Saat ini bahaya kerusakan iklim mengancam kehidupan manusia. Ancaman mulai dari polusi udara yang terjadi di kota besar hingga sampah mikro plastik yang masuk pada makanan. Perubahan ekstrim terjadi pada iklim dimana bumi mulai melewati fase pemanasan lalu mengalami fase “pendidihan” secara global.
Kerusakan lingkungan juga menimbulkan bencana dan endemi seperti Covid 19. Menurut McNeely (2021) dalam jurnal berjudul “Nature and COVID-19: The pandemic, the environment, and the way ahead”, Covid 19 terjadi bersamaan dengan hilangnya biodiversitas dan perdagangan satwa liar yang membawa virus kedalam tubuh manusia. Kerusakan lingkungan bila dibiarkan terus-menerus menunjukkan dampak yang merugikan dan tak terbayangkan di masa mendatang.
Berbagai macam solusi dan aksi banyak ditawarkan untuk membenahi masalah lingkungan. United Nation menerapkan program Sustainable Development and Goal’s (SDG’s) yang salah satu poinnya untuk mengatasi perubahan iklim. Proyek SDG’s banyak diterapkan pada banyak negara dan berbagai NGO. Di Indonesia, pemerintah juga menerapkan berbagai kebijakan lingkungan serta NGO lingkungan yang mulai menjamur dimana-mana. Hal ini patut diapresiasi keberadaannya, namun berbagai solusi dan aksi terlihat tidak signifikan dalam menahan laju kerusakan lingkungan. Bahkan, di tahun-tahun terakhir dampak kerusakan lingkungan menjadi meningkat dan dalam eskalasi yang begitu besar.
Sebenarnya dari mana akar kerusakan lingkungan?
Bila ditilik, Kerusakan lingkungan bermula dari awal perkembangan zaman modern. Modernisasi menggaungkan upaya rasio sebagai sumber kebenaran dan teknologi manusia untuk menguasai alam. Modernitas menyajikan berbagai macam kemudahan melalui produk-produk teknologi yang bisa dinikmati hampir semua orang. Produk teknologi membawa keuntungan dan kemudahan seperti fleksibelnya komunikasi, cepatnya transportasi dan akses yang tidak terbatas pada sumber informasi.
Di sisi lain, modernitas juga berupaya menghilangkan sumber-sumber kebenaran yang tidak dapat diukur oleh rasio dan mengganggap bahwa alam semesta adalah suatu mesin yang mekanis. Pandangan hidup ini menafikan alam adalah sesuatu yang hidup dan memiliki nilai-nilai spiritual serta hanya melihatnya sebagai suatu objek benda mati yang bernilai ekonomis untuk dieksploitasi. Seyyed Hossein Nasr menyebut fenomena ini sebagai desakralisasi alam. Alam telah kehilangan nilai-nilai sakralitasnya yang dijunjung oleh agama dan budaya-budaya tradisional.
Upaya melestarikan alam melalui nilai-nilai tradisional
Agama dan beberapa suku adat tradisional di Nusantara sebenarnya menyimpan keterhubungan manusia dengan alam yang juga tersambung dengan Tuhan. Hubungan segitiga ini menghasilkan suatu aksiologi manusia terhadap lingkungan yang penuh dengan penghormatan dan pelestarian lingkungan yang bersumber dari kesadaran ruhani. Karen Amstrong dalam bukunya Sacred Nature menyatakan bahwa mitos agama dan tradisi memberikan suatu makna kehidupan dan kebijaksanaan tertinggi bagi manusia yang tidak bisa diberikan oleh logos. Dalam perangkat-perangkat tradisi berupa seni, ritual dan aturan-aturannyalah menghasilkan manusia yang memiliki etika terhadap lingkungan. Menurut Ali Thaufan dalam judul buku berjudul “Menyelisik Kepercayaan Masyarakat Sunda Wiwitan Badui” masyarakat badui yang menjaga kelestarian alam sebagai bentuk ketundukan terhadap Sang Hyang Keresa. Ali Thaufan menambahkan dalam pandangan masyarakat Badui, alam berisi roh-roh dan mahluk tertentu maka dalam tradisinya terdapat larangan untuk menebang pohon, tidak menggunakan cairan kimia, larangan untuk mengubah bentuk tanah dll.
Erna Suminar menyatakan dalam artikel berjudul “Persepsi Suku Boti terhadap Lingkungan Hidup” bahwa persepsi masyarakat Boti terhadap ekologi juga tidak terpisahkan dari pandangan mereka mengenai bumi. Masyarakat Boti menghormati bumi yang mereka pandang sebagai ibu sehingga mereka mengolah tanah secara hati-hati dan enggan menjual tanahnya karena sama dengan menjual ibu. Erna Suminar juga menambahkan bahwa masyarakat Boti meyakini adanya penguasa alam dunia Uis Pah. Uis Pah hadir melalui alam memasuki berbagai macam benda seperti pohon-pohon besar, batu, air dan gunung. Sama dengan Masyarakat suku Dayak yang menganggap tanah bumi adalah Ibu sehingga tidak boleh ditanami-tanami secara terus menerus.
Beberapa masyarakat tradisional memang memiliki falsafah bahwa alam adalah manifestasi dari Tuhan Penguasa Alam dengan berbagai macam sebutannya sehingga mereka berupaya untuk menjaga sakralitas alam melalui aturan dan ritual-ritual tertentu. Falsafah yang bersumber dari kesadaran ruhani ini menghasilkan etika untuk menjaga alam. Dalam pandangan hidup muslim, semua benda baik pohon, gunung, sungai bukanlah benda mati namun sesuatu yang hidup, tajalli dari Tuhan Penguasa Alam. Alam juga merupakan ayat-ayat Tuhan yang memiliki nilai-nilai kesucian tertentu.
Kerusakan terhadap alam menunjukkan gejala manusia yang tidak terhubung secara spiritual dengan lingkungannya. Alam bukanlah benda mati dan objek untuk eksploitasi melainkan alam adalah mahluk hidup yang memiliki nilai-nilai yang sakral. Sakralitas alam hidup dalam agama dan adat tradisi yang memberikan nilai dan makna bagi segala yang hidup baik gunung, pohon, batu, sungai. Agama dan tradisi memiliki perangkat upacara dan ritual yang membuat nilai-nilai sakralitas pada alam akan lebih bernuansa dalam hati manusia.
Dengan demikian manusia akan lebih peka terhadap alam. Dengan lebih terhubung dengan alam, manusia dapat mengambil pelajaran-pelajaran darinya. Menurut Seyyed Hossein Nasr agama-agama tradisional menganggap bahwa alam adalah guru bagi manusia yang mengajarkan nilai moral, intelektual dan spiritual. Kebijaksanaan dari agama dan tradisi dibutuhkan untuk mengisi ruang kosong pandangan-pandangan yang mekanis terhadap alam. Dengan intelektualitas dan kebijaksanaan manusia, perlu upaya untuk memadukan dan menghubungkan falsafah masyarakat nusantara dahulu dengan kondisi dan segala perangkat yang sudah ada sekarang.