Beberapa akhir ini, sosial media dipenuhi menu perdebatan “Sastra Masuk Kurikulum”. Respon terbagi menjadi dua, pro dan kontra. Bagi golongan setuju, kebijakan itu dianggap mampu meningkatkan kemampuan literasi, memperkaya pengetahuan budaya dan mengembangkan keterampilan berpikir. Bagi golongan yang menampik, kebijakan dianggap terburu-buru, boros anggaran dan ada kecerobohan kolosal dalam mengkurasi buku-buku.
Sebelum memilih bersulang dengan kubu pro atau kontra, saya berusaha untuk tabayun. Setelah berselancar di website buku.kemdikbud.go.id/sastra-masuk-kurikulum untuk mengetahui duduk perkara maksud pemerintah dan membaca kritik dari berbagai pihak, saya memilih untuk bersulang dengan keduanya.
Sebagai konsep ideal, saya sangat setuju dengan kebijakan pemerintah. Sastra memang harus lekat dengan pendidikan. Ini program yang sangat luhur untuk meningkatkan literasi membaca dan kemampuan berpikir kritis. Sastra memegang peranan penting dalam membangun pengetahuan. Seperti yang dikatakan Taufik Ismail (2003), dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Pendidikan Sastra di UNY berjudul Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang: “Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh penanaman literasi buku di sekolah yang dimulai lewat buku sastra.”
Tapi, sebelum lekas memasukan sastra dalam sekolah yang melibatkan pihak guru, orang tua dan murid, ada baiknya menengok masalah akar rumput. Ketika berbicara soal sastra masuk kurikulum, pertanyaan paling dasar adalah: Seberapa besar minat baca masyarakat Indonesia? Siapa yang akan membaca buku-buku yang telah dikurasi itu? Penelitian paling dekat menyebutkan, menurut data UNESCO, hanya 0,001 % masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Itu berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang suka dan aktif membaca. Selain itu, berdasarkan survey yang dilakukan Program of International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, minat baca Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. Artinya, syarat utama untuk melaksanakan program sastra masuk kurikulum terkendala pada minat baca.
Saya lebih setuju pemerintah tidak lekas mengeksekusi program itu, tetapi lebih dahulu membentuk masyarakat untuk akrab dengan buku. Misalnya, penyediaan buku-buku yang berkualitas di perpustakaan tiap desa, kota dan provinsi, meminimalkan PPN terkait buku agar masyarakat lebih ringan ketika membelinya, mensubsidi buku bacaan anak untuk setiap keluarga, mewajibkan mata kuliah sastra pada setiap prodi pendidikan dan sederet solusi lain.
Dari semua tawaran tersebut, titik paling sentral adalah mensubsidi buku bacaan anak pada tiap keluarga. Minat baca tidak bisa datang dengan sendirinya. Minat baca kudu dipupuk dari dalam rumah. Keluarga memegang sentral utama. Memperkenalkan buku pada anak sedini mungkin, merupakan hal paling mendasar sebelum bicara ini itu soal peningkatan literasi. Begitulah yang dikisahkan dalam Buku, Mendongeng dan Minat Membaca (2004) gubahan Murti Bunanta.
Jika di masa orde baru hingga sekarang, pemerintah mampu menerapkan program keluarga berencana, saya yakin dengan segenap power yang dimilikinya, pemerintah juga bisa menerapkan program keluarga ramah literasi, kalau memang niat.
Namun, dari segala perdebatan di atas, jika pada akhirnya ketok palu mengukuhkan sastra resmi masuk kurikulum, sebagai guru agama, saya akan menyambutnya dengan riang gembira terlepas dari kebocoran yang perlu tambalan di sana-sini.
Ketika di sekolah, saya bisa percaya diri membawa novel gubahan E. Nesbit, Roald Dahl, Frances Hodgson Burnet dan Lucy Maud Montgomey. Lalu kumpulan cerpen Indra Trenggono, Indah Darmastuti, Yuditeha, Ahmad Tohari, Selahattin Demirtas dan sederet penulis lain. Lalu digenapi puisi-puisi Rendra, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar dan lainnya.
Bagi guru agama islam di sekolah, kebijakan ini seperti angin segar. Suatu kebahagiaan tersendiri ketika belajar tentang agama bisa melibatkan berbagai cerpen, novel, puisi bahkan komik tanpa takut dilabeli “liberal”, “sekuler” dan yang paling jauh “sesat”.
Selama ini, pelajaran agama islam kerap berwajah kaku dan eksklusif. Sumber belajar tidak pernah lepas dari buku pelajaran, kumpulan kisah nabi, tafsir al-Qur’an dan tafsir hadis. Apakah ini salah? Oh, tentu tidak. Tapi, alangkah lebih kaya jika pengajaran agama islam ikut melibatkan buku-buku sastra. Apakah sastra yang dimaksudkan harus secara eksplisit mengandung ayat al-Qur’an, hadis, atau bahasa-bahasa agama? Oh, menurut saya tentu tidak juga.
Sebenarnya apa sih sastra itu? Kenapa saya sampai kegirangan memikirkan manisnya mengaduk mata pelajaran agama dengan buku-buku sastra? Burhan Nurgiyantoro dalam Sastra Anak (2013) menjelaskan: “Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya, yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas”. Mengajak sastra bergandeng tangan dengan mata pelajaran agama adalah cara yang sangat manis untuk mengetahui bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan dan pengungkapan berbagai macam karakter manusia dengan pemahaman yang menyenangkan.
Misalnya, dalam buku pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMA/SMK kelas X, bab 8 “Membiasakan Perilaku Berani Membela Kebenaran”, kita hanya menemukan sebuah uraian definisi lalu digenapi hadis-hadis. Berikut nukilan hadis yang ditampilkan: “Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Akan senantiasa ada dari golongan umatku yang membela kebenaran hingga ketetapan Allah Swt datang kepada mereka dan mereka dalam keadaan menang.” (H.R Bukhari).”
Dalam materi tersebut, hadis ditinggal begitu saja. Tidak ada teks tambahan yang bisa menghidupkan maksud dari perkataan Nabi. Tidak ada pengisahan atau biografi pendukung untuk menstimulus imajinasi dan daya kritis anak. Pola ini banyak berulang pada materi-materi selanjutnya. Kondisi itu bisa membuat murid megap-megap. Setiap materi mesti ditelan mentah-mentah tanpa dikunyah terlebih dahulu.
Barangkali, untuk menghidupkan materi tersebut, kita bisa menukilkan novel, cerpen ataupun puisi. Misalnya Kesaksian di Akhir Abad (1999) karangan Rendra: “dengan puisi ini aku bersaksi/bahwa rakyat Indonesia belum Merdeka/ Rakyat yang tanpa hak hukum/bukanlah rakyat Merdeka./ Hak hukum, yang tidak dilindungi/ oleh lembaga pengadilan yang mandiri/ adalah hukum yang ditulis di atas air/”. Kita juga bisa mengenalkan biografi yang bergulat memegang kebenaran seperti Gus Dur, Gandhi, Bunda Teresa, Tan Malaka, Nelson Mandela, Kartini, dan sederet nama lain.
Bagaimana jika nanti anak menjadi komunis, liberal, sekuler bahkan murtad? Ah, rasanya perut saya seketika kembung jika mendengar pertanyaan dan kritik semacam itu. Kenapa kita begitu takut untuk mengenalkan beragam wacana kepada anak? Bukankah lebih menakutkan, jika mengenalkan hanya satu wacana kepada anak, lalu diamininya dengan kaku dan patuh? Kondisi itu bisa mengarah pada fanatik buta dan tindakan intoleransi.
Menggunakan sumber bacaan umum untuk mengenalkan ajaran agama tidak sama dengan sekularisasi dan sederet kata turunannya. Justru dengan karya sastra, ajaran agama akan terasa lebih kontekstual dan universal. Ajaran agama menjadi tidak mengawang-awang tetapi tetap menginjakkan kakinya di bumi.
Untuk memanfaatkan kebijakan “Sastra Masuk Kurikulum”, guru agama bisa mencoba akrobat dengan lagu, film dan sastra dalam mengola materi pembelajaran. Tentu kita kepingin pikiran anak-anak berkembang bagaikan bunga bakung di musim semi. Yang diharapkan, di dalam kelas ada udara segar, mengusir dogma dan sikap yang cupet. Saya yakin, ada banyak jalan menuju Roma, begitupun jalan mengenal ajaran Islam.