La yusyakkikannaka fi al-wa’di ‘adam wuqu’ al-mau’ud, wa-in ta’ayyana zamanuhu, li-alla yakuna dzalika qadhan fi bashiratika, wa ikhmadan li-nuri sariratika.
Janganlah janji Tuhan yang tak terwujud membuatmu meragukan akan janjiNya, meski
–taruhlah– janji itu diberikan waktu yang jelas. Hal itu agar tak merusak
kejernihan batinmu, dan memadamkan cahaya rohmu.
Pengertian Umum
Pada bagian terdahulu kita berbicara mengenai doa yang tampak tak pernah atau lama tak terkabulkan. Keadaan itu bisa membuat seorang beriman merasa putus asa, terdampar secara mental. Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya.
Intinya, sekali lagi, kita diajak oleh Ibnu Ataillah untuk membiasakan diri melihat hidup secara optimis, walau ia berjalan tak sesuai dengan “kehendak kecil” kita sebagai manusia.
Manakala Tuhan menjanjikan sesuatu, misalnya melalui Kitab Suci atau perantaraan yang lain, dan janji itu ternyata tak terpenuhi, bagaimana sikap kita? Apakah kita harus mengatakan bahwa Tuhan ingkar janji? Haruskah kita marah, kecewa, dan bahkan mencerca Tuhan? Atau, jika Anda seorang ateis atau agnostik: Haruskah Anda mencela kenyataan dan meneriakkan kekecewaan, “Dunia tak adil!”?
Dalam Alquran, Tuhan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan berbuat kebaikan di bumi. Ini bisa dibaca di QS 24: 55.
Kenapa, mungkin kita sebagai umat Islam bertanya, kita sekarang justru terpuruk sebagai umat? Kenapa dunia Islam terbelakang? Manakah janji Tuhan akan memberikan kemenangan kepada umat Islam?
Janji Tuhan yang tak terwujud, atau belum terwujud, janganlah membuat kita meragukan janji-Nya. Jika Anda telah bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku, sesuai dengan tip-tip kesuksesan yang diwedarkan oleh para juru motivator, janganlah putus asa terlebih dahulu.
Keputus-asaan semacam itu hanyalah akan membuat mata batin Anda menjadi pudar dan padam. Anda akan kehilangan ketajaman untuk melihat peluang lagi. Anda, dengan sikap yang negatif seperti itu, tak akan memiliki “tenaga psikologis” dan semangat untuk berbuat lagi, mencoba lagi, mengulangi lagi. Barangkali ada hal yang salah dalam proses Anda bekerja sebelumnya.
Jika umat Islam saat ini terdampar di pinggiran sejarah, padahal Tuhan menjanjikan dalam Kitab Suci-Nya bahwa Ia akan menolong mereka, janganlah hal itu membuat mereka patah-harapan, atau meragukan janji Tuhan.
Seorang beriman haruslah memiliki pandangan yang optimis tentang sejarah. Dalam pandangan yang seperti itu, keputus-asaan tak masuk dalam kamus seorang beriman.
Manfaat sikap positif semacam ini, kita tahu, adalah memberikan kita suatu tenaga mental untuk terus mencoba kembali. Janji Tuhan dalam bentuk hukum alam –barangsiapa bekerja keras, ia akan menuai hasil—akan pasti terwujud. Tetapi ia terwujud bukan dalam cara yang kita kehendaki. Kadang-kadang, ia terwujud secara tak terduga-duga, dalam bentuk yang tak pernah muncul dalam rencana awal.
Life is full of surprises. Hidup kerap berisi kejutan-kejutan di tikungan. Dan saya yakin, Anda sering mengalami hal semacam ini dalam hidup. Banyak hal yang kita rencanakan secara matang dari awal, dan kita bekerja keras, seraya berdoa, untuk meraih itu. Tetapi, pada ujungnya, rencana itu tak terwujud. Di tikungan hidup, yang muncul justru hal lain. Hal-hal semacam ini kerap-terjadi dalam hidup manusia. Itu mengkonfirmasi kebijaksanaan Ibnu Ataillah ini.
Pengertian Khusus
Ibnu ‘Ajibah, pengarang syarah al-Hikam, memberikan ajaran yang sangat penting bagi orang-orang yang sedang menjalani “suluk” atau perjalanan spiritual, di bawah bimbingan spiritual seorang guru (mursyid).
Ajaran itu ialah: fandzur ahsan al-ta’wilat wa-l-tamis ahsan al-makharij. Jika engkau berhadapan dengan sebuah janji Tuhan, entah dikatakan lewat wahyu, ilham para wali, atau jalan-jalan yang lain, lalu janji itu tak segera atau malahan tak terwujud sama sekali, maka carilah “takwil” (pemahaman). Carilah cara bagaimana Anda mengerti kenapa sesuatu terjadi seperti itu, dan tidak dengan cara yang lain.
Selalu Ada jalan untuk mengerti kenapa sesuatu terjadi tidak seperti yang dijanjikan. Carilah jalan untuk mengerti, untuk men-takwil. Itulah ajaran dari pengarang komentar atas Kitab Hikam itu. Dengan pengertian seperti itu, seorang murid tarekat bisa menghindarkan pikiran dan sangkaan buruk mengenai Tuhan atau gurunya.
Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari ajaran Syekh Ibnu Ataillah ini?
Kita, di sini, diajarkan untuk memahami kenyataan hidup yang tak sesuai dengan “hukum realitas” atau janji Tuhan dengan cara tertentu sehingga kita tak memiliki prasangka buruk. Sebab prasangka buruk hanyalah mendatangkan negative thinking, pikiran yang kotor dan situasi kejiwaan yang tak sehat.