Sedang Membaca
Perang Jawa, Pesantren, dan Haul

Guru Sejarah. Alumnus Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Perang Jawa, Pesantren, dan Haul

Whatsapp Image 2020 05 20 At 10.05.02 Pm

Peperangan memang banyak berpengaruh terhadap pembentukan wilayah demografi pada suatu daerah, sebab dengan adanya perang menciptakan gerakan mobilisasi massal, baik dari golongan sipil maupun mereka yang berperan langsung dalam gelora peperangan tersebut. Hal ini bisa kita temukan secara nyata, ketika membaca sekaligus mengamati data-data historis maupun arkeologis tentang Perang Jawa yang tersebar di banyak literatur maupun yang terjaga ditengah lapangan masyarakat.

Peter Carey dalam Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 menjelaskan bahwa Perang Jawa adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia yang menyangkut tatanan lama Jawa serta zaman modern. Peristiwa tersebut pertama kali terjadi dalam sebuah pemerintahan kolonial Eropa di Pulau Jawa, dan hampir seluruh wilayah Jawa Tengah , Jawa Timur serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara terkena dampak peperangan tersebut. Menurut data yang dihimpun Prof Peter Carey, ada dua juta orang yang terdampak perang, lalu banyak lahan pertanian yang rusak, dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.

Kemudian demi meraih kemenangan dalam Perang Jawa, pemerintah Belanda sendiri harus membayar mahal sebab 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentaranya ikut tewas dalam pertempuran maraton Perang Jawa. Dan biaya perang yang harus dikeluarkan pemerintah Belanda mencapai 25 juta gulden, setara dengan 2,2 miliar dollar AS saat ini. Maka berdasarkan pada fakta-fakta tersebut menunjukkan Perang Jawa merupakan peristiwa besar serta monumental bagi masyarakat Jawa, yang sampai saat ini sebenarnya masih terasa implikasinya.

Selanjutnya saat di tanggal 28 Maret 1830, dimana Pangeran Diponegoro ditangkap dalam jebakan perundingan yang telah disiapkan oleh Jenderal de Kock, membuat situasi berubah drastis. Sebab perlawanan-perlawanan yang sebelumnya mempunyai figur pemimpin agung akhirnya harus berjalan secara sporadis, dan menurut Gus Irfan Afifi dalam Saya, Jawa, dan Islam dijelaskan bahwa setelah Perang Jawa sekitar tahun 1880-an ratusan pemberontakan kecil terjadi, yang didorong semangat jihad gerakan-gerakan tarekat. Kemudian berdasarkan pada data historis maupun arkeologis yang hidup ditengah masyarakat, bisa ditemukan bahwa banyak para kyai yang termasuk pendukung dari perjuangan Pangeran Diponegoro akhirnya harus menyebar ke berbagai daerah yang ada di Jawa, termasuk Jawa Timur.

Baca juga:  Berpakaian Islami di Masa Kolonial

Lantas diantara kyai-kyai tersebut yang memilih untuk mengembangkan perjuangan di Jawa Timur, ada Kiai Hamimuddin yang  menetap di Singosari, Malang Utara, lalu mendirikan masjid sekaligus pondok pesantren yang dikenal dengan Pondok Pesantren Bungkuk (republika.co.id), kemudian ada Kiai Abdussalam yang membangun Pondok Pesantren Selawe/ Telu di Jombang (arrahim.id), dan terdapat kyai-kyai yang akhirnya sampai di Kediri, yang dalam prosesnya berhasil mengembangkan dakwah sekaligus membangun infrastruktur pendidikan Islam bagi masyarakat setempat, dan beberapa kyai tersebut ada Kiai Umar yang membangun masjid di Desa Kolak, Ngadiluwih (merdeka.com), lalu Kiai Nawawi yang mendirikan Pondok Pesantren Ringinagung di Desa Ringinagung (saa.iainkediri.ac.id), selanjutnya Kiai Hasan Murawi yang menurut riwayat turut merintis berdirinya pondok pesantren di Dusun Belung, Desa Kawedusan, Kec.Plosoklaten,Kediri. Dan berdasarkan analisa penulis, kehadiran Kiai Hasan Murawi turut membentuk karakter keislaman masyarakat Dusun Belung yang khas sebagai Islam Agraris.

Kiai Hasan Murawi dan Pesantren

Kiai Hasan Murawi atau Mbah Kyai Hasan Murawi merupakan tokoh Islam yang berpengaruh bagi masyarakat Dusun Belung, dan menurut riwayat yang penulis terima dari beberapa tokoh maupun sesepuh yang ada di Dusun Belung, menyatakan bahwa Mbah Kyai Hasan Murawi berasal dari Jawa Tengah, yang secara spesifik berasal dari daerah Solo . Mbah Kyai Hasan Murawi juga termasuk pasukan Pangeran Diponegoro yang levelnya sebagai pimpinan pasukan di masa Perang Jawa (1825-1830).

Baca juga:  Perjalanan Maroko di Piala Dunia 2022, Sebuah Kilas Balik Peradaban Andalusia Tempo Dulu

Mbah Kyai Hasan Murawi juga tergolong pasukan yang ikut menyebar ke Jawa Timur, setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Pemerintah Belanda di Magelang . Mbah Kyai Hasan Murawi akhirnya sampai di Dusun Belung bersama istri beliau yaitu Mbah Saniyem. Kemudian dalam prosesnya beliau mempunyai 10 anak yang sebagian besarnya bermukim di Dusun Belung , dan putra beliau yang menjadi kyai yaitu Mbah Kyai Bajuri, Mbah Kyai Muchtar , Mbah Kyai Mukhyar , serta Mbah Kyai Kastobo .

Selanjutnya menurut Gus Makmun, Pimpinan Pondok Pesantren Malangsari, Dusun Belung, menerangkan bahwa Mbah Kyai Hasan Murawi juga diyakini mengikuti Tarekat Syatariyah, yang pada umumnya memang diikuti oleh pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro . Kemudian menurut sesepuh Dusun Belung,  Mbah Kyai Hasan Murawi diyakini pula mempunyai karomah yang diantaranya mampu menggertak pasukan Belanda, yang akhirnya membuat pasukan Belanda beserta kuda yang ditungganginya mati dalam waktu bersamaan.

Lalu menurut Gus Makmun, Mbah Kyai Hasan Murawi juga sempat mendirikan pondok pesantren di Dusun Belung, yang sayangnya hari ini tidak terlihat bekasnya. Namun oleh keturunannya mulai dirintis lagi untuk membangun pondok pesantren sekitar tahun 1999, yang akhirnya berdirilah Pondok Pesantren Malangsari, di Dusun Belung, yang pada masa awal diasuh oleh Mbah Kyai Syuhada. Lantas terkait keberadaan pondok pesantren, menurut Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat dipaparkan bahwa munculnya pondok pesantren  adalah untuk mentransmisikan ilmu-ilmu keislaman yang bersumber pada kitab-kitab klasik para ulama. Sehingga bisa dipahami, adanya kiai dan pesantren merupakan satu kesatuan fundamental, yang meliputi dimensi spiritual hingga intelektual, yang dalam konteks Dusun Belung termanifestasikan dalam wujud shalawat salalahuk, istighosah, tahlilan, slametan, tarekat, tata krama hingga Haul Mbah Kyai Hasan Murawi.

Baca juga:  Membaca Nisan Makam Kuno (2): Ngijing Mengingat Leluhur

Haul, Genealogi, dan Wajah Islam 

Haul menurut Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan dalam Antologi NU dideskripsikan bahwa haul yang biasa disebut khol merupakan salah satu tradisi yang erat kaitannya dengan kalangan Nahdliyin, dan haul sendiri diadakan satu tahun sekali yang bertepatan dengan hari, tanggal, serta pasaran kematiannya. Acara haul biasanya diisi dengan tahlil bersama, lalu slametan dan terkadang ada ceramah agama dari para kiai yang diundang. Kemudian Haul Mbah Kyai Hasan Murawi sendiri diadakan secara rutin pada sabtu kliwon tanggal 2 ruwah, yang ditahun ini bertepatan dengan tanggal 5 maret 2022, dan selama tahun-tahun pandemi ini, haul dilaksanakan dalam bentuk tahlilan serta slametan dan bagi masyarakat Dusun Belung, tradisi haul mempunyai banyak unsur penting, sebab selain menjaga genealogi biologis juga turut merawat genealogi keislaman yang selama ini telah tertanam dan tumbuh dalam masyarakat Dusun Belung. Sehingga bagi penulis, tradisi haul bisa diposisikan sebagai katalisator yang mendukung terciptanya wajah Islam yang rahmatan lil alamin ditengah masyarakat luas.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top