“Demokrasi membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Maka orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing”. (KH A Mustofa Bisri)
Pernyataan Gus Mus dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Mizan, 2015) itu memang niscaya. Itulah dasar dari semua kasus kekerasan berbasis agama. Orang sulit menerima perbedaan, merasa paling benar dalam beragama sehingga –sedihnya– menjadi intoleran dan menghalalkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda.
Mayoritas merasa berhak mengatur minoritas. Makin parahlah keadaan karena hukum tidak bergigi.
Saban tahun muncul harapan agar peristiwa-peristiwa intoleransi di Indonesia bisa berkurang. Ibarat mencari jejak di air, harapan itu belum terwujud. Kasus-kasus intoleransi, baik antaragama maupun antar “aliran” agama masih terus terjadi.
Pada tahun 2015, misalnya, mencuat dua kejadian besar, bentrok antarwarga di Aceh Singkil dan Tolikara Papua.
Kejadian di Tolikara sungguh melukai hati semua umat beragama. Keterangan dari Polri menyebutkan, keributan pada Idul Fitri itu dipicu surat edaran dari Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang tidak ditandatangani oleh Presiden GIDI. Surat edaran menyebutkan, GIDI akan berkegiatan pada 13-19 Juli di Tolikara dan meminta umat Islam tidak mengundang massa pada tanggal itu. Karena Idul Fitri jatuh pada 17 Juli, umat Islam tetap menjalankan ibadah salat Ied, atas seizin kepolisian setempat. Bentrok pun tak terhindarkan.
Kasus seolah berbalas kasus. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 12 Oktober, terjadi peristiwa pembakaran gereja di Aceh Singkil. Mulanya warga setempat mendesak pemerintah untuk menertibkan 21 gereja tak berizin. Akan tetapi sebelum pemerintah mengeksekusi kesepakatan, massa telah bergerak, membakari gereja. Menurut Kapolri Badrodin Haiti, polisi telah menjaga 21 gereja itu, namun karena letaknya menyebar, satu gereja hanya bisa dijaga oleh 20 personil.
Dua peristiwa yang terjadi di provinsi paling Barat dan paling Timur Indonesia itu secara kasat mata menunjukkan dominasi mayoritas atas minoritas. Warga pemeluk agama mayoritas merasa memiliki kekuatan dan hak untuk menindas umat minoritas. Di satu sisi, pemerintah seperti tidak berdaya untuk menegakkan peraturan yang dibuatnya. Atau, pemerintah justru turut andil membuat dan menyokong peraturan yang diskriminatif.
Selain dua kasus besar itu, kasus perselisihan rumah ibadah juga masih terjadi. Selain konflik GKI Yasmin yang belum juga usai, HKBP Filadelfia Bekasi, belum lama terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah di Tebet. Sebelumnya, terjadi penyerangan terhadap kelompok Syiah di Yogyakarta. Setara Institute mencatat, masih ada lebih dari 300 tempat ibadah di Indonesia yang diganggu. Kelompok minoritas selalu merasa terancam.
Kekerasan dan intoleransi yang tidak hanya fisik namun juga mental masih terjadi pada 2016, bahkan meningkat, menurut catatan Komnas HAM. Sepanjang 2016, tercatat 97 kasus yang diterima Komnas HAM, meningkat dari tahun 2015 sebanyak 87 kasus dan 2014 sebanyak 76 kasus. Negative solidarity berupa penutupan rumah-rumah ibadah di berbagai daerah masih saja terjadi. Penutupan geraja dibalas dengan penolakan pembangunan masjid, seperti di Manado dan Bitung. Bahkan ada penolakan terhadap jamaah tabligh di bandara NTT.
Survei Setara Institute pun sama belaka hasilnya. Sebanyak 208 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi pada 2016. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2015 sebanyak 197 peristiwa. Korbannya adalah Gafatar, Ahmadiyah, dan Syiah. Tentu saja kekerasan dan intoleransi keberagamaan itu membesar karena adanya pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Sebuah kontes politik yang memanfaatkan isu agama.
Bagaimana dengan tahun 2017? Sejauh ini tampaknya belum bisa dikatakan surut, meski sedikit menurun setelah pimpinan FPI melancong ke Arab Saudi dan Timur Tengah. Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan turut menurunkan tensi, meski selama ini Hizbut Tahrir Indonesia yang menjadi pemicu dikeluarkannya Perpuu selalu melakukan aksi secara damai. Terbitnya Perpuu membuat ormas-ormas lain menahan diri. Bisa jadi hal ini akan menjadi bom waktu.
Jarak pandang, cara baca
Menarik, pendapat Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di satu acara yang digelar Maarif Institute. Zaman moderen yang gaduh saat ini membuat orang ingin kembali kepada hal yang sublim, kepada agama. Jalannya tentu berbeda-beda, dan tergantung pada jarak pandang dalam melihat sesuatu. Mereka yang jarak pandangnya dekat hanya akan menemukan serpihan-serpihan ilmu yang membuat Islam menjadi eksklusif.
Pernyataan Haedar itu tepat jika dikaitkan dengan bagaimana kelompok (Islam) intoleran pun merujuk dan mengutip kitab suci dalam menghalalkan kekerasan. Metode yang akurat untuk membaca kitab suci Al-Quran dan Hadis, menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, adalah problem sosial dan akademik terbesar umat Islam di mana pun berada.
Cara baca kitab suci bisa secara qiraah taqlidiyyah (tekstual dan semi tekstual), bisa juga secara qiraah tarikhiyyah-ilmiyyah (kontekstual). Cara baca tekstual membentuk aliran, kelompok, dan mazhab. Qiraah taqlidiyyah ini tanpa sadar menggiring cara baca yang bercorak kelompok aliran pemikiran dan golongan sosial. Para pembaca mengikuti saja para pendahulunya.
Adapun cara baca kontekstual mempertimbangkan sungguh-sungguh dinamika sejarah dan sosial budaya secara cermat keilmuan. Tidak hanya berhenti di situ, tapi dilandasi dengan semangat memprioritaskan tujuan utama beragama. Kedua corak bacaan ini berimplikasi dalam membentuk hubungan sosial di internal umat Islam serta eksternal dengan dunia luar. (Amin Abdullah dalam Fikih Kebinekaan, penerbit Maarif Institute dan Mizan, 2015).
Cara baca boleh berbeda, asal jangan saling ganggu. Menjadi persoalan ketika perbedaan cara baca kitab suci itu lantas melahirkan sikap intoleran. Pengajar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar menyebut hal itu sebagai penyebab laten intoleransi. Institusi pendidikan yang kurang menunjang semangat toleransi dan wawasan umat beragama yang umumnya masih looking inward, juga menjadi akar intoleransi.
Selain itu juga kurangnya komitmen dan wawasan para pemimpin lokal dan nasional dalam menyikapi kasus intoleransi. Ada lagi sebab manifes atau hal yang membuat intoleransi menjadi aksi, salah satunya pembiaran ujaran kebencian. Kalau pun ada tindakan, sasarannya hanya terhadap kelompok yang lemah.
Ketua Umum Serikat Jurnalis untuk Keberagaman Ahmad Junaidi mencatat, tidak ada perbedaan berarti dalam penanganan kasus-kasus intoleransi meski pemerintah telah berganti. Ia menduga, kekerasan sesama pemeluk Islam terutama terhadap Syiah akan berlanjut tahun depan, jika melihat kasusnya yang meningkat belakangan ini. Ia menilai, banyak pejabat pada pemerintah daerah yang masih belum berani menerjemahkan nawa cita yang digaungkan Presiden Jokowi.
Nyatanya memang banyak menteri gagap dengan nawa cita, dan sejauh ini negara belum hadir dalam upaya perlindungan kelompok minoritas, termasuk minoritas agama. Kelompok minoritas belum mendapatkan penikmatan atas regulasi dan kebijakan yang ada. Kita punya agama etnis seperti sunda wiwitan, kaharingan, parmalin, yang kurang mendapatkan pelayanan.
Jangan sampai kondisi keberagamaan kita ke depan, ibarat langit runtuh, bumi terbang. Saya sendiri masih percaya pernyataan Guru Besar UIN Jakarta Azyumardi Azra, yang kerap disampaikan di berbagai forum: moderate people is too big to be failed.