Beberapa ritual atau perilaku keagamaan yang sering dilakukan masyarakat Banjar adalah ziarah dan haul. Datang ke kubur Wali atau Ulama dan memperingati haulnya sudah menjadi kebiasaan atau kultur yang tak terpisahkan lagi di masyarakat Banjar, bahkan bisa dibilang kedua ritual yang saling terkait tersebut sekarang menjadi semakin massif dilakukan.
Ritual mendatangi makam dan selamatan hari meninggalnya sang wali atau ulama sudah tidak saja menjadi kultur namun penegas identitas keislaman masyarakat Banjar. Memang tidak seluruh masyarakat Banjar yang melaksanakannya, namun kultur tradisionalis yang cukup kuat sehingga dua ritual tersebut menjadi massif dilaksanakan terutama di wilayah rural.
Alvara Institute memang mencatat bahwa angka 83% untuk wilayah Kalimantan yang masih melaksanakan tahlilan atau haulan. Angka yang sama juga ditemukan untuk ritual ziarah ke makam ulama atau wali. Namun dalam laporan yang sama, kita juga bisa menemukan bahwa kelompok umur gen-Z dan milenial sudah mulai meninggalkan ritual tersebut. Dalam pengamatan saya, Kalimantan Selatan masih cukup banyak anak muda yang aktif dalam pelaksanaan haul atau tahlilan ulama atau wali.
Lebih-lebih pasca perkembangan pesat mengikuti evolusi teknologi transportasi dan media, sehingga tidak saja semakin bertambah dan kemudahan mencapai destinasi ziarah namun juga dinamika media, termasuk media sosial, haul tidak lagi hanya dinikmati via luring saja. Dengan berbekal keahlian dan kemampuan adaptasi lebih cepat terhadap teknologi kehadiran anak muda menjadi pelopor gerakan yang menghadirkan haul via daring.
Efeknya kehadiran anak muda dan kecil di pelbagai acara haul di tempat pelaksanaan dan via daring meningkat pesat. Di banyak makam ulama juga bisa ditemukan banyak anak muda dan anak-anak yang mendatangi tempat tersebut. Saya menduga kondisi ini merupakan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Nur Syam dengan “transmisi memori” atau penghubung antara generasi lama dan baru, namun dalam bentuk yang lebih baru.
Saya mencoba fokus pada dinamika ziarah makam dan haul masyarakat Banjar pada Guru Sekumpul. Bukan tanpa alasan, saya melihat posisi Guru Sekumpul sebagai ulama yang paling berpengaruh di masyarakat Banjar. Akibatnya, banyak masyarakat mengunjungi makamnya setiap harinya dan peringatan Haulnya selalu menyedot jemaah dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain itu, faktor relasi spiritual dan komunal yang dibangun oleh masyarakat Banjar terhadap Guru Sekumpul lewat dua ritual tersebut.
Dinamika Ziarah dan Haul Guru Sekumpul dalam Kehidupan Masyarakat Banjar
Pasca meninggalnya Guru Sekumpul sekitar 15 tahun yang lalu, tradisi yang masih cukup massif dilaksanakan oleh masyarakat Banjar adalah peringatan Haul Syekh Samman al-Madani, pendiri tarekat Sammaniyyah. Ordo tasawuf ini juga di mana Guru Sekumpul bergabung, yang mana dipercaya juga bahwa ordo yang sama diikuti oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Syekh Arsyad), notabene adalah kakek buyut dari Guru Sekumpul.
Bukan hal yang aneh jika pembacaan manakib Syekh Samman menjadi tradisi di masyarakat Banjar, karena posisi Syekh Arsyad sebagai epicentrum keislaman mereka. Guru Sekumpul dianggap berperan besar menghidupkan “kembali” tarekat Sammaniyah dan menjadikannya lebih massif, diantaranya peringatan haul Syekh Samman al-Madani yang mulai menggelora di masyarakat Banjar.
Tradisi pembacaan manakib atau hagiografi dan peringatan haul yang masih terjaga hingga sekarang, yang menjadi satu dari sekian modal relasi ingatan di masyarakat Banjar, yang terus berkembang hingga sekarang menjadi bagian dari identitas spiritualitas masyarakat Banjar, selain dari pembacaan salawat. Pasca meninggal Guru Sekumpul, peringatan haul dan ziarah ke makamnya juga menjadi bagian penghubung sebagaimana ditulis oleh Nur Syam tentang “Haul”.
Baginya, haul orang suci dewasa ini telah memasuki dimensi baru, sebagai penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri. Perlu diketahui, Nur Syam melihat haul sebagai tradisi dari ordo keagamaan, seperti tarekat atau pesantren. Kita boleh saja tidak setuju pandangan Nur Syam tersebut, tapi konsepnya tentang koneksi antar jemaah dalam peringatan haul justru sangat membantu melihat relasi lebih besar dalam media sosial.
Kisah pengalaman berhadir di haul atau berziarah ke makam Guru Sekumpul. Entah disadari atau tidak, peringatan haul dan ziarah ke makam sekarang memiliki dimensi pertarungan ingatan dan identitas secara bersamaan, terutama di media sosial. Sosok Abah Guru Sekumpul tidak lagi menjadi milik pribadi, yang mungkin hanya dicerita pada orang sekitar saja atau dibacakan manakib beliau.
Sekarang kita bisa dengan mudah membaca di linimasa media sosial aneka cerita masyarakat terkait ziarah, haul atau sosok Abah Guru Sekumpul sendiri. Membagikan cerita sosok, haul dan ziarah, meme hingga video ceramah Guru Sekumpul terlihat menjadi penanda identitas masyarakat Banjar. Popularitas Guru Sekumpul seakan menjadi magnet untuk masyarakat Banjar menjadikannya bagian dalam identitas keislaman mereka, karena sosoknya sebagai ulama besar dan guru bagi mayoritas masyarakat Banjar.
Kita bisa lihat di linimasa media sosial masyarakat Banjar, yang biasanya di saat semakin dekat pelaksanaan haul, mereka aktif membagikan berbagai infomasi tersebut ke berbagai layanan jejaring sosial, selain itu, sebagaimana dijelaskan di atas, beberapa cerita, pengetahuan atau pengalaman mereka terkait Abah Guru Sekumpul juga turut dibagikan.
Relasi Haul, Guru Sekumpul dan media sosial dalam linimasa jemaah yang mengikuti haul dan berziarah mengubah hak priviledge yang sebelumnya hanya dimiliki oleh masyarakat dalam wilayah Sekumpul, yang dulu disiarkan secara visual oleh tv lokal, sekarang sudah bisa menjadi dinikmati oleh banyak orang karena sudah disiarkan lewat berbagai platform media sosial secara langsung di kanal Youtube, Facebook atau Instagram. Kesemuanya dikelola langsung dari TV lokal yang sebelumnya hanya menayangkan pengajian Guru Sekumpul ke wilayah dalam Sekumpul. Hal ini membuat masyarakat Banjar menata ulang relasi mereka terhadap Guru Sekumpul yang selama ini hanya dirasakan hanya sebagian orang yang bermukim di Sekumpul, sekarang sudah dinikmati lebih banyak orang lewat media sosial termasuk pelaksanaan haul.
Memang di Kalimantan Selatan sekarang sudah banyak pelaksanaan haul yang disiarkan langsung, terutama lewat media sosial. Salah satu pelopornya adalah gerakan yang bernama Aswajanet. Mereka hadir di berbagai kegiatan haul di hampir seluruh Kalimatan Selatan. Sebelumnya, mereka hanya menyiarkan ceramah ulama terkenal di Banjarmasin, yang kemudian terus berkembang hingga sekarang. Aswajanet bisa dibilang pelopor dalam menyiarkan haul ulama dan para habaib, selain Guru Sekumpul, di bilangan Kalimantan Selatan, yang sekarang berefek pada semakin ramainya ziarah di makam-makam para ulama dan habaib tersebut.
Kembali ke Guru Sekumpul, transformasi model kepercayaan Bubuhan dalam pola bermasyarakat Banjar. Dalam kasus ziarah dan haul Guru Sekumpul, masyarakat Banjar mencoba mendekatkan diri mereka tidak saja dalam relasi “guru-murid” namun juga hubungan keluarga “Ayah-anak”. Relasi seperti ini memang telah lama ada dalam masyarakat Banjar terutama pada tokoh agama dan budaya. Bahkan di sebagian daerah, mereka memiliki ritualnya tersendiri dalam membangun hubungan dengan tokoh yang memiliki otoritas agama dan kekuasaan budaya.
Tradisi Baayun Maulid di Banua Halat, Kab. Tapin yang dilaksanakan untuk memperingati dan memberitahukan pada Datu (baca: orang tua atau tetuha) masyarakat di sana, yakni Nabi Muhammad dan Datu Sanggul, bahwa ada anggota baru dalam keluarga mereka. Dalam kasus Sekumpul, relasi “Abah-anak” menjadi penanda relasi hubungan “keluarga” walau tidak secara biologis.
Masyarakat Banjar mentransformasi relasi Bubuhan yang sebelumnya memiliki makna kelompok kekerabatan sampai derajat sepupu dua atau tiga kali, bersama dengan para suami juga para istri. Relasi Bubuhan biasanya ditandai dengan nama tokoh yang menonjol dalam keluarga tersebut, seperti bubuhan Haji Arsyad, yang bermakna kelompok keluarga Haji Arsyad. Pergeseran makna bubuhan di relasi jemaah Guru Sekumpul memang belum sampai menyebut nama beliau sebagai penanda.
Namun, dalam tradisi haul Guru Sekumpul, para orang tua yang membawa anak-anaknya biasanya menceritakan sosok beliau sebagai Kakek. Saya melihat ini tidak saja sebagai bagian penghormatan kepada sosok Guru Sekumpul, namun juga menjadikan relasi “keluarga” yang sebelumnya dibangun dari “ayah-anak” dengan penyematan diksi “Abah” pada beliau.
Ziarah dan Haul Guru Sekumpul menandai keislaman masyarakat Banjar yang tradisionalis juga sangat dekat dengan narasi kesufian, terutama tarekat Sammaniyah. Dua ritual tersebut menjadi penanda identitas lewat transformasi relasi unik dalam masyarakat Banjar.