Tentu ada maksudnya bahwa Gus Dur dipondokkan di Tegalrejo, Magelang. Entah apakah itu gagasan Nyai Sholihah Wahid, ibundanya sendiri, atau ada sesepuh yang mengarahkan. Yang jelas, alih-alih mengajari pengetahuan dari kitab-kitab, Mbah Kyai Khudlori, pengasuh Tegalrejo, justru lebih banyak menuntun Gus Dur melakoni macam-macam laku tirakat. Mutih, ngrowot, beserta segala wirid, dibebankan sambung-menyambung, sampai-sampai Gus Dur kurang gizi. Gatal dan gudik jangan tanya lagi.
Tapi, bagi Gus Dur, Tegalrejo tidaklah seluruhnya tentang tirakat. Tengah malam, Gus Dur tak bisa tidur karena lapar. Seorang teman sesama lapar menemani ngobrol hingga kehabisan bahan. Tiba-tiba, bagaikan wahyu yang dibawa Jibril sendiri, sebuah gagasan membetik di benak Gus Dur. Gagasan itu berkaitan dengan kolam ikan milik Mbah Khudlori, di belakang pondok. Dan tak perlu membujuk-bujuk untuk membuat temannya setuju dengan gagasan itu. Perut mereka lebih bisa dipercaya ketimbang kata-kata.
Menangkap ikan soal enteng. Tantangan sesungguhnya adalah membawa ikan tangkapan balik ke pondok, karena harus melewati rumah Mbah Khudlori.
Maka terjadilah. Dengan ikan di tangan, mereka mengendap-endap di samping rumah Kyai.
“Ehhehhemm…”, deheman lembut tiba-tiba dari pintu dapur, laksana halilintar di telinga maling, “Dari mana, Cung?” suara Mbah Khudlori.
Dua santri terhenti. Kaki-kaki mereka terhujam ke tanah. Teman Gus Dur nyaris ngompol di celana. Tapi Jibril seolah datang lagi.
“Ini lho, Mbah,” Gus Dur menyahut, entah mendapat kekuatan dari mana, “Saya memergoki anak ini sedang ngambil ikan di kolam njenengan. Ini mau saya laporkan…”
Gelap malam menutupi raut muka Mbah Khudlori. Tak mungkin menebak suasana hatinya. Tapi suara beliau tak berubah irama lembutnya.
“Ya sudah. Makan sana.” Lalu menutup pintu.
Dua santri pesta ikan sambil tak henti-hentinya cengar-cengir.
“Lumayan ya,” kata Gus Dur, “besok bisa diulangi nih…”
Temannya menjembik,
“Iya…. Tapi gantian… Aku yang jadi polisinya, kamu malingnya!”