Hampir setiap manusia pasti memiliki kemauan ataupun cita-cita. Baik itu kemauan yang bersifat baik maupun buruk. Keduanya pun membutuhkan sebab agar bisa terwujud. Misalnya ketika seseorang ingin pintar, maka ia harus belajar dengan giat. Ataupun ingin menikahi seorang gadis cantik nan jelita, maka ia harus menyatakan rasa cintanya dan berniat menikahinya. Dan begitu seterusnya. Namun, dari segala keinginan yang ada, lantas hal itu tidak akan bertolak belakang dengan kehendak dan takdir Allah taala.
Banyak dari manusia sering mengeluhkan seraya menggugat kehendak Tuhan lantaran terdapat suatu keinginan yang tidak tercapai. Bahkan, tidak hanya itu, hati kita pun sering bertanya-tanya dimana letak keadilan Tuhan ketika terpampang jelas di hadapan kita seorang anak kecil yang ditinggal mati kedua orang tuanya. Ataupun seorang pekerja keras, seluruh waktu ia curahkan untuk mencari harta, namun hingga tua tak kunjung kaya.
Terdapat kisah menarik mengenai kehendak dan kuasa Allah taala. Kisah ini disampaikan oleh Syekh Anas al-Syarfawi dalam sebuah kajian kitab tauhid Tuhfah al-Murid. Kisah itupun juga beliau dapatkan dari kitab fenomenal Imam al-Ghazali, tidak lain yaitu kitab Ihya’ Ulum al-Din.
Kisah ini dimulai ketika ada selembar kertas putih yang terdapat coretan di punggungnya. Lantas ia pun bergegas menghampiri pena seraya bertanya.
“wahai pena, mengapa engkau mencoret-coret bagian tubuhku yang bersih ini?”.
“mengapa engkau bertanya demikian? Bukankah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya tanganlah yang menjadi sebab diriku mencoret-coret dirimu, wahai kertas”. jawab pena.
Lantas, bergegaslah kertas menemui tangan sembari melemparkan pertanyaan yang sama.
“tangan, mengapa engkau menggunakan kekuatanmu sehingga mampu menggerakkan pena untuk mencorat-coret punggungku?”
“aku pun tidak tahu menahu soal itu, karena sesungguhnya diriku pun digerakkan oleh kehendak manusia” jawab tangan dengan nada masa bodoh.
Lalu kemudian, ia bertanya kepada kehendak manusia.
“wahai engkau kehendak manusia, mengapa dengan kehendakmu, lantas engkau menjadi dalang atas tercoretnya tubuhku yang putih ini?”
“wahai kertas, ketahuilah! segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini sudah tertulis di lauhul mahfudz. Begitu pula atas terjadinya coretan di tubuhmu”.
Lanjut kertas bergegas menemui lauhul mahfudz dan bertanya.
“mengapa pada dirimu tertera sebuah takdir atas tercoretnya tubuhku, wahai lauhul mahfudz”?
“jika engkau ingin tahu mengapa ada coretan pada tubuhmu, bertanyalah kepada Allah! Karena Dialah dzat yang maha berkehendak”. Jawab lauhul mahfudz.
Setibanya kertas di hadapan Allah taala, ia pun bertanya atas coretan yang menimpa dirinya.
“wahai Allah, aku menyakini bahwa engkau adalah dzat yang maha berkehendak. Akan tetapi, mengapa dengan kehendak-Mu terjadi sebuah coretan atas tubuhku yang bersih ini?”
Lantas Allah pun menjawab. “kertas, jika engkau menyakini bahwa segala hal di alam ini adalah kekuasaan-Ku dan tidak terlepas bagi-Ku sesuatu apapun, mengapa engkau lancang menanyakan hal itu? Sadarlah pada kedudukanmu saat ini wahai kertas! kalaupun engkau menyakini aku adalah dzat pemilik segala apapun, maka engkau akan sadar tidak ada yang bisa mengatur-Ku pun juga bebas bagi-Ku untuk berbuat sesuai kehendak-Ku”.
Dari rentetan perjalanan kertas di atas, kita dapat mengambil sebuah nasihat, Bahwa kejadian di muka bumi ini, baik dan buruknya tidak terlepas dari Allah taala. Oleh karena itu, Musibah atau cobaan yang terjadi pada hakikatnya memiliki sebuah hikmah tersembunyi. Adakalanya Allah menguji kesabaran kita, atau Allah akan memberikan nikmat yang berlipat ganda di dunia ataupun di akhirat.
Maka dari itu, cukup bagi kita untuk mengimani bahwa segala hal di dunia ini pasti bersumber dari Allah taala. Dan segala hal yang terjadi, pasti ada sebuah hikmah yang terkandung di dalamnya. Bukankah Allah sudah berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 23:
لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُوْنَ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya“.
Syekh Anas al-Syarfawi dalam kajian kali ini juga memberikan sebuah nasihat yang berbunyi:
فعل الله لا ترتقي إليه أذهان البشر. فحكمته مغيبة عن أذهاننا ولا يمكن العبد أن يكتشف حكم الله وأسراره
“Pikiran manusia tidak akan mampu menembus perbuatan Allah. Maka, hikmah dari kejadian yang terjadi pun juga bersifat gaib. Dan mustahil bagi hamba untuk mengetahui hikmah-hikmah Allah dan segala rahasiaNya.
Terakhir, kita hidup di dunia ini tak lebih hanya sebatas hamba. Selayaknya seorang hamba sahaya, apakah mampu berbuat bebas tanpa seizin dari tuanya? apakah layak bagi kita protes terhadap ketetapan Allah yang terjadi? Lantas dimanakah letak makna “kehambaan” pada diri kita jika acap kali kecamuk protes ketidaksetujuan atas hal yang terjadi?
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita harus menyakini bahwa Alllah adalah sebaik-baik dzat yang menentukan jalan hambaNya. Wallahu A’lam.