Pertengahan abad ke-7 di negeri Cina. Raja muda Sie Jin Kwie memerintah satu wilayah dengan adil dan bijaksana. Namun, orang baik tidak pernah sendiri, selalu dibayangi penjahat rakus. Bie Jin memfitnah Sie Jin Kwie telah berlaku tidak senonoh sehingga Kaisar ingin menghukum mati. Kisah sang pahlawan berbaju putih ini pernah dipentaskan oleh Teater Koma dengan judul “Sie Jin Kwie Kena Fitnah”, sepuluh tahun lalu. Drama pembauran antara opera Cina, boneka potehi, golek menak, wayang orang, dan wayang tavip.
Saya sontak mengingat pentas itu ketika kemarin (Rabu, 10/2/2021) “teman Cina” saya mengirimi buah-buahan yang dibungkus kardus merah bertuliskan huruf Cina, juga amplop merah (tanpa uang) dengan tulisan warna emas. Ah, iya, sudah Imlek lagi, dan sama seperti tahun lalu, pergantian tahun pada 2021 ini dilalui dalam hening, tanpa barongsai dan liong yang meliuk-liuk dan tetabuhan riuh di mal-mal. Tentu saja, saya rindu suasana panggung itu, dengan grup-grup teater yang suka mengangkat kisah-kisah Cina, satu di antaranya Teater Koma.
Membawa narasi akulturasi dan pergumulan Cina dan Nusantara ke dalam panggung teater, musik, dan busana, menjadi satu upaya kampanye kultural yang cukup ampuh untuk menunjukkan betapa jati diri Indonesia saat ini adalah pembauran beragam budaya. Apalagi kalau penontonnya banyak, apalagi kalau diputar juga di televisi, apalagi kalau disiarkan juga di YouTube.
Tidak perlu terlalu jauh mengulik DNA austronesia atau melanisia dalam diri kita, saat ini kita semua memang tidak bisa lagi dikotak-kotakkan. Betapa sejak puluhan ribu tahun lalu hingga kini budaya bangsa-bangsa sudah bercampur-baur saling mempengaruhi dan mengisi.
Teater Koma dengan gagasan-gagasan kisah pewayangan (yang terpengaruh India) dan legenda Cina membuatnya sulit mati gaya. Kelompok teaternya Nano Riantiarno ini pernah mementaskan lagi naskah saduran Opera Ular Putih (yang pernah dipanggungkan tahun 1994) pada April 2015. Naskahnya sedikit dipoles, disesuaikan dengan perkembangan, ketika agama Budha, Tao, dan Kong Hu Chu makin harmonis.
Pembauran budaya Cina dan Indonesia dalam teater bukan hanya pada cerita dramanya, tapi juga fashion. Kostum pada Opera Ular Putih tahun 1994 adalah batik, semacam adaptasi atau pembauran antara Cina dan Jawa melalui batik yang gila-gilaan ornamen cinanya. Lihat saja batik Lasem, misalnya.
Inti kisahnya tetap tentang siluman ular putih yang menyamar menjadi perempuan cantik dan membaur dengan kehidupan manusia. Namun, ada pesan lain dari Nano. Monster dan manusia juga membaur di negeri ini. Manusia bisa menjadi monster. Tidak banyak kisah dari Cina yang dipentaskan Teater Koma, namun pengaruhnya besar.
Naskah Opera Ular Putih kerap dipentaskan di perguruan tinggi seni dengan tafsir beragam. Cerita yang paling fenomenal, Sampek Engtay, sudah dipentaskan lebih dari seratus kali dengan naskah saduran Teater Koma. Kisah Sampek Engtay menjadi campur-aduk dan lakonnya bisa diterima oleh siapa saja.
Pengaruh budaya Cina pada seni pertunjukan modern di Indonesia, khususnya teater, berkaitan dengan cerita dan naskahnya. Munsyi dan sinolog Remy Sylado memilih untuk menukil kisah dalam sejarah pembauran Cina dan Indonesia. Remy pada Januari 2009, misalnya, mementaskan drama musikal tentang dua pahlawan Cina dari Lasem, Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat, di Mal Ciputra Jakarta. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, Tan Pan Ciang sebetulnya Raden Panji Margono yang menyamar.
Ceritanya begini. Dua orang pahlawan yang disebut pemberontak oleh Belanda ini membentuk tentara Cina di Lasem untuk memerangi Belanda di Garnisun Semarang. Namun, Pakubuwono membocorkan rencana ini pada Belanda. Pasalnya, Pakubuwono merasa dikadali oleh Notokusumo yang bekerja sama dengan Bupati di Grobogan untuk menggantikannya dengan cucu Sunan Mas, yakni Mas Garendi yang orang Cina. “Lalu terjadilah perang kuning, pembantaian Cina pada 1742. Ada di naskah drama saya. Waktu itu Gus Dur juga datang lho,” kata Remy pada suatu waktu. Naskah yang sama pernah dipentaskan juga di Taman Mini Indonesia Indah.
Merujuk catatan lawas Jakob Sumardjo (Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1992), pengaruh Cina muncul pada masa Teater Opera pada 1908 ketika masyarakat keturunan Cina membentuk sandiwara Opera Derma atau Tjoe Tee Hie. Lakon yang dipentaskan biasanya saduran dari naskah Cina. Masa kebangkitan teater moderen 1925-1941 ditandai dengan berdirinya Miss Riboet Orion yang dipimpin Tio Tik Djien. Kelompok ini terkenal melakukan perubahan dalam struktur pementasan.
Titi Laras
Pengaruh Cina pada seni pertunjukan di Indonesia sangatlah besar, hingga menjadi tidak terasa karena sudah membaur dan menjadi keseharian. Dalam musik, penjelasannya sangat gamblang, yakni bermula dari titi laras slendro. “Saya bilang, slendro itu 100 persen Cina, yang sudah ada sejak 2700 tahun sebelum Masehi dengan nama huang mai tiau. Kalau pelog barulah asli Jawa,” ujar Remy, suatu ketika.
Pada zaman Kerajaan Borobudur di Abad ke-9, ada mahaguru dari Cina, Qwi Ming yang memperkenalkan lagu-lagu Bakti Budha dalam titi laras huang mai tiau. Ia tinggal selama 14 tahun di sana. Raja Syailandra lantas menandai nama titilaras itu dengan slendro, merujuk namanya sendiri, Syailendra. Pengaruh titi laras slendro ini menebar ke segala arah, termasuk dalam teater tradisional.
Bicara musik Jawa tentulah bicara tentang panggung pertunjukan tradisional Jawa yang menggunakan musik itu dalam pementasannya, termasuk peran Sunan Kalijogo ketika mengembangkan lagu Mocopat. Penelitian Jaap Kunst pada tahun 30-an menyimpulkan, semua lagu dolanan anak seperti Ilir Ilir itu menggunakan titilaras slendro.
Budaya Cina dan Indonesia tidak dipungkiri saling mengait, dalam produk-produk seni pertunjukan, bahkan ke dalam bahasa dan lirik lagu. Banyak yang tidak tahu kalau lagu Batak A Sing Sing So itu lagu Cina. Xing xing xuo itu artinya bintang berekor, tulis Remy Sylado dalam buku “Sinologi dalam Fiksi”, penerbit Nuansa Cendekia Bandung.
Semua serba terbuka sejak Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000 dan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Satu sekolah musik yang memelajari musik Cina, Guzheng Sekolah Musik Miladomus, misalnya, bisa berpentas dengan bebas kapan pun serta di mana pun. Murid-murid sekolah ini pernah tampil di Indonesian National Orchestra, serta beberapa konser kecapi Cina yang berkolaborasi dengan musik moderen di Goethe Institut dan Gedung Kesenian Jakarta.
Bagaimana dengan seni pertunjukan tradisional wayang Potehi? Wayang boneka dari daratan Tiongkok yang sudah berumur 3.000 tahun ini berpenetrasi ke masyarakat Indonesia dengan caranya sendiri, bersanding dengan wayang kulit dan golek di Jawa. Wayang yang masuk ke Indonesia pada Abad ke-16 Masehi ini secara rutin dipentaskan di Mal Ciputra setiap Imlek. Entah bagaimana perayaan Imlek di masa pandemi ini, mal pasti sepi.
Siapa yang tahu, mendiang Pramudya Ananta Toer pernah menerjemahkan naskah He Tjing Tje, drama opera besar di Cina, dengan judul Dewi Uban? Sayang, tidak pernah dipentaskan. Siapa yang tahu, bahwa ada Kelompok Teater Peking di Bandung, yang tidak pernah pentas semasa orde baru, dan kostumnya bagus banget? Siapa yang tahu, ada naskah teater di Minahasa, namanya Mapurengke, cerita tentang nenek moyang orang Minahasa bernama Luminuut. “Itu dari Cina, lho,” kata Remy Sylado, yang saat ini tengah sakit terbaring di rumahnya di Cipinang.
Siapa di sini yang merindukan pentas-pentas panggung? Wayang potehi, teater Sampek Engtay, musik kolaboratif Cina-Nusantara, peragaan busana batik peranakan? Semoga segera ada lagi. Sekarang ini, ucapannya dulu, selamat Imlek.