Sedang Membaca
Toleransi Seutuhnya di Desa Argodadi Bantul
Yatni Setianingsih
Penulis Kolom

Alumni Pascasarjana Program Penciptaan dan Pengkajian Seni ISBI Bandung. Jurnalis tetap yang kini menjadi penulis lepas untuk rubrik perjalanan dan resensi diberbagai media massa seperti Pikiran Rakyat, Koran Jakarta, Sriwijata In-flight Magazine, pernah menulis cerita anak di Majalah Bobo. Twitter :@fenatia

Toleransi Seutuhnya di Desa Argodadi Bantul

Mengunjungi Dusun Sungapan Dukuh di Desa Argodadi Kecamatan Sedayu di Kabupaten Bantul, saya merasakan toleransi seutuhnya. Di kawasan ini  dalam satu perkampungan, saya menemukan dua rumah ibadah dari agama yang berbeda yang letaknya hampir berdekatan. Kedua bangunan tersebut hanya dipisahkan beberapa rumah penduduk.

Ya, di tempat ini berdiri tempat ibadah umat Islam yaitu Masjid Baiturrohim dan umat Kristen yakni Gereja Kristen Jawa Sedayu Pepanthan Sungapan. 

Sebelum memasuki masjid yang berarsitektur Jawa dengan ciri khasnya atap limasan ini, saya harus melewati gapura bertuliskan nama masjid dan pelataran masjid yang sejuk karena ditanami pepohonan seperti mangga dan kelapa. Antara halaman dan bangunan masjid dipisahkan pagar bercat hijau dan kuning, sementara bagian masjid terdiri dari bagian inti dan serambi masjid, di salah satu bagian masjid terdapat beduk sebagai ciri dari masjid khas Jawa, yang biasa dipukul sebelum kumandang azan.       

Menurut salah satu sesepuh sekaligus tokoh yang aktif di Masjid Baiturrohim, bapak Waji Abdul Rahman, kedua bangunan tempat ibadah dari dua agama yang berbeda ini, telah berdiri sejak lama. Hubungan antarumat beragama di sini saling menghormati dan menghargai. 

“Masjid ini awalnya dibangun pada tahun 1951 di dekat jembatan (Kali Konteng) sebelah barat dari lokasi masjid yang sekarang. Pada tahun 1955 baru dipindahkan ke sini,” cerita pria kelahiran 1942 mengenang sejarah Masjid Baiturrohim. 

Baca juga:  Haji Fachrodin, Pahlawan Media dari Muhammadiyah

Dahulu bangunan masjid sebelum dipindahkan masih sangat sederhana hanya beratap alang-alang, pemindahan lokasi masjid tersebut dilakukan karena cukup jauh dari permukiman penduduk dan bertambahnya jumlah jemaah. Pada awal pemindahan, bangunan masjid tidak seperti sekarang, melainkan masih sederhana yang memiliki empat tiang di bagian dalam masjid. 

Meskipun pembangunan masjid dengan bentuk yang sederhana, karena pada masa itu selepas perang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhitung dirasakan sulit. Walaupun begitu sikap gotong-royong di antara warga sangat tinggi untuk pembangunan masjid ini.   

“Dahulu membangun masjid ini lagi zaman susah, konsumsi saat membangun masjid ini hanya tiwul (olahan berbahan dasar singkong yang telah dikupas dan dijemur atau biasa disebut gaplek, selanjutnya dihaluskan dan dikukus), itupun setiap orang hanya mendapatkan jatah segenggaman tangan orang dewasa. Tetapi tidak menyurutkan tenaga setiap warga untuk membangun masjid hingga selesai,” kenang bapak Waji dengan semangat. 

Sementara lahan dan biaya untuk pembangunan masjid ini berasal dari salah seorang dermawan di Desa Argodadi, yakni almarhum Eyang Raden Nganten Ngabei Prawiro Diharjo. Dilansir dari argodadi.bantulkab.go.id, selain memberikan tanah wakaf untuk masjid, beliau pun memberikan tanahnya guna Gereja Kristen Jawa Sedayu Pepanthan Sungapan.

“Ketika akan membangun masjid ini, orang dermawan yang mewakafkan tanah ini sempat bertanya apakah akan membangun yang dekat dengan jalan atau agak mundur? Pihak yang akan membangun masjid memilih mundur beberapa meter jauh dari jalan. Untungnya hal itu dilakukan, karena sekarang jalan ini lumayan ramai dilewati kendaraan bermotor,” terang bapak Waji.   

Baca juga:  Shiraz; Kota Seni di Persia

Dari masjid saya melanjutkan perjalanan menuju gereja, untuk sampai di gereja saya cukup berjalan kaki ke arah barat. Jika tidak jeli, sekilas bangunan gereja ini mirip dengan rumah penduduk yang berada di sekitar perkampungan ini.

Hanya plang tulisan di depan rumah ibadah umat kristen ini, sebagai penanda bahwa bangunan tersebut merupakan gereja. Saat saya berkunjung ke tempat ini suasana sepi, meskipun pintu pagar terbuka saya tidak menemukan orang di sana, mungkin karena saya berkunjung tidak pada waktu ibadah di gereja.     

Selama saya mengunjungi kawasan yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Yogyakarta, saya tidak hanya menemukan kehidupan toleransi dalam masyakarat terbatas pada bangunan fisik rumah ibadah dari agama yang berbeda. Saya pun menemukan sikap toleransi dalam perbuatan kepada orang lain dari penduduk setempat, meskipun saya baru datang pertama kali ke daerah ini. 

Ya, warga yang kebetulan berpapasan di jalan kampung maupun penduduk yang berada di halaman rumahnya di tepi jalan, tanpa ragu mereka menyunggingkan senyum kepada saya yang melewati mereka. Melihat hal tersebut, saya pun buru-buru membalas senyuman mereka sebagai bentuk saling menghargai.   

Untuk mencapai lokasi ini, tidaklah terlalu sulit. Jika dari Kota Yogyakarta dan kebetulan menggunakan kendaraan pribadi arahkan menuju Jalan Yogyakarta-Wates ke arah Sedayu. Di perempatan Sedayu tepatnya di Pasar Mbabrik belokkan ke sebelah kiri. Telusuri terus Jalan Sedayu-Gesikan sampai kawasan Pasar Sungapan.

Baca juga:  Sepenggal Kisah Kopi di Khan Khalili: Maqha, Bak Istri Kedua

Dari sana belokkan ke sebelah kanan, beberapa meter dari sana akan menemukan bangunan masjid yang di depannya banyak tumbuh pepohonan dan tulisan nama masjid, beberapa meter dari masjid ke arah barat akan menemukan gereja. 

Nah, kebetulan saya menggunakan transportasi umum, jadi dari Kota Yogyakarta naik Trans Jogja dari Halte Ngabean yang menuju Park & Ride Gamping, dilanjutkan naik bus Jogya-Wates, turun di perempatan sedayu (Pasar Mbabrik) dan melanjutkan perjalanan naik kendaraan online.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top