Bagi fikih, hadits merupakan sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Hadits terbagi menjadi tiga jenis; qouli, fi’li dan taqriri. Secara ringkas, hadits qouli adalah segala ucapan Nabi, hadits fi’li ialah hadits tentang aktifitas Nabi, sedangkan hadits taqriri adalah pengakuan Nabi tentang apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat.
Posisi hadits sebagai rujukan fikih tidak terbantahkan lagi. Legatilasnya tercantum dalam Al-Qur’an serta ijma’ (konsensus umat). Seluruh perkataan Nabi pasti benar dan mengandung maslahat. Oleh karena itu dalam upaya perumusan fikih lingkungan, pelacakan hadits yang menegaskan pentingnya merawat lingkungan harus dilakukan.
Nabi Muhammad Saw, merupakan potret sempurna manusia yang patut dicontoh dalam segala tingkah lakunya. Termasuk dalam hal menjaga lingkungan. 14 abad yang lalu, di saat kehidupan manusia masih jauh dari kata beradab, Nabi telah mengajarkan nilai-nilai universal tentang pemeliharaan keseimbangan ekosistem dunia. Yang sangat hebat, teladan Nabi dalam menjaga lingkungan tidak hanya dalam bentuk sabda saja, namun juga dalam bentuk tindakan nyata.
Mengenai tugas risalahnya di dunia, Nabi menjelaskan bahwa ia semata diutus sebagai rahmat (kasih sayang) bagi segenap alam. sikap dan seluruh ajaranya semua berorientasi pada kasih sayang. Nabi senantiasa mengajarkan kita agar mengasihi semua makhluk
الرَاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ (رواه البيهقي)
”Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Allah Sang Maha Pengasih. Kasihilah siapapun di bumi maka yang di langit akan mengasihimu” (HR. Al Baihaqi).
Kestabilan ekosistem merupakan penunjang kemaslahatan. Sebaliknya, merusak lingkungan berpotensi mengganggu kestabilan tersebut dan akan menciptakan madlarat (bahaya) yang besar. Padahal Nabi sangat melarang segala jenis tindakan yang menyebabkan madlarat (bahaya) bagi siapapun.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ (رواه الحاكم)
Dari abi sa’id al khudry Ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “ tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan orang lain, barang siapa membuat bahaya, maka Allah akan memberikan kemudlaratan kepadanya, barang siapa menyusahkan orang lain, maka Allah akan menyusahkannya” HR. Al Hakim[1]
مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ (رواه الترمذي)
barang siapa membuat bahaya, maka alloh akan memberikan kemudlaratan kepadanya, barang siapa mnyusahkan orang lain, maka allah akan menyusahkannya” HR. Turmudzi
Hadits ini menjadi dalil ‘am ( sumber hukum fikih yang bersifat umum ) larangan semua hal yang berpotensi menciptakan madlarat (bahaya). Termasuk di dalamnya merusak lingkungan dengan segala bentuknya, karena dapat menimbulkan dampak negatif yang besar bagi keseimbangan kehidupan. Bahkan, para ulama’ ketika mensyarahi (menjelaskan) hadits ini, menyebut polusi udara adalah salah satu dloror yang dilarang. Seperti penjelasan Syekh Sulaiman Bin Muhammad Al Bujairimi (w. 1221 M.).[2]
Memandang peran vital lingkungan dalam kehidupan, nabi sangat menganjurkan upaya-upaya untuk merawat nya. Seperti penghijauan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً (رواه مسلم)
“Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)
Di hadits lain Nabi bahkan menganjurkan menanam pohon meskipun dalam kondisi genting. Larangan nabi tentang menebang pohon yang bermanfaat bagi masyarakat umum juga bertebar di kitab-kitab hadits. Nabi juga sangat menyayangi satwa. Beliau melarang menjadikan hewan sebagai sasaran tembak.
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا (رواه مسلم)
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran tembak.” (HR. Muslim)
Mengenai pemanfaatan sumber daya alam, Nabi melarang menggunakannya secara berlebihan, meskipun untuk kepentingan ibadah, seperti yang terlihat dari hadits larangan menggunakan air secara berlebihan
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ مرَّ بسَعدٍ وَهوَ يتوضَّأُ ، فقالَ : ما هذا السَّرَفُ يا سَعدُ ؟ قالَ : أفي الوضوءِ سَرفٌ قالَ : نعَم ، وإن كنتَ على نَهْرٍ جارٍ (رواه أحمد)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pernah melewati Sa’ad yang sedang ber-wudhu’. Lalu beliau mengatakan padanya, ‘Mengapa berlebihan seperti ini wahai Sa’ad?” Sa’ad menjawab, ‘Apakah dalam wudhu’ juga ada berlebihan?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, ‘Ya. Bahkan meskipun kamu berada di sungai yang mengalir’.”(H.R. Ahmad)
Walhasil, melihat begitu banyaknya hadits yang mengindikasikan larangan merusak lingkungan serta anjuran merawatnya, kita dapat mengambil benang merah bahwa menjaga alam adalah termasuk ajaran Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya mengenai ketentuan-ketentuan menjaga lingkungan telah disinggung begitu banyak di kitab-kitab fikih klasik.
Naskah ini terpilih sebagai pemenang juara 3 dalam kompetisi Esais Muda Pesantren 2020 yang diadakan oleh Alif.id dan Kemenag RI.
Daftar Pustaka
[1] Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hakim AL-Naisabury, Al Mustadrak ‘ala Shahihain No. 2400. Dar Al-Haramain
Muhammad bin ‘isa, Sunan Al-Turmudzi No.1940
[2] Sulaiman bin Muhammad al Bujairimi, Tuhfatul habib ‘ala syarhil khotib, Juz 3 Hal. 411 (CD. Maktabah Syamilah)