Dalam kajian keagamaan, ada dua model agama yang dalam bahasa Ali Syariati disebut agama Ibrahimi dan agama non Ibrahimi—atau biasa disebut agama samawi dan agama ardhi. Yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah agama ibrahimi. Dikatakan agama Ibrahimi karena bersumber dari Nabi Ibrahim.
Ibrahim adalah bapak monoteisme. Dari keturunan Ibrahim, lahir tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Ketiganya mengedepankan monoteisme dalam beragama. Titik temu dari ketiga agama ini adalah monoteisme dalam beragama, karena bersumber pada satu tokoh: Nabi Ibrahim.
Ibrahim dalam proses menemukan Tuhan mengalami beberapa fase, mulai dari mengamati terhadap matahari, kemudian rembulan dan bintang-bintang. Ibrahim mengingkari semua karena secara logika tidak layak dijadikan Tuhan. Lewat proses itu Ibrahim dapat menemukan Tuhannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76– 78, mengabadikan perjalanan Nabiyullah Ibrahim mencari Tuhan sejati, Allah SWT. Pergolakan pemikiran beliau diawali ketika matahari terbit, Ibrahim menyangka bahwa matahari itulah Tuhannya. Matahari yang terbit di pagi hari sinarnya mampu menerangi seluruh jagad raya ini tentunya pantas dijadikan Tuhan, pikirnya–namun seiring waktu, matahari pun tenggelam menjelang maghrib–Ibrahim pun bertanya dalam hati kenapa tenggelam mataharinya, berarti bukan Tuhan karena tidak bisa bersinar lagi di waktu malam.
Rembulan pun muncul menerangi kegelapan malam yang gelap gulita. Cahaya rembulan yang membuat terang malam ini pun mengalihkan pemikiran Ibrahim untuk mengganti Tuhannya. Mungkin ini Tuhanku yang mampu menerangi kegelapan malam menjadi terang. Namun cahaya bulan pun akhirnya hilang seiring dengan pergantian waktu.
Kita bisa belajar dari Nabi Ibrahim bahwa proses mengenal Tuhan itu memerlukan mujahadah yang terus menerus. Kita tidak boleh terlena dengan godaan-godaan yang bisa memberikan kepuasan sementara. Karena salah satu kelemahan terbesar dari manusia adalah mudah tergoda dengan hal-hal yang sifatnya sementara.
Hal itulah yang pernah terjadi pada Nabi Adam as, ketika berada di surga, dengan retorika iblis yang sangat luar biasa mencoba mempengaruhi Adam dan istrinya untuk memakan buah khuldi yang sebelumnya Tuhan sudah memberikan ultimatum untuk tidak mendekati pohon terlarang tersebut. Adam pun tergoda dan terjatuh dari surga.
Patuh kepada perintah Tuhan akan semakin dekat kepada-Nya, dan melanggar perintah Tuhan akan semakin jauh dari-Nya. Itulah yang terjadi dengan drama Adam, Hawa, dan iblis.
Proses perjalanan mencari Tuhan yang dijalani Nabi Adam AS merupakan ibroh bagi kita. Dalam beragama haruslah menemukan keyakinan yang ainul yaqin, tidak ragu lagi akan ajaran yang diamalkan. Pemeluk suatu agama yang diawali dengan proses pemikiran untuk memantapkan keyakinan akan melahirkan penganut agama yang taat.
Militansi beragama terlahir dari pengaut agama yang taat. Ketaatannya dimunculkan oleh keyakinan akan ajaran agamanya. Semua aktivitas hidupnya selalu bersumber dari norma–norma agama yang telah diyakini kebenarannya, tidak sedikitpun ragu terhadap ketentuan hukumnya. Hidupnya terbimbing oleh arahan kitab suci yang bersumber langsung dari Tuhan, dan dasar-dasar hukum lain yang mendukungnya.
Perjalanan bapak dari para Nabi dalam menemukan Tuhannya menjadi pelajaran berharga bagi kita dalam beragama. Kita harus selalu belajar dan belajar dalam rangka memupuk dan merawat keyakinan kita agar selalu istiqomah dalam keyakinan. Istiqomah dalam keyakinan ini yang akan membentuk pribadi kita yang teguh pendirian dalam kebenaran, tidak mudah oleh terpaaan – karena sudah melalui proses mujahadah panjang.