Sedang Membaca
Tren Habib dan Ulama
Syamsul Arifin
Penulis Kolom

Pegiat literasi keislaman, kebudayaan, dan ke-NU-an. Tinggal di Jombang, Jawa Timur.

Tren Habib dan Ulama

Term habib dan ulama belakangan menjadi lebih dikenal masyarakat dibandingkan sekira dua atau tiga tahun sebelumnya. Dunia digital telah mampu mengantarkan masyarakat lebih mudah mendengar nama dan atau istilah tersebut, meski keberadaan habib dan ulama sebetulnya sudah ada sejak lama, bahkan dari berabad-abad sebelumnya.

Masyarakat kiranya perlu bersyukur dengan perkembangan dunia digital yang begitu cepat memberikan informasi kepada mereka. Tak perlu sehari suatu peristiwa dapat diketahui dengan begitu jelasnya, termasuk istilah ulama dan habib yang bisa dibilang tiap hari mereka akan mendengar dua label itu saat ini, lantaran ulama maupun habib banyak berkiprah dan berulah.

Namun demikian, pengetahuan masyarakat yang baru mengenal istilah habib dan ulama akan cenderung keliru dan keluar dari makna serta konteks yang sesungguhnya. Pasalnya, nama habib atau ulama yang kerap muncul ke permukaan adalah mereka yang seringkali berurusan dengan pihak penegak hukum belakang ini.

Jika peristiwa demikian itu terulang, dan bahkan terus berkembang di tengah masyarakat, maka makna ulama dan habib yang sesungguhnya benar-benar telah ‘mati’. Mirisnya lagi, akan sangat mungkin tras masyarakat terhadap ulama dan habib akan hilang.

Padahal derajat ulama sungguh mulia, hingga memperoleh kepercayaan nabi sebagai pewarisnya. Artinya, posisi mereka sebenarnya menjadi nabi setelah nabi-nabi yang ditunjuk Allah telah usai di zaman Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, penulis memandang perlu adanya sebuah informasi yang seimbang atau bila perlu lebih domain informasi yang menyajikan terkait term dua label tersebut secara utuh, mulai aspek kesejarahan dari masa ke masa yang tak putus hingga masa melenial seperti saat ini. Tentu melakukan ini tak semudah mengedipkan mata, namun penulis meyakini masih banyak para pakar, akademisi, sejarawan, profesor, kiai dan seterusnya yang bisa memberikan informasi yang tepat dan akurat kepada masyarakat tentang dua term di atas akhir-akhir ini.

Baca juga:  Tafsir Berbahasa Urdu

Menyajikan informasi saat ini sangat mudah, bahkan lebih mudah lagi daripada mencari informasi yang sesuai fakta, atau yang biasa dikenal dengan berita yang tidak hoaks. Dengan keterbukaan dunia digital yang ditandai lahirnya beragam media sosial tentu memberikan peluang besar untuk mereka dapat memberikan sebuah informasi yang tepat, sehingga pemahaman masyarakat khususnya untuk term habib dan ulama tidak salah kaprah.

KH. A. Mostofa Bisri atau sosok kiai yang kerap disapa Gus Mus belakangan mulai memprovokasi dan menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya gemar ‘manggung’ dan ‘melawan’ (istilah penulis). Kiai, ulama, gus, neng dan orang-orang yang berilmu mapan didorong untuk mengubah cara pandang dari istilah ‘yang waras ngalah’ menjadi ‘saat ini yang waras jangan ngalah’.

Perubahan istilah tersebut tentu dilatarbelakangi oleh perkembangan situasi yang ada saat ini. Pada suatu kesempatan Gus Mus juga mengatakan, jika yang waras terus diam, maka yang tidak waras akan merasa selalu benar meski sebenarnya keliru karena kerap tampil di muka umum.

Kembali lagi pada term habib, Habib Luthfi bin Yahya pernah mengatakan, seluruh keturunan yang mempunyai nasab langsung ke Nabi tidak menjamin bahwa akhlak orang tersebut baik. Alasannya, mereka hanya sebatas nasab, tidak sama dan tidak lebih dari Nabi yang sudah dimakshum oleh Allah SWT. Jika perkembangannya ada habib yang memiliki sifat dan sikap tak baik, tentu itu adalah manusiawi lantaran ia memang tak ada jaminan makshum dari Allah SWT. Bisa jadi seorang habib lebih tak baik daripada manusia pada umumnya.

Baca juga:  Santri dan Konservasi Lingkungan (4): Fikih Bi’ah: Ikhtiar Merumuskan Cara Pandang Fikih Soal Lingkungan

Sebutan Habib

Prof. M. Quraish Shihab menuturkan bahwa sebutan habib mempunyai makna orang yang dicintai sekaligus mencintai. Artinya, seseorang dengan sebutan habib tidak hanya ingin dincintai, tetapi juga harus mencintai.

Menurut dia, penekanan pada sebutan habib itu adalah pada akhlak. Dan akhlak inilah menjadi alasan fundamental bahwa tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Sebagaimana di beberapa literatur klasik, keturunan Nabi dari Sayyidina Husein disebut sayyid, sedangkan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyidah Fatimah binti Muhammad dari hasil pernikahannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Pada perkembangannya, sebutan habib diatur oleh organisasi pencatat keturunan Nabi, Rabithah Alawiyah. Menurut organisasi ini seorang ‘bergelar’ habib apabila memiliki kriteria yang meliputi cukup matang dalam hal umur, memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati, serta bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top