Sedang Membaca
Mengetahui untuk Menguasai atau untuk Menghargai?
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Mengetahui untuk Menguasai atau untuk Menghargai?

Para filsuf muslim yang mewarisi khazanah filsafat Yunani sering mengemukakan bahwa sumber kebahagiaan adalah “ارتسام المعقولات فی النفس” (irtisām al-ma’qūlāt fi al-nafs), yakni munculnya pengetahuan dalam “nous” atau “nafs”, “jiwa” kita.

Para filsuf itu menggambarkan pengetahuan itu sebagai “rasm”, tulisan, atau gambar yang tercetak dalam jiwa. Yang dimaksud gambar di sini adalah gambar benda-benda yang ada di sekitar kita. Ketika rumah yang kita lihat dengan mata kita berubah menjadi “image” atau gambar rumah dalam pikiran, bukan lagi rumah fisik, maka kita memiliki pengetahuan tentang rumah itu.

Rumah yang sudah berubah menjadi gambar pikiran itu, dalam filsafat, disebut sebagai “ma’qūlāt” (معقولات). Dalam tradisi filsafat Barat, dia disebut: intelligibles.

Menurut filsuf muslim seperti al-Farabi (w. sekitar 950), makin banyak ma’qulat atau pengetahuan yang tercetak dalam pikiran kita, makin besar kemungkinan kita untuk bahagia.

Dalam tradisi filsafat Islam, isi pengetahuan itu hanyalah dua saja, yaitu “tashawwur” (تصور) dan “tashdiiq” (تصديق). Tashawwur adalah pengetahuan tentang suatu barang secara individual tanpa relasi (nisbah, idlafah), hubungan dengan sesuatu yang lain. Sementara tashdq adalah pengetahuan kita tentang benda dalam hubungannya dengan hal lain.

Rumit? Jangan khawatir. Sebetulnya sederhana kok, cuma para filsuf itu kadang senang merumitkan hal yang sebetulnya sederhana. Saya kasih contoh agar mudah memahami konsep ini.

Jika kita tahu apa rumah itu, maka inilah yang disebut “tashawwur”. Rumah adalah, misalnya, bangunan yang menjadi tempat tinggal manusia. Tetapi jika kita tahu bahwa rumah A terletak di perumahan B, ini namanya “tashdiiq”. Dalam tashdiiq kita tidak saja mengetahui sesuatu saja, tetapi sesuatu dalam relasinya kepada sesuatu yang lain.

Dalam contoh tadi, kita mengetahui tentang rumah yang terletak di sebuah tempat. Konsep rumah berhubungan dengan konsep tempat.

Dalam tashdiiq selalu terdapat pengetahuan tentang dua hal atau lebih. Makin rumit suatu pengetahuan, makin banyak dan kompleks hubungan-hubungan antara banyak hal yang ada di dalamnya.

Baca juga:  Diaspora Santri (7): Dari Ghazali hingga Euler, Bagaimana Sosok Jenius Terlahir dari Guru yang Hebat

Itulah konsep sederhana tentang pengetahuan dalam tradisi filsafat Islam. Tentu, ini semua berasal dari tradisi filsafat Aristoteles di Yunani. Meski demikian, filsuf muslim bukan sekedar mewarisi saja, melainkan melakukan pengembangan secara kreatif.

Sekarang saya akan bergerak ke tahap berikutnya, yaitu tentang implikasi atau dampak dari pengetahuan. Jika kita punya pengetahuan, apakah akibatnya? Ada dua model di sini. Pertama, pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang “enabling“, membuat manusia mampu berbuat sesuatu. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kekuasaan.

Roger Bacon (w. 1626), filsuf Inggris, konon dikenal sebagai orang yang mempopulerkan ucapan ini: “scientia potentia est“, pengetahuan adalah kemampuan dan kekuasaan.

Contohnya sederhana saja. Jika kita memiliki pengetahuan melalui Google map bahwa letak toko A ada di jalan B, maka pengetahuan ini akan “enabling”, membuat kita berdaya dan mampu untuk pergi ke toko itu secara benar. Karena itu, kebodohan adalah situasi ketidakberdayaan, powerlessness, عدم القدرة (‘adam al-qudrah).

Konsep tentang pengetahuan sebagai kekuasaan ini belakangan menjadi sasaran kritik keras dari para filsuf “kiri”, misalnya para filsuf yang berkumpul dalam mazhab Frankfurt. Kritik mereka sederhananya adalah demikian: konsepsi tentang pengetahuan sebagai kekuasan membuat manusia memakainya sebagai alat untuk menguasai dan memanipulasi alam secara eksesif, dan akibatnya menimbulkan banyak bencana dan kerusakan habitat manusa.

Kritik itu malah bergerak lebih jauh. Pengetahuan sebagai kekuasaan ini, dalam praksis kehidupan modern, bukan saja berlaku pada hubungan manusia dengan benda, melainkan juga dalam hubungan intersubyektif antar manusia. Hubungan-hubungan antar manusia semakin mengarah kepada model penguasaan, penundukan, pembendaan (reifikasi, تشیيئ). Pengetahuan tentang manusia lain justru menjadikan kita mampu (powered) menundukkan dan menguasai dia.

Baca juga:  Eksistensialisme Manusia Jawa

Ini, misalnya, terjadi dalam dunia marketing. Pengetahuan tentang prilaku konsumen membuat kita mampu merumuskan “strategi” yang jitu untuk membujuk agar mereka mau membeli barang yang kita jual. Pembujukan seperti itu pada dasarnya adalah sebentuk “kolonialisme,” atau penundukan yang halus atas yang lain. Orang lain tidak lagi dianggap sebagai manusia yang berkesadaran, melainkan obyek mati yang menjadi sasaran penguasaan dan penundukan.

Karena itu, kita perlu mengenal konsep kedua, yaitu pengetahuan sebagai sumber cinta dan menyayangi: المعرفة هى المحبة (al-ma’rifah hiya al-mahabbah). Dalam konsep ini, pengetahuan bukan kekuasaan, melainkan sesuatu yang menyebabkan kita mencintai dan menghargai sesuatu yang kita ketahui itu. Pengetahuan adalah sumber dari mana kasih-sayang berasal.

Konsep kedua ini kita jumpai, misalnya, di kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali (w. 1111). Di beberapa pembahasan tentang tema akhlaq dalam juz ketiga kitab ini, Imam Ghazali selalu mengaitkan antara “pengetahuan” dan “mencintai”, antara معرفة (ma’rifah) dan محبة (mahabbah). Ini relevan terutama dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kecintaan kita kepada Tuhan adalah permulaan kita untuk mencintai-Nya. Tanpa pengetahuan yang tepat tentang Tuhan, tak mungkin kita mencintai-Nya.

Model pengetahuan kedua patut kita pakai terutama dalam hubungan-hubungan intersubyektif antara manusia. Pengetahuan tentang manusia lain seharusnya menjadi sumber kecintaan dan penghargaan kita kepada mereka, bukan malah membuat kita justru memiliki alat yang kian canggih untuk “mengeksploitasi”.

Dengan demikian, ketiadaan pengetahuan akan membuat kita cenderung membenci orang atau golongan lain. Pepatah Melayu sudah menegaskan ini sejak lama, “tak kenal maka tak sayang”. Pepatah Arab juga mengenalkan pemahaman serupa: الإنسان أعداء ما جهلوا (al-insānu a’dā’u mā jahilū; manusia cenderung memusuhi perkara yang ia tak ketahui).

Kalau kita kembalikan kepada konsep kebahagiaan, pengetahuan yang mendorong kita menyayangi dan menghargai liyan akan membuat kita bahagia. Makin besar pengetahuan, makin dalam penghargaan kita terhadap orang lain, dan makin bertambah pula kebahagiaan kita. Pengetahuan, cinta/penghargaan, kebahagiaan – – ketiganya saling berhubungan secara kausal.

Baca juga:  Babak Baru Deddy Corbuzier dan Konten YouTube-nya

Mana model yang tepat? Apakah pengetahuan sebagai kekuasaan atau pengetahuan sebagai cinta?

Menurut saya, kedua model pengetahuan ini kita butuhkan sekaligus, asal kita paham bagaimana meletakkan keduanya dalam proporsi yang tepat.

Ada bidang-bidang tertentu dalam kehidupan di mana pengetahuan dibutuhkan sebagai alat untuk membuat kita “mampu” menguasai sesuatu yang lain. Misal yang baik adalah pengetahuan seorang dokter tentang penyakit sebagai alat untuk menguasai dan menundukkannya.

Meskipun, dalam hal penyakit ini, ada konsepsi dalam mistik atau tasawuf Islam yang memandang penyakit bukan sebagai musuh yang harus ditundukkan, melainkan sebagai “sahabat” yang membukakan pintu kepada Tuhan (dalam istilah kitab Hikam: وجهة من التعرف, wijhah min al-ta’arruf).

Sementara itu, ada bidang-bidang lain di mana kita seharusnya memperlakukan pengetahuan sebagai sumber kasih sayang dan penghargaan kepada orang lain. Dalam hubungan antar-manusia, sebaiknya pengetahuan kita perlakukan demikian. Jangan sampai kita menjadikan pengetahuan sebagai alat untuk menguasai orang lain.

Problem kita dalam era media sosial saat ini persis di sini: kita sering terlibat dalam percakapan di media sosial bukan untuk mengenal lebih baik orang lain yang secara ironis disebut sebagai “friend“, melainkan untuk “menundukkan”, bahkan menyerang dia. Di sini, yang berlaku adalah model “scientia potentia est,” pengetahuan adalah kekuasaan dan menguasai.

Mampukah kita bergerak ke level yang lebih tinggi, lebih rohani, dan memandang pengetahuan kita tentang orang lain dalam media sosial ini sebagai sumber kasih sayang dan penghargaan kita kepada dia?

Semuanya terserah kepada kita untuk memutuskan: hendak bahagia dengan menghargai orang yang beda, atau sengsara dengan menegasikan dan menyangkal kehadiran orang lain itu?

Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top