
Upaya untuk membangun Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Indonesia di Kota Gaza direncanakan tetap akan berlangsung, di tengah-tengah blokade Israel. Peletakan batu pertama akan dilakukan pada akhir Maret atau awal April 2025.
Pembangunan RSIA tersebut sepenuhnya menggunakan tanah wakaf dari rakyat Indonesia, diinisiasi oleh Maemuna Center Indonesia dan Aqsa Working Group (AWG). Program ini turut didukung oleh Kementerian Luar Negeri RI, Majelis Ulama Indonesia, Baznas RI, dan Kementerian Kesehatan Palestina.
“Pembangunan RSIA Indonesia bukan hanya sekadar membangun insfrastruktur kesehatan, tetapi juga bentuk solidaritas nyata bangsa Indonesia untuk Palestina. Ini langkah konkret untuk memastikan bahwa perempuan dan anak-anak di Gaza memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang layak,” ungkap Onny Firyanti Hamidi, Ketua Maemuna Center Indonesia.
Berdasarkan data Badan PBB untuk Palestina (UNRWA), jumlah warga Palestina yang tewas di Gaza hingga 9 Maret 2025 adalah 48.405 jiwa. Dari jumlah tersebut, 60 persen diantaranya adalah perempuan dan anak-anak.
“Kalau rumah sakit anak memang ada, tetapi rumah sakit khusus perempuan belum ada,” tambah Onny.
Lima Ribu Meter Persegi
RSIA Indonesia direncanakan akan dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan Palestina. Jika RS Indonesia berlokasi di Beit Lahiya, Gaza Utara, maka RSIA berada di Kota Gaza.
Rumah sakit ini kelak akan terdiri dari empat lantai dengan luas bangunan mencapai 10.310 meter persegi. Keseluruhan biaya pembangunan ditaksir mencapai Rp402 Miliar.
“Dalam Proposal Mesir untuk rekonstruksi Gaza yang disepakati dalam KTT OKI pada 7 Maret lalu, Kemlu mendapatkan dua dokumen dari UNOCHA (Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan), Bank Dunia dan sejumlah lembaga lainnya yang memuat rencana untuk rekonstruksi Gaza. Itu (biayanya) 53 Miliar Dolar AS dan ini tidak bisa ditanggung hanya oleh satu atau dua negara. Indonesia mendukung upaya internasional untuk membantu Gaza,” jelas Direktur Timur Tengah Kemlu RI, Ahrul Tsani Fathurrahman.
Meski gencatan senjata telah diberlakukan sejak 19 Januari 2025, nyatanya blokade pangan dan bantuan kembali terjadi di pintu-pintu perbatasan Israel-Gaza.
Tak ada jaminan pula bahwa RSIA ini akan aman dari serangan-serangan udara dan darat pasukan Israel, seperti yang menimpa RS Indonesia tahun lalu. Kondisi ini sangat dirasakan oleh pihak AWG, yang menggandeng Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sebagai mitra.
Edy Wahyudi, Ketua Tim Konstruksi RSIA di Gaza mengatakan, standar keamanan adalah syarat paling penting. Tambahan kekuatan struktur, beton, dan lain-lain, pastilah sesuai aturan.

Struktur bangunan menggunakan full block plan. Jelas, karena Kota Gaza memang riskan terkena luncuran roket. Adapun dindingnya menggunakan dinding batako dan batu Al-Aqsa kemudian dilapis beton lagi.
Tantangannya, di sana banyak sekali puing. Tapi puing itu bisa didaur ulang menjadi menjadi batu. Di Gaza sendiri tidak ada batu, yang ada pasir.
“Material di sana sangat minim, jadi harus didatangkan dari luar. Saat ini harga material juga mengalami kenaikan hingga 500 kali lipat,” ungkap Edy, yang berpengalaman sebagai Site Manager RS Indonesia di Gaza Utara.
Ketua Presidium AWG, M. Anshorullah, menambahkan blokade pintu-pintu masuk memang akan menyulitkan proyek pembangunan RSIA ini. Satu-satunya pintu masuk yang dapat dilobi adalah di perbatasan Rafah, yang berbatasan dengan Mesir. Sedangkan pintu masuk lainnya ada di Kerem Shalom, di perbatasan Israel dan Tepi Barat.