpa instruksi dari pemerintah setempat atau dari keluarga besar Tuan Guru Sekumpul dan panitia penyelenggara haul, mereka menyediakan sarana akomodasi dan konsumsi bagi para jama’ah yang datang dari daerah-daerah yang jauh secara gratis.
Masjid, surau, pertokoan, perkantoran dan bahkan rumah-rumah pribadi disulap menjadi penginapan bebas biaya sebagai tempat menginap jama’ah selama pelaksanaan haul, dilengkapi dengan layanan makan harian dan cemilan, juga secara gratis.
Konsumsi untuk para jama’ah tak hanya disajikan di penginapan-penginapan, melainkan juga di jalan-jalan dan seputar arena pelaksanaan haul. Sejak masa kedatangan hingga kepulangan jama’ah ke dan dari arena haul, penduduk kota Martapura dengan senang hati membagi-bagikan makanan, minuman dan cemilan gratis bagi para jama’ah hampir di setiap sudut kota. Sebagian mereka bahkan mendirikan posko-posko masak agar makanan yang disajikan kepada para jama’ah adalah makanan yang berkualitas. Para dermawan itu tak hanya berasal dari kalangan atas, tetapi juga dari kalangan menengah ke bawah yang rela menyisihkan simpanan uangnya demi memberi makan tamu kota yang ingin beribadah.
Tidak hanya penduduk kota Martapura, layanan konsumsi untuk jama’ah haul juga disediakan oleh penduduk kota-kota di Kalimantan Selatan.
Salah seorang jama’ah asal Kalimantan Timur menceritakan bahwa untuk berangkat ke acara besar itu dirinya hanya membawa uang untuk membeli bensin dan perawatan kendaraan, sebab mulai dari Kabupaten Tabalong, daerah paling ujung Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan provinsi Kalimantan Timur, sampai kota Martapura, mereka mendapatkan makanan dan cemilan yang dibagikan secara gratis oleh para penduduk kota-kota yang mereka lalui.
Dirinya pun memuji dan kagum terhadap kemurah-hatian penduduk Kalimantan Selatan atas kedermawanan mereka. Kisah serupa juga penulis dengar dari para jama’ah yang datang dari Kalimantan Tengah.
Selain akomodasi dan konsumsi, bidang transportasi dan perhubungan juga menjadi perhatian tuan rumah. Selain aparat kepolisian, para penduduk kota Martapura dan kota-kota di Kalimantan Selatan turut mengatur lalu lintas sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan haul. Mereka juga mendirikan posko-posko pengatur lalu lintas di setiap sudut dan persimpangan jalan dan gang yang dilalui para jama’ah menuju kampung Sekumpul yang menjadi arena utama.
Tanpa instruksi dari pemerintah dan panitia penyelenggara haul, mereka mengatur lalu-lintas dan memberi petunjuk arah dengan sigap dan cekatan meski tak menolak jika diberi sedikit uang jasa. Di pinggir-pinggir jalan tak sedikit pula para penyedia jasa perbaikan kendaraan dan tukang tambal ban membuka toko dan kiosnya untuk melayani para jama’ah, lagi-lagi secara gratis.
Peran serta sukarela penduduk kota Martapura dan provinsi Kalimantan Selatan demi kesuksesan pelaksanaan haul Guru Sekumpul harus dipuji.
Konon, kesukarelaan tersebut merupakan wujud penerapan wasiat Guru Sekumpul sendiri agar melayani tamu-tamu beliau dan orang-orang yang datang untuk beribadah ke Sekumpul tanpa meminta balas jasa. Hal ini menjelaskan betapa pengaruh Guru Sekumpul tetap hidup di benak mereka yang mentahbiskan diri sebagai murid-murid yang mengabdi kepada sang Guru.
Akan tetapi murid Guru Sekumpul bukan hanya penduduk kota Martapura. Semasa hidup beliau ribuah jama’ah menghadiri pengajian rutin di surau al-Raudhah. Mereka tak hanya datang dari seputaran kota, melainkan juga dari berbagai penjuru daerah.
Sebagai penduduk kota pusat syi’ar Tuan Guru Sekumpul, ada kebanggaan tersendiri ketika kota ini didatangi oleh para jama’ah, sehingga suasana pun menjadi ramai dan keramaian itu mempengaruhi berbagai sektor kehidupan penduduk.
Tuan Guru telah wafat dan dimakamkan tepat di depan mihrab surau, sehingga kebanggan itu kini tidak hanya karena sosok Guru yang lahir, hidup dan wafat di Martapura, tapi juga karena adanya situs sakral di kota itu.
Dengan ini lengkaplah kebanggaan penduduk kota Martapura dengan identitasnya sebagai penjaga makam suci, perasaan serupa yang mungkin dirasakan oleh penduduk kota Mekkah dan Madinah.
Kebanggaan identitas itu mencapai momentum puncaknya ketika dilaksanakan upacara seremonial tahunan berupa Haul Guru Sekumpul dan diekspresikan melalui pelayanan istimewa bagi jutaan jama’ah yang datang ke kota Martapura.
Semoga berkah terus menerus