Membaca kitab-kitab Imam al-Ghazali selalu menimbulkan kenikmatan luar biasa pada diri saya; “ladz-dzatul qira’ah”, “the joy of reading”. Teks-teks al-Ghazali ditulis dengan sistematis, rapi, dan dengan “uslub” atau gaya kebahasaan khas yang, menurut saya, indah.
Al-Ghazali adalah seorang “stylist” (maksudnya: penulis dengan gaya bahasa khusus; bukan “penata rambut”) yang ulung. Dia adalah salah satu dari sedikit ulama klasik yang memliki “sidik jari” kepenulisan yang amat unik.
Salah satu kitab al-Ghazali yang saya sukai adalah “al-Mustashfa” yang ia tulis setelah magnum opus-nya, Ihya’ Ulum al-Din. Al-Mustashfa adalah karya mengenai ushul al-fiqh atau teori hukum Islam. Di antara ribuan literatur ushul al-fiqh, inilah salah satu karya yang saya sukai karena gaya pembahsannya yang khas, dan sistematikanya yang kokoh.
Al-Ghazali menulis tiga karya mengenai ushul al-fiqh. Pertama, “al-Mankhul Min ‘Ilm al-Ushul” yang ia tulis semasa ia masih “mondok” di pesantren gurunya, Imam al-Juwaini alias al-Haramain (w. 1085). Kitab ini tidak tebal, dan mirip sebuah catatan-catatan kuliah pada saat ia “ngaji” kepada al-Juwaini. Yang kedua, “Tahdzib al-Ushul”. Inilah karya al-Ghazali yang paling komprehensif, lengkap, dan ditulis saat beliau sudah matang sebagai seorang ‘alim di Baghdad. Kitab ini hilang dan tidak lagi kita temui saat ini.
Yang terakhir adalah “al-Mustashfa” yang saya bicarakan sekarang ini. Kitab ini dikarang pada periode al-Ghazali “sepuh” sehingga bisa dianggap sebagai karya yang merefleksikan pandangan-pandangannya yang sudah definitif. Dari segi ketebalan, kitab ini adalah tengah-tengah di antara Al-Mankhul dan Tahdzib al-Ushul.
Pada pembukaan kitab al-Musyashfa, al-Ghazali mengulas sebuah tema yang menarik, tentang perbedaan antara seorang ahli fikih (al-faqih) dan seorang “mutakallim” atau ahli teologi (kalam). Baik seorang faqih atau mutakallim, menurut al-Ghazali, memiliki kesamaan; mereka sama-sama menjadikan “tindakan manusia” (human’s action; af’al al-mukallafin) sebagai fokus kajian dan analisis.
Dalam hal ini, mereka berdua sebetulnya memiliki kesamaan pula dengan para sarjana yang menggeluti ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu politik, dan ekonomi. Sebab, ilmu-ilmi “duniawi” ini juga menjadikan tindakan manusia sebagai fokus kajian, tentu dengan “approach” atau pendekatan yang berbeda-beda.
Beda antara “faqih” dan “mutakallim” adalah sebagai berikut. Seorang “faqih”, alias ahli “fekih” (ini ejaan dan pelafalan khas ala Kiai Sahal Mahfudz, kiai yang dikenal sebagai peletak dasar “fikih sosial” itu) meninjau tindakan manusia dari sudut “hukum-hukum agama” (al-ahkam al-syar’iyyah).
Ada lima hukum agama yang terkait dengan tindakan manusia: diwajibkan (wajibah) , dilarang (al-Ghazali menggunakan istilah “mahdzurah”, bukan “muharramah” sebagaimana lazim dipakai), dimakruhkan (makruhah; maksudnya: tidak dianjurkan), disunnahkan (mandub ilaiha; dianjurkan), dan dibolehkan (mubahah).
Sebagian orang ada yang mengeleh, kenapa hukum Islam selalu terpaku pada hukum halal-haram. Tentu saja. Sebab, hukum Islam memang meninjau tindakan manusia daei sudut hukum agama yang lima di atas. Jika seorang ahli fekih selalu bicara soal halal-haram, ya harus dimaklumi, sebab “formal subject” dari ilmu yang mereka geluti mengharuskan demikian.
Ini bisa dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. lmu antropologi, misalnya, pastilah akan berbicara mengenai tema “kinship” atau hubungan kekerabatan. Jika Anda belajar antropologi, ya tak bisa memghindar dari kajian soal kinship ini, suka atau tidak. Jika Anda belajar fekih, ya Anda tak bisa menghindar dari kajian soal halal-haram.
Sementara itu, seorang “mutakallim” atau ahli kalam/teologi menganalisis tindakan manusia dari sudut “hukum-hukum rasional” (al-ahkam al-‘aqliyyah). Misalnya, secara rasional, tindakan manusia itu masuk dalam kategeori besar bernama “al-kawn” atau “ada”. Setiap sesuatu yang ada akan dengan sendirinya, menurut hukuk akal sehat manusia, terbagi menjadi dua sub-kategori: diam dan bergerak (al-sukun wa al-harakah).
Dengan kata lain, semua yang ada jika tidak diam ya bergerak. Akal kita tak bisa menerima adanya kategori ketiga: tidak diam dan tidak bergerak. Ilmu kalam membahas tindakan manusia dalam konteks kategori besar “ada” ini. Atau, dalam bahasa filsafat saat ini, ilmu kalam mendekati tindakan manusia sebagai bagian dari ilmu besar bernama: ontologi, ‘ilm al-wujud, ilmu tentang ada.
Perbedaan mendasar antara ilmu fiqh dan kalam adalah ini: jika fiqh secara asas didasarkan pada wahyu dan tuntunnan agama, ilmu kalam adalah ilmu rasional yang didarkan pada penalaran akal manusia. Karena itu, belajar ilmu kalam sama saja dengan belajar ontologi dan menggunakan pendekatan rasional.
Waktu saya belajar kitab-kitab ilmu kalam di pesantren dulu, saya tidak pernah menyadari bahwa pada dasarnya saya mempelajari ilmu yang di universitas modern dinamai dengan nama yang “keren”, yaitu ontologi. Sebagai kita tahu, ontologi adalah salah satu cabang penting dalam ilmu filsafat.
Salah satu kitab kalam yang banyak dikaji di pesantren adalah “Umm al-Barahin” karya Imam Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (w. ca. 1490) dari al-Jazair. Kitab ini biasanya dikaji oleh santri yang sudah cukup senior. “Ngaji” kitab ini membutuhkan “kernyitan” dahi yang berlipat-lipat karena pembahasannya yang berbau filsafat dan sulit dicerna.
Walau tidak terang-terangan menyatakan belajar filsafat, tetapi dengan ngaji kitab Umm al-Barahin, pada dasarnya para santri belajar filsafat. Sebab salah satu tema yang dibahas dalam kitab itu adalah soal “ada”, wujud, yang merupakan bahasan penting dalam ilmu filsafat.
Sekian.