Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 M, tepatnya di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dia adalah keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, dan seorang saudagar Minangkabau serta bekas aktivis pergerakan. Keluarga Haji Said cukup terpandang di masyarakat Minang.
Keluarga Rasuna juga dikenal sebagai penganut Islam yang taat, dan sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Dijelaskan dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, bahwa anak-anak Haji Said banyak yang bersekolah di sekolah umum yang didirikan Belanda, tetapi Rasuna memilih di sekolah agama. Selesai di tingkat dasar, Rasuna belajar di Pesantren ar-Rasyidiyah yang dipimpin Syekh Abdul Rasyid. Di pesantren ini, Rasuna belajar tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan bahasa Arab sampai mahir, bahkan hingga mencapai derajat alim. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang pimpinan Zainuddin Labai el-Yunusi. Di sinilah, Rasuna kemudian bertemu dengan Rahmah el-Yunusiah.
Bersama Rahmah, Rasuna mengembangkan Sekolah Diniyah Putri. Hingga akhirnya terjadi perbedaan pandangan antara keduanya dalam perjuangan. Bagi Rahmah el-Yunusiah, pendidikan, apalagi pendidikan agama, jauh lebih penting daripada pendidikan politik. Bila seorang siswa telah memiliki pengetahuan agama yang cukup mendalam, maka dengan sendirinya cinta tanah air, cinta bangsa, dan kesadaran untuk berjuang akan tumbuh. Sedangkan bagi Rasuna Said, sedalam apa pun ilmu seseorang, bila ia tidak tahu menahu politik, tidak punya wawasan kebangsaan, tidak akan pernah tumbuh di jiwanya kesadaran untuk berjuang. Menurut Rasuna, ilmu-ilmu orang semacam ini terkadang sangat berbahaya, karena dapat dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas rakyat. Akibat perbedaan pandangan tersebut, Rasuna dan Rahmah pun berpisah tidak lagi bersama mengembangkan Sekolah Diniyah Putri.
Setelah pindah dari Sekolah Diniyah karena terjadi perbedaan pandangan dengan Rahmah el-Yunusiah, Rasuna yang cenderung ke politik menyibukkan diri belajar kepada para tokoh pembaharu Minang seperti Dr. H. Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Haji Rasul. Di bawah bimbingannya gurunya ini, Rasuna semakin menjadi sosok yang terbuka. Dari Haji Rasul, Rasuna belajar tentang pentingnya pembaharuan pemikiran keagamaan dan kebebasan berfikir. Rasuna akhirnya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian-pengajiannya. Tempat pengajian Haji Rasul yang semakin hari semakin ramai oleh berbagai kalangan, akhirnya membuat Haji Rasul mendirikan Surau. Di mana Surau tersebut, pertama kali berdiri di jembatan Besi Padang Panjang. Dan Surau tersebut pun berkembang menjadi perguruan Sumatra Thawalib, dan melahirkan PERMI.
Selain mengikuti pengajian di Haji Rasul, Rasuna juga memasuki Meisjes School (sekolah putri) untuk memperoleh keahlian masak-memasak, menjahit, dan keahlian lainnya. Karena pada waktu itu, seorang perempuan harus bisa memasak dan menjahit. Hal itu dilakukan sebab, seorang perempuan, suatu hari akan menjadi istri. Dan harus mengabdi kepada suaminya, merawat dan mendidik anak-anaknya. Ketika belajar di Islamic College pimpinan K.H. Muchtar Yahya dan Dr. Kusumah Atmaja, Rasuna mempelajari berbagai macam pengetahuan. Ketika lembaga tersebut menerbitkan Majalah Raya, Rasuna menjadi pemimpin redaksi. Dia banyak melontarkan kritik tajam kepada Kolonial Belanda yang menyengsarakan masyarakat. Majalah tersebut kemudian menjadi obor pergerakan Minangkabau, menyalakan kembali semangat jihad yang hampir padam.
Tahun 1926 M, Rasuna memasuki organisasi politik untuk pertama kalinya, yaitu Sarekat Rakyat, yang menggalang kekuatan masyarakat untuk jihad melawan penjajah. Beliau juga berperan dalam perjuangan masyarakat Sumatera Barat bersama Rahmah el-Yunusiah di Gyun Gu Ko En Kai. Rasuna berperan dalam melebarkan sayap Gyu Gun ke semua pelosok Sumatera Barat. Merekrut massa sebanyak mungkin. Dan langkah-langkah perjuangannya mendapat dukungan masyarakat Minangkabau.
Pada tahun 1937, saat di Medan, Rasuna mendirikan sekolah putri. Tujuannya adalah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya dalam melawan penjajah. Dia juga membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Melalui majalah tersebut, dia membangun kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme. Selain politik, Rasuna percaya bahwa kemajuan dapat dicapai melalui lapangan pendidikan. Rakyat yang cerdas tentu bisa menolong dirinya sendiri dan memperoleh kemandirian. Oleh karena itu, perlu didirikan lembaga pengajaran yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pada masa pergerakan nasional, Rasuna selalu tampil di berbagai organisasi dan forum. Tak jemu-jemunya dia menyampaikan aspirasi agar hak-hak rakyat sebaiknya dipenuhi oleh pemerintah kolonial. Sungguh tidak etis rakyat pribumi sebagai pemilik sah negerinya, justru hidupnya penuh dengan penderitaan, hal ini seperti dijelaskan oleh Triana Wulandari dalam buku Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan. Ketika Jepang dengan gencar mendirikan organasisasi-organisasi masyarakat dan merekrut masyarakat serta para tokohnya, yang tujuannya untuk menjadi milisi jika Jepang berperang melawan sekutu. Oleh para pejuang kemerdekaan seperti Rasuna, hal tersebut dijadikan sarana untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Rasuna Said sosok yang dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Hal tersebut membuat polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang geraknya, dan kawan-kawannya. Tak jarang di tengah pidatonya yang selalu membuat masyarakat berbondong-bondong untuk datang, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, dia dijuluki singa betina.
Salah satu keberanian Rasuna tersebut, adalah saat di Pakayumbuh, di mana Rasuna secara terang-terangan tanpa kata-kata sindiran menerangkan cara-cara yang dilakukan penjajah untuk memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia, serta menanamkan jiwa perbudakan yang menyebabkan rakyat menjadi sangat menderita. Sehari setelah peristiwa itu, saat di Bukittinggi Rasuna dijemput oleh menteri polisi dan ditahan dipakayumbuh. Namun penangkapan tersebut, justru membuat rakyat marah dan berkobar semangatnya untuk jihad melawan penjajah. Rasuna juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Walaupun sibuk di politik, Rasuna masih tetap mengajar para santrinya.