Sedang Membaca
Haji dan Reformasi Arab Saudi
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Haji dan Reformasi Arab Saudi

Dalam melayani jemaah Haji, kerajaan Arab Saudi membuat khusus sebuah kementerian untuk mengurusi persoalan Haji ini. Kementerian ini pernah membuat slogan menarik yang digembar-gemborkan, “Khidmatul Hajj, Syarafun Lana” (melayani haji kemulian bagi kami). Ungkapan ini diperkenalkan sekira awal tahun 2000-an untuk menunjukkan keseriusan pihak Kerajaan untuk memberikan pelayanan kepada tamu Allah.

 

Slogan itu juga dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada masyarakat Arab yang banyak terlibat dalam pelayanan jemaah Haji. Pelayanan jemaah Haji sudah sejak dulu diberikan pada masyarakat Arab Saudi, untuk masing-masing mengambil peran dalam pelaksanaan Haji yang cukup menyedot banyak pekerja selama pelaksanaannya. Dari orang tua hingga anak-anak mengambil kesempatan dalam menyambut kedatangan lebih dari dua juta manusia ke daerah mereka dianggap sebuah “berkah”. Pelayanan memang tidak semua dicover oleh pemerintah Arab Saudi, namun juga diserahkan ke beberapa pihak swasta (disebut Maktab) yang masih diawasi oleh kementerian Haji.

 

Saat Arab Saudi diperintah oleh Raja Salman dan Putera Mahkotanya Mohammed bin Salman, negara ini mengalami reformasi di berbagai sektor. Bioskop kembali diperbolehkan beroperasi, perempuan sudah dibolehkan menonton pertandingan sepakbola di stadion dan diperbolehkan menyetir mobil sendirian. Reformasi yang digalakkan terutama oleh sang Putera Mahkota, dianggap oleh sebagian pihak untuk mengambil keuntungan dengan masuknya investasi asing selain dari investas minyak yang selama ini menjadi tiang ekonomi Arab Saudi.

Baca juga:  Mengenang Tauhid, Film Haji yang Terlupakan (2/2)

 

Isu akan komersialisasi Haji dan Umrah pun semakin mencuat. Dengan beban anggaran yang cukup berat karena selama ini bisa digantungkan pada persediaan dan supplai minyak, Arab Saudi menjadi sadar bahwa beban ekonomi yang berat ini mewajibkan mereka untuk mencari sumber pemasukan negara secepatnya sebelum negara ini runtuh.

 

Reformasi di berbagai bidang ini sebenarnya memancing sebuah pertanyaan, yaitu imbas apa yang dirasakan pada pelaksanaan ibadah Haji. Dari beberapa informasi, reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi memang belum ada yang banyak menyentuh ke persoalan Haji secara langsung. Sebab pelayanan Haji memang terus disempurnakan tapi kebanyakan menyentuh hal-hal teknis bukan pada hal-hal yang esensial. Seperti saat pemerintah Arab Saudi melebarkan wilayah Mina untuk menampung lebih banyak jemaah setelah sekian lama tidak pernah berubah.

 

Pada masa awal perubahannya, kritik dari berbagai pihak hingga negara banyak mempertanyakan sah atau tidaknya mabit atau bermalam di Mina sebagai salah satu wajib Haji, namun seiring waktu kritik itu pun tidak lagi terdengar dan disertai penerimaan perluasan wilayah Mina.

 

Namun jika melihat reformasi Arab Saudi masih belum secara langsung menyentuh persoalan Haji, sebab reformasi saat ini memang dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa sekarang Arab Saudi sudah lebih demokratis dibanding saat terdahulu. Keputusan ini akhirnya memang tidak berdampak langsung pada prosesi ibadah Haji, namun menurut penulis ada dua menarik dalam soal reformasi Arab Saudi ini dan hubungannya dengan pelaksanaan Haji.

Baca juga:  Mencari Wajah Perempuan Arab Saudi

 

Pertama, rentan runtuhnya pemerintahan Arab Saudi pascareformasi. Secara frontal, dampak reformasi Arab Saudi atas sensitifitas kerajaan yang telah bertahan selama ini bisa saja terjadi, namun ini tergantung bagaimana Raja Salman dan putera mahkotanya, dalam mengelola persoalan reformasi ini. Jika gagal dikelola dengan baik, maka kemungkinan besar monarki yang selama ini menguasai daerah Hijaz ini akan runtuh.

Jika kita berkaca pada perpindahan kekuasaan antara pemerintahan Turki Utsmani yang menjadikan Mekkah sebagai kota pertemuan semua mazhab dan kemudian memilih untuk mazhab Syafii sebagai “kontrol” atas kumpulan mazhab yang lain, maka semua ritual haji dibebaskan sesuai dengan mazhab masing-masing dan ritual ziarah pun tidak dibatasi.

Saat Arab Saudi dikontrol oleh keluarga Saud, dengan bersenjatakan mazhab wahabi, kota Makkah yang awalnya penuh dengan peninggalan sejarah pun lenyap dengan sendirinya dan digantikan dengan gedung-gedung hotel dan mal.

 

Mazhab berubah membuat beberapa kebijakan juga berubah, kelompok penggiat Wahabi gemar sekali mendongkel ritual-ritual mengiringi ibadah haji yang dianggap mereka bertentangan dengan ajaran yang mereka percayai. Oleh sebab itu, jika kekuasaan sekarang runtuh, maka pertanyaannya apakah mazhab Wahabi yang selama ini menjadi mazhab negara juga ikut runtuh? Jika ikut runtuh maka akan ada perubahan khususnya soal-soal ritus sejarah dan ritual yang selama ini dilarang apakah akan dibolehkan kembali.

Baca juga:  Agama dan Vaksinasi: Belajar dari Peristiwa di Aceh

 

Kedua, dampak reformasi Arab Saudi pada perubahan perilaku sosial. Arab Saudi adalah salah satu negara yang memberlakukan hukum yang cukup refresif atas perempuan. Ini berdampak pada banyak perilaku diskriminasi atas perempuan, karena perempuan dianggap makhluk kelas dua di tanah Hijaz ini. Oleh sebab itu, perempuan sering mendapatkan perlakuan yang kurang baik dan ruang geraknya sangat dibatasi. Jangan harap ada melihat perempuan di ruang-ruang publik seperti pasar, kantor hingga toko perbelajaan.

Saat reformasi dikumandangkan, memang banyak perubahan hukum yang membatasi ruang sosial perempuan. Namun, apakah ini bisa berdampak pada perubahan perilaku yang selama ini kurang ramah pada perempuan? Menarik ditunggu, sebab jika Makkah dan Madinah sudah menjadi kota yang ramah pada perempuan, maka kita tidak perlu lagi takut jika ada TKW atau jemaah Haji perempuan ingin beribadah di dua kota tersebut. Sebab cerita-cerita yang kurang nyaman saat perempuan ada di ruang publik di sana masih bertebaran, sehingga para jemaah Haji perempuan masih takut keluar jika tidak ditemani atau berombongan.

Banyak yang merayakan reformasi di Arab Saudi namun dengan masuknya musim Haji, apakah reformasi ini bisa berdampak pada prosesi ibadah Haji dan menjadikan Madinah dan Makkah menjadi kota yang lebih ramah pada semua kalangan, termasuk perempuan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top