Keputusan Presiden Jokowi mengangkat Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Tutut, sebagai menteri agama, menggantikan Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Rozi, adalah tindakan yang tepat.
Keputusan ini diumumkan kemaren, 22/12, tepat pada Hari Ibu, sebagai bagian dari re-shuffle kabinet. Ini juga sekaligus “langkah politik” di ujung tahun yang amat tepat. Inilah alasan-alasan kenapa kebijakan presiden ini saya anggap tepat.
Sejak awal, pengangkatan Fachrul Rozi sebagai menag dalam Kabinet Indonesia Maju, sudah menimbulkan pelbagai pertanyaan. Meski tak ada aturan tertulis, selama ini diasumsikan bahwa jabatan menag adalah “portofolio politik” milik NU. Sementara itu, salah satu fokus penting pemerintahan Jokowi sejak periode pertama, sebagaimana kita tahu, adalah menangani masalah konservatisme dan radikalisme Islam. Inilah yang disebut sebagai politik kebhinnekaan ala pemerintahan Jokowi.
Kebijakan Jokowi untuk memberikan fokus pada aspek kebhinnekaan ini, menurut saya, adalah tindakan yang tepat. Selama puluhan tahun pasca-reformasi, masalah konservatisme dan radikalisme Islam menjadi keprihatinan banyak pihak. Maraknya konservatisme ini telah melahirkan sikap-sikap sosial yang kian eksklusif dan membenci pihak-pihak lain yang berbeda. Yang memprihatinkan lagi adalah bahwa tren ini justru berkecamuk di kalangan kelas terdidik di sejumlah universitas umum di pelbagai kota besar. Alih-alih menanamkan sikap-sikap keagamaan yang terbuka, sejumlah universitas itu justru menjadi bumi semai bagi konservatisme, bahkan radikalisme keislaman.
Selama ini, gerakan Islam yang menjadi ujung tombak terdepan yang mendukung politik kebhinnekaan Jokowi ini, jelas adalah dua ormas besar: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Melalui Gerakan Pemuda Ansor yang dipimpin oleh Gus Tutut, warga Nahdliyin telah berkontribusi besar dalam menjaga keragaman di Indonesia, melawan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki kecenderungan radikal. Tanpa dukungan yang genuine dari pihak Nahdliyin ini, saya berpandangan bahwa politik kebhinnekaan Jokowi akan sulit ditegakkan. “Endorsement” politik yang diberikan oleh NU jelas amat penting; ia telah memberikan legitimasi keagamaan yang kokoh. Tanpa dukungan yang kuat dari umat Islam sendiri, politik kebhinnekaan Jokowi jelas akan gagal. Apalagi jika kita pertimbangkan bahwa masalah agama, dalam gelanggang politik kita saat ini, amatlah sensitif, sekaligus amat menggoda.
Oleh karena itu, lepasnya jabatan menag dari kubu NU saat pengumuman Kabinet Indonesia Maju pada Oktober tahun lalu, membuat banyak kalangan bertanya-tanya: what has gone wrong? Apa yang salah? Yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa jabatan itu diberikan kepada sosok yang selama ini tidak memiliki trayektori yang kuat dalam perjuangan menegakkan kebhinnekaan, melawan ancaman konservatisme dan radikalisme keagamaan. Tak heran, jika langkah Jokowi pada saat itu menimbulkan “kejengkelan massif” di kalangan internal warga Nahdliyin. Saya sendiri, secara personal, termasuk orang yang “jengkel” pada keputusan Jokowi itu.
Tentu saja, dukungan NU atas politik kebhinnekaan Jokowi selama ini tidaklah diniatkan semata-mata untuk meraih keuntungan politik, sebagaimana diasumsikan oleh sebagian pihak dan pengamat. Sebagai warga NU, saya merasakan detak-jantung warga Nahdliyin di kalangan akar rumput. Saya memiliki “feeling” yang kuat bahwa dukungan mereka atas politik kebhinnekaan dan perlawanan mereka terhadap kelompok-kelompok yang memperjuangkan ide negara khilafah, misalnya, benar-benar merupakan tindakan yang “genuine”. Ideologi cinta tanah air (hubbul wathan) tertanam dengan kuat dalam tradisi warga nahdliyyin sejak awal berdirinya organisasi ini. Sejak kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini, mars “hubbul wathan” yang berisi ajakan untuk mencintai tanah air, berkumandang di hampir setiap acara-acara yang diselenggarakan oleh warga NU, terutama di kalangan Banser (salah satu sayap yang menjadi onderbouw GP Ansor).
Salah satu momen penting dalam sejarah NU terjadi pada 1984, saat organisasi ini menyelenggarakan muktamar ke-27 di kota Situbondo, Jawa Timur. Itulah momen ketika para kiai, dengan cara kultural yang khas pada mereka, dan dengan argumen yang selaras dengan tradisi intelektual dan spiritual pesantren, memutuskan untuk menerima Pancasila. Kiai Ahmad Siddiq dan Gus Dur adalah dua sosok yang amat instrumental perannya dalam merumuskan hujjah atau argumen keagamaan bagi ide penting ini: bahwa negara nasional tidak bertentangan dengan Islam; bahwa kebangsaan dan keislaman tidaklah “mutually exclusive” sebagaimana padangan sebagian kalangan Islam pada saat itu.
Puncak ikonik dari pembelaan warga NU atas budaya keragaman, menurut saya, adalah tindakan seorang warga Banser dari Mojokerto bernama Riyanto. Ia harus gugur karena menjaga sebuah gereja Protestan di kota itu. Ia meninggal karena serangan bom di Gereja Sidang Jemaat Pantekosta di Indonesia (GSJPDI) Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur, 24 Desember 2000. Itu adalah tahun kelam bagi warga Kristen dan Katolik di Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, pada hari itu, serangkaian serangan bom terjadi secara serentak di gereja-gereja di pelbagai kota di Indonesia: Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram. Bagi saya, ini bukan saja tahun kelam bagi umat Kristen/Katolik, tetapi juga umat Islam, karena tindakan ini dilakukan oleh oknum-oknum yang mengatas-namakan Islam. Islam tidaklah pernah membenarkan serangan atas rumah ibadah umat lain, bahkan dalam situasi perang sekalipun, apalagi pada masa damai.
Tindakan kepahlawanan Riyanto ini adalah simbol yang paling kuat dari warisan pemikiran Gus Dur yang selalu membela kaum minoritas sepanjang hayat. Pengaruh Gus Dur inilah yang hingga sekarang terus membekas dalam memori kultural anak-anak muda NU khususnya, dan warga nahdliyyin pada umumnya. Tentu saja tidak semua warga NU setuju pada tindakan Banser untuk ikut menjaga geraja selama perayaan Natal. Perbedaan pendapat adalah hal wajar di dalam tubuh NU. Tetapi, sikap Banser ikut menjaga gereja dan umat minoritas lain di Indonesia menjadi pemandangan yang umum selama bertahun-tahun terakhir ini – sesuatu yang, bagi saya, amat membanggakan.
Kalangan yang beranggapan bahwa pembelaan warga NU atas kebhinnekaan dan keragaman digerakkan oleh pamrih politik, sebagaimana pernah dikemukakan oleh seorang peneliti Australia itu, jelas tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu sejarah panjang berkembangnya gagasan-gagasan Gus Dur di tubuh warga NU. Mereka hanya melihat NU dari sudut pandang sempit, yaitu politik Pilpres di tahun 2019, tetapi mengabaikan (meminjam istilah dari sosiolog Jerman Norbert Elias – agar tampak keren!) “proses pemeradaban” (civilizing process) yang sudah berlangsung lama di tubuh warga nahdliyyin. Proses ini dimungkinkan karena ajaran-ajaran Gus Dur yang terus dipertahankan hingga sekarang.
Mereka yang beranggapan bahwa warga NU mendukung politik kebhinnekaan Jokowi karena hendak meraih “keuntungan politik” tertentu, adalah orang-orang yang menderita “myopia sejarah”. Saya justru berkata sebaliknya: pemerintahan Jokowi berani mengadopsi dengan “firm” politik kebhinnekaan selama ini, berhadapan dengan kelompok-kelompok intoleran, antara lain karena ada “sokongan moral” yang kuat dari ormas-ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Jangan dibalik!
Itulah sebabnya, keputusan Presiden Jokowi mengangkat Gus Tutut sebagai menag adalah tindakan yang tepat. Jokowi telah kembali ke khittah politik yang benar. Tindakan ini lebih sesuai dengan “platform besar” pemerintahannya yang hendak mengatasi secara serius problem konservatisme dan radikalisme agama di Indonesia. Langkah presiden ini juga lebih sesuai dengan kehendak pemerintah untuk “memasarkan” model Islam yang moderat ke dunia internasional. Langkah ini jelas lebih “compatible” dengan wacana moderasi keagamaan (wasathiyyat al-Islam) yang dicanangkan oleh Kementerian Agama di bawah kepemimpinan menag yang lalu, Lukman Saifuddin. Dengan mengatakan ini semua, tidak berarti bahwa langkah-langkah Presiden Jokowi dalam menangani masalah konservatisme dan radikalisme keagamaan di Indonesia seluruhnya tepat.
Bagi saya, ada sejumlah masalah yang harus “dibereskan” dalam politik kebhinnekaan Jokowi. Tetapi ini adalah tema untuk tulisan lain. Biarkan saya menikmati “excitement” atau kegembiraan dulu atas kebijakan Presiden Jokowi yang baik dan tepat ini.