Sedang Membaca
Melawan Syahwat dengan Syahwat
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Melawan Syahwat dengan Syahwat

Kitab Ihya Ulumuddin Dki

Salah satu oleh-oleh yang bisa kita bawa pulang dari Ngaji Ihya’ pada Kamis 19 Maret 2020 adalah ajaran dari Imam Ghazali (w. 1111) tentang “melawan syahwat dengan syahwat”. Ajaran ini bukan orisinal datang dari al-Ghazali sendiri, melainkan dari sufi besar asal Damaskus bernama Abu Sulaiman al-Darani (w. 830). Yakni ajaran: melawan syahwat dengan syahwat.

Syahwat atau keinginan, dorongan, hasrat untuk menikmati sesuatu (konsumsi) adalah tema utama yang menjadi pusat perhatian para sufi besar sejak awal. Malahan bisa dikatakan bahwa masalah syahwat inilah yang pertama kali menjadi raison d’être, alasan lahirnya gerakan tasawwuf pada abad-abad pertama dalam sejarah Islam.

Gerakan tasawwuf pada generasi awal Islam, yaitu abad pertama hingga abad ke-3 Hijriyah, mengambil bentuk gerakan-gerakan “pietis” atau kesalehan yang disebut zuhud. Para pelaku tasawwuf di masa itu tidak disebut sebagai “sufi” atau “mutaṣawwif”, karena istilah ini belum banyak dikenal. Para sufi-sufi besar Islam pada masa awal lebih sering disebut “al-zāhid” (jamak: al-zuhhād) — yakni orang-orang yang menjalani “zuhud” (menjauhi dunia).

Sosok yang telah disebut di awal, yaitu Abu Sulaiman al-Darani, oleh Imam al-Ḍahabi (w. 1348) dalam “Siyar Aʻlām al-Nubalā’”, misalnya, digambarkan sebagai “al-Imām Al-Kabīr Zāhid al-ʻAṣr”, seorang imam agung yang merupakan tokoh zuhud pada masanya. Ia sama sekali tidak disebut sebagai “tokoh sufi”, sebab istilah itu belum dikenal pada masa Imam al-Darani hidup.

Inti ajaran zuhud sangatlah sederhana: yaitu kemampun untuk mengambil jarak dari dunia, dari hasrat-hasrat material. Meskipun sebagian kalangan memiliki pandangan keliru bahwa sufisme identik dengan membenci dunia, para sufi sebetulya bukanlah menganjurkan untuk memandang dunia dengan kebencian.

Baca juga:  Waliyullah itu Tidak Harus Memiliki Karomah yang Ditampakkan

Yang lebih tepat ialah mengambil jarak agar “jiwa” manusia tidak dikuasai oleh hasrat akan dunia. Hasrat ini, jika tidak dikendalikan, akan membawa kepada kehancuran, baik secara personal maupun sosial. Contoh terbaik adalah konsumerisme modern yang bisa menjebak seseorang dalam konsumsi barang atau makanan secara eksesif, secara berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan, baik secara personal pada orang bersangkutan, maupun secara sosial.

Kerusakan alam, antara lain dalam bentuk ancaman perubahan ikli dan pemanasan global saat ini, sebagian besar berasal dari pola pertumbuhan ekonomi modern yang ditopang oleh eksploitasi alam secara berlebihan. Eksploitasi alam ini, jika kita investigasi lebih jauh, sebetulnya dipicu oleh kehendak yang nyaris tak berbatas pada manusia modern untuk mengonsumi barang. Jika diusut-usut lebih jauh, asal-usul malapetaka lingkungan adalah “syahwat” — tema yang sudah dibahas sejak berabad-abad yang lalu oleh para sufi Islam.

Sementara itu apa yang disebut kebutuhan kerap kali bukanlah “kebutuhan” dalam pengertian “need”. Sebagian dari apa yang disebut kebutuhan itu hanyalah keinginan dan hasrat akan barang — “a desire for things”. Apa yang disebut konsumsi dalam masyarakat modern seringkali adalah sejenis “leisure”, kesenangan dan kenikmatan. Ketika berbelanja, misalnya, saya kadang tidak sedang benar-benar membutuhkan barang yang akan saya beli itu, tetapi saya hanya ingin memuaskan hasrat untuk membeli barang; saya hanya ingin merasakan “kenikmatan” pengalaman berbelanja itu.

Baca juga:  Sangkan Paran dan Sekilas Kenangan

“To buy is to feel the joy of leisure”, membeli adalah kenikmatan — inilah gambaran secara umum pola konsumsi dalam masyarakat modern. Apa yang disebut “leisure”, kesenangan itu, itulah yang oleh para sufi-sufi Muslim di era awal Islam dinamai “syahwat”.

Secara rohani, syahwat yang tidak dikendalikan akan membawa ancaman besar. Kenaikan derajat spiritual seseorang akan terjadi jika hasrat-hasrat duniawi ini secara pelan-pelan bisa diatasi, bisa ditaklukkan. Inilah yang disebut oleh al-Ghazali sebagai “kasr al-shahwah”. Sementara itu, menundukkan syahwat tidak bisa dilakukan secara “sekali pukul”, “sak-deg sak nyet”, melainkan harus melalui latihan yang panjang — persis seperti latihan yang harus dijalani oleh atlet jimnastik atau senam. Seseorang tak akan bisa menjadi pesenam ulung jika tak melalui latihan panjang sejak umur yang sangat dini (umumnya mereka sudah melatih anak-anak sejak umur 4 atau 5 tahun).

Kunci utamanya adalah “latihan” yang dalam kalangan sufi diungkapkan dengan istilah “riyāḍah”. Masyarakat Jawa menyebutnya: “riyalat” (huruf dad memang susah diucapkan oleh lidah Jawa). Sebagaimana seorang pesenam membutuhkan waktu yang panjang untuk membadankan (embody) teknik-teknik senam sehingga “masuk” ke dalam dirinya, begitu juga seseorang yang hendak menjalani laku spiritual: ia harus menempuh waktu dan jalan yang panjang untuk melatih diri, begitu rupa sehingga ketrampilan mengendalikan diri menjadi bagian dari dirinya, menjadi “kebiasaan baru” (al-ṭabīʻah al-thāniyah).

Baca juga:  Filosofi Tawadhu’ dalam Sebuah Dumbek

Salah satu bentuk latihan yang diajarkan oleh al-Ghazali adalah: melawan syahwat, kesenangan, dengan syahwat. Kata Abu Sulaiman al-Darani: “Jika suatu kesenangan disuguhkan kepadamu, sementara engkau hendak menghindarinya, maka cobalah untuk mencicipi kesenangan itu sedikit saja, dan jangan engkau biarkan nafsumu tak terkendali.” Ajaran serupa juga dikemukan oleh Imam Jaʻfar al-Ṣādiq (w. 765), imam keenam dalam tradisi Syiah Dua Belas (itsna ‘ashariyyah).

Kadang-kadang, cara terbaik untuk mengendalikan nafsu bukan dengan cara memutus syahwat secara total. Tindakan radikal seperti ini kadang bisa menjadi bumerang, bisa berbalik mengancam. Jika kita menghasrati sesuatu, misalnya makanan, barang, atau obyek-obyek yang lain, cara terbaik untuk mengendalikan hasrat itu kadang bukan dengan cara tak mengonsumsi barang itu sama sekali. Jika ini yang kita lakukan, nafsu kita malahan akan terus meronta, menyimpan hasrat untuk merasai barang tersebut. Dengan membiarkan nafsu kita merasai syahwat, tetapi dalam dosis yang rendah dan terukur, kita malah bisa mengendalikannya.

Ini tentu mirip dengan praktek vaksinasi: yaitu menyuntikkan virus yang sudah dijinakkan ke dalam tubuh, sehingga membentuk ketahanan (anti-body), justru untuk melawan virus itu. Melawan virus dengan virus. Melawan penyakit dengan penyakit. Meskipun ini kedengaran janggal, tetapi itulah yang terjadi.

Hal serupa berlaku dalam konteks latihan spiritual ini: melawan nafsu dengan nafsu; menaklukkan syahwat dengan syahwat; memakai trik setan untuk menaklukkan setan itu sendiri. Kadang-kadang kejahatan memang hanya bisa ditundukkan dengan kejahatan lain. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top