Sedang Membaca
Melihat Dinamika Kehidupan Agama di Klenteng Poncowinatan dari Sudut Pandang Orang Islam
Vedy Santoso
Penulis Kolom

Filmmaker & Creative Director Kancing Baju Pictures. S2 Pengkajian Seni Videografi Pascasarjana ISI Yogyakarta. Saat ini sedang menulis skenario film panjang pertamanya

Melihat Dinamika Kehidupan Agama di Klenteng Poncowinatan dari Sudut Pandang Orang Islam

Melihat Dinamika Kehidupan Agama di Klenteng Poncowinatan dari Sudut Pandang Orang Islam 1

Kurang lebih sudah 6 bulan saya dan team Kancing Baju Pictures yang bekerja sama dengan Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga menjadi pemuda Klenteng. Setiap dua kali dalam seminggu, kami mengikuti aktivitas Margo Mulyo (41) atau Tjia Tjek Su mengurus Klenteng Poncowinatan, Yogyakarta. Ia adalah seorang rohaniwan agama Khonghucu yang bergelar Jiāo Shēng (Js.) atau penyebar agama. Kami hendak merekam dinamika kehidupan beragama masyarakat keturunan Tionghoa di Klenteng Poncowinatan dari sudut pandang pemeluk agama lain (Islam).

Ada beberapa hal yang jadi latar belakang proyek ini. Pertama, masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) yang belakangan ini cukup rawan ditungangi oleh kepentingan-kepentingan politik praktis. Kedua, kami ingin memahami sekaligus mengalami bagaimana fungsi sikap toleransi dalam keberagaman agama. Ketiga, kami ingin merawat pemikiran-pemikiran bapak toleransi Indonesia yakni, KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) yang telah mewariskan logika-logika berfikir dalam mewujudkan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.

[blockquote author=”Gus Dur”]“Bukankah dengan saling pengertian mendasar antar agama, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan dan kasih sayang?”[/blockquote]

Selain itu, hasil deklarasi UNESCO (United Nations, Educational, Scientific, and Cultural Organization) di Paris pada tahun 1996 menjelaskan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspesi. Toleransi dapat terwujud jika didorong oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, hati nurani, kebebasan berfikir, dan kebebasan berkeyakinan. Dalam deklarsi tersebut juga di proklamasikan bahwa tanggal 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional.

Secara sederhana toleransi merupakan harmoni dalam perbedaan. Namun, tidak jarang perbedaan menjadi sekat yang memicu pertikaian, terlebih lagi perbedaan yang menyangkut persoalan SARA. Karena batas-batas toleransi adalah sesuatu yang problematis, setiap orang memiliki penilian yang beragam sesuai dengan kepentingan dan cara berfikirnya.

Maka berbekal pemikiran Gus Dur tentang toleransi, kami mulai berkenalan dengan masyarakat Klenteng Poncowinatan, Yogyakarta sebagai orang Islam.

Baca juga:  Hari Toleransi, Gus Yusuf Unggah Foto Santrinya Bersama Pemuka Agama Budha
Pak margo menacapkan dupa
Js. Margo sedang menancapkan dupa lidi di altar Tian Kong setelah melaksanakan ritual Sembahyang. (Foto: Kancing Baju Pictures)

Saat pertama kali memasuki area Klenteng, kami merasa aneh ketika melihat patung dewa-dewa, dupa, dan lilin. Kami sempat melepaskan alas kaki ketika memasuki ruang utama Klenteng, karena membayangkan ruangan itu layaknya Masjid. Namun, Js. Margo mempersilakan untuk tetap menggunakan alas kaki, karena menurutnya di Klenteng tidak ada batas suci. Suasana mulai mencair ketika Js. Margo menjelaskan perbedaan konsep dewa dan Tuhan dari perspektif agama Khonghucu.

“Orang Khonghucu tidak menganggap dewa sebagai Tuhan. Contohnya jika ada umat yang ingin Sembahyang kepada Tuhan atau Tian (Sang Pencipta) maka dilaksanakan di altar Tian Kong. Di sana tidak ada pengambaran semacam patung atau yang lain, karena Sembahyangnya, ya langsung ke Tuhan. Sedangkan untuk altar para dewa memang ada pengambaran semacam patung yang berfungsi sebagai medium komunikasi ketika berdoa”, Jelas Js. Margo.

Klenteng Poncowinatan atau Klenteng Zhen Ling Gong didirikan oleh masyarakat Tionghoa di atas tanah hibah Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1881. Saat itu, Kawasan Poncowinatan dikenal sebagai daerah pecianan di Yogyakarta. Mereka bersembahyang pada dewa Kwan Tie Koen atau dewa keadilan. Sehingga Kongco (leluhur) atau dewa tuan rumah yang dihormati di Klenteng Poncowinatan adalah dewa keadilan.

Dalam sejarah Tionghoa kuno, dewa Kwan Tie Koen adalah seorang jendral perang yang dikenal memiliki kejujuran dan kesetiaan. Kemudian masyarakat Tionghoa saat itu, mengangkat jendral perang tersebut sebagai dewa keadilan karena sikap dan prilakunya yang dikenal adil dan jujur.

Altar Dewa Kwan Tie di Ruang Klenteng Poncowinatan
Altar Dewa Kwan Tie Koen di ruang utama Klenteng Poncowinatan (Foto: Kancing Baju Pictures)

Di Klenteng Poncowinatan setidaknya terdapat 17 altar dewa-dewa dari ajaran Khonghucu, Tao, dan Budha. Ketiga ajaran ini memiliki perbedaan perspektif dalam mendudukan konsep Tuhan, dewa, dan leluhur. Namun, menurut Js. Margo tidak ada aturan khusus untuk orang-orang yang akan beribadah di Klenteng Poncowinatan, meskipun berbeda aliran. Misalnya dalam ritual Sembahyang bersama pada tanggal 1 dan 15 Imlek, penganut masing-masing aliran (Khonghucu, Tao, dan Budha) pertama-tama akan bersembahnyang di altar Tiang Kong (Tuhan) dan altar dewa tuan rumah (Dewa Kwan Tie Koen), barulah kemudian mereka akan bersembahyang di altar dewa masing-masing.

“Setiap Klenteng biasanya berbeda tuan rumah. Kebetulan dulu masyarakat Tionghoa yang mendirikan Klenteng ini bersembahyang pada dewa keadilan. Tapi kalau di daerah pesisir akan berbeda, biasanya tuan rumahnya Dewi Laut,” Ungkap Js. Margo.

Setelah memahami sejarah dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Klenteng Poncowinatan di minggu-minggu berikutnya kami merasa lebih leluasa dalam merekam aktivitas sehari-hari Js. Margo di Klenteng. Kami tak cangung lagi berkeliling Klenteng Poncowinatan untuk melihat lebih dekat bagaimana cara Js. Margo memandikan burung peliharaanya setiap pagi sambil menyetel musik dangdut, bagaimana kesabaran Js. Margo menyiapkan perlengkapan dan melayani orang-orang yang akan beribadah, hingga merasakan nuansa spiritual ketika umat Klenteng sedang bersembahyang.

Baca juga:  Gus Baha: Orang Muslim Saleh Boleh Berteman dengan Orang Ateis

Suatu pagi, kami mendapati sosok perempuan paruh baya yang sedang membakar dupa lingkar yang mirip dengan obat nyamuk bakar di altar Dewi Kwan Im. Ia adalah Mbok Tentrem Rahayu (55). Sudah 17 tahun ia bekerja di Poncowinatan. Ia menempuh perjalanan sejauh 19 km menggunakan angkutan umum dari rumahnya di Sentolo, Kulon Progo menuju tempat kerjanya di Poncowinatan.

Mbok Tentrem sedang membakar dupa di altar dewi Kwan Im
Mbok Tentrem sedang membakar dupa lingkar di altar Dewi Kwan Im (Foto: Kancing Baju Pictures)

Sebelum bekerja di Klenteng, Mbok Tentrem awalnya berjualan buah dan sayur di pasar Kranggan yang terletak tepat di depan Klenteng. Namun, ia pernah mengalami kecelakaan ketika hendak membawa barang daganganya ke pasar. Sejak saat itu, Mbok Tentrem tak berani lagi naik motor sendiri. Kebetulan suaminya bekerja sebagai keamanan pasar Kranggan mendapat informasi tentang lowongan pekerjaan di Klenteng Poncowinatan.

“Dulu pertama kali ditawari kerja di sini saya tidak mau karena takut masuk ke Klenteng, tapi setelah tak pikir-pikir dari pada ngangur akhirnya tak niati lahir-batin di sini untuk fokus kerja, ternyata lama-lama biasa saja,” Ungkap Mbok Tentrem.

Mbok Tentrem bekerja di Klenteng Poncowinatan dari pukul 08.00 – 16.00, sama seperti waktu aktivitas Klenteng mulai dibuka dan ditutup. Jenis pekerjaan yang dilakukanya beragam, seperti: menyapu halaman, membersihkan altar-altar, menyalakan lilin, membakar dupa, hingga ikut menata sesaji dan membatu orang-orang yang akan Sembahyang pada perayaan hari-hari besar, seperti: Imlek, Cap Go Meh, Sembahyang Dewi Bulan dan sebagainya.

Baca juga:  Pameran Toleransi di Bandung, Surabaya, dan Makassar

Seiring dengan berjalanya waktu, Mbok Tentrem mulai hafal dengan nama dewa-dewa yang ada di Klenteng Poncowinatan, baik dewa-dewa dari aliran Khonghucu, aliran Tao, dan aliran Budha. Selain itu ia, juga mengetahui sejarah hidup dewa-dewa tersebut.

“Dewa-dewa yang di Sembahyangi di sini dulunya manusia juga. Cuma karena semasa hidup mereka baik terus dijadikan dewa agar perilakunya bisa ditiru”, Jelas Mbok Tentrem.

Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya siang itu, tak lama kemudian terdengar suara adzan yang menandakan waktu salat Dzuhur telah tiba. Ia bergegas mengambil air wudlu. Karena lokasi Masjid yang cukup jauh dari Klenteng, Mbok Tentrem mendirikan salat di Klenteng Poncowinatan. Ia mencari ruangan yang tidak digunakan untuk Sembahyang.

Mbok Tentrem Sholat di Klenteng
Mbok Tentrem sedang mendirikan salat Dzuhur di salah satu ruangan Klenteng Poncowinatan (Foto: Kancing Baju Pictures)

Siang itu kami mendapatkan pelajaran tentang sikap toleran dari Mbok Tentrem. Ia berhasil menunjukan batas-batas toleransi dengan sederhana pada kami, yakni titik di mana kemerdekaan seseorang tidak mengancam kebebasan orang lain.

Tentu masih banyak hal-hal yang kami temui di Klenteng Poncowinatan. Termasuk tentang bagaimana cara Js. Margo menangani seseorang yang mengaku sebagai pendoa, namun mulai meresahkan ketertiban umum. Sayangnya hal tersebut tidak dapat saya ceritakan melalui tulisan ini. Semoga kelak kita dapat duduk bersama untuk mendiskusikannya setelah menonton hasil dari film dokumenter ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top