Ada banyak mitos tentang watak dan kepribadian wanita Sunda yang katanya senang berleha-leha, pemalas, dan tak becus mengurus rumah-tangga. Orang tua Jawa yang bersikukuh melarang anaknya kawin dengan perempuan Sunda bukannya tanpa alasan, karena konon katanya, “Takut anak saya melarat.”
Di sisi lain, stereotip negatif terhadap suku apa pun, tidak selalu benar adanya. Selain dapat merugikan untuk individu tersebut, stereotip ini juga dapat merugikan kita sebagai suatu bangsa, karena dapat memicu perpecahan. Sebab, kita sama-sama orang Indonesia, hidup dalam satu negara yang sama. Lebih baik kita saling menjaga keragaman untuk saling mengenal (ta’aruf), tak peduli dari suku mana dan dari kebudayaan apa.
Mitos lain yang banyak menjadi pertimbangan orang tua Jawa – juga dari suku lain – konon perempuan Sunda itu boros, tak pandai memegang uang, memasak, bersih-bersih, terlalu gemar berdandan, tidak sopan, dan lain-lain. Sebaliknya, perempuan Sunda sering menganggap pria Jawa suka ceplas-ceplos, asal ngomong, terkesan kasar, karena suaranya yang lantang dan keras.
Sastrawati Ayu Utami pernah menulis dalam novelnya, “Bilangan Fu” (2008), dan dalam salah satu bab menyinggung soal pangkal sejarah adanya mitos yang menabukan pernikahan suku Jawa dan Sunda. Diceritakan bahwa kerajaan Majapahit yang berasal dari Jawa terlibat konflik dengan kerajaan Pajajaran yang berasal dari tanah Sunda. Konflik tersebut diawali oleh keinginan Hayam Wuruk untuk menikahi Putri Dyah Pitaloka dari Pajajaran. Konon katanya, Hayam Wuruk merasa terhipnotis oleh pesona kecantikan wanita Sunda di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seniman kerajaan bernama Sungging Prabangkara.
Setelah itu, Hayam Wuruk pergi mendatangi sang puteri Pajajaran, dan berniat untuk menikahinya, usai mendapatkan restu dari kerajaan Majapahit. Dibumbui dengan intrik politik seolah-olah ingin mengikat persekutuan dengan kerajaan Pajajaran. Singkat cerita, Hayam Wuruk yang tadinya telah mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana, diterima dengan baik dan kemudian sang raja Pajajaran berangkat dengan rombongan ke Majapahit, tepatnya di Pesanggrahan Bubat, untuk melangsungkan pernikahan.
Tentu banyak yang tahu bahwa terdapat mitos yang mengatakan orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa. Kebanyakan beranggapan bahwa mitos ini diawali dari Perang Bubat di abad ke-14 itu, yang menyebabkan tewasnya rombongan Raja Sunda yang mengantar Puteri Dyah Pitaloka untuk menikah dengan raja Hayam Wuruk.
Tetapi, Ayu Utami lebih mengacu pada aspek historiografis. Beda dengan novel Perasaan Orang Banten (2012) karya penulis kelahiran Cilegon, yang langsung masuk dengan membicarakan karakteristik perempuan Sunda di era hiper-modern ini. Melalui penokohan artis dangdut berdarah Sunda, Poppy Ratnasari, yang kemudian menjadi binal dan urakan setelah putus dengan pacarnya. “Kalau toh laki-laki (Jawa) berani memperlakukan perempuan sesuka hatinya, saya juga sanggup memperlakukan semua laki-laki di dunia ini sekehendak hati saya,” cetusnya kemudian. Ia memilih gonta-ganti pacar baru, hidup di tengah pergaulan malam yang glamor hingga terjerat narkoba. Kehidupannya itu sangat mencerminkan wanita Sunda dalam tantangan kesusastraan global dan universal saat ini.
Mungkin saja pengarangnya tak merasa perlu lagi mempersoalkan Dyah Pitaloka dalam konteks abad ke-14, namun telah mengejawantah dalam karakteristik wanita Sunda dalam konteks keindonesiaan. Tak beda jauh dengan karakteristik gadis liberal (diperankan Park So-Dam), bersama dengan impian-impiannya dalam film Asia pertama peraih Oscar “Parasite” (2020).
Nah, saat ini, sebagai orang Jawa yang “berhasil” memperistri perempuan Sunda di tanah Pasundan, saya memiliki analisis tersendiri dari sisi linguistik (bahasa) yang memang banyak sekali perbedaan istilah dan kosa-kata yang menimbulkan kesalahpahaman antara orang Sunda dan Jawa. Tak terkecuali saya pribadi, dengan keluarga istri.
Sewaktu masa pacaran dulu, saya disuguhi secangkir teh manis oleh calon mertua saya. Ketika teh itu saya seruput hingga habis, saya melihat adanya tatapan aneh pada bola mata calon mertua saya. Setelah calon mertua masuk, pacar saya cekikikan, bahwa minum teh dalam tradisi orang Sunda biasanya hanya diminum sedikit, dan tidak boleh sampai habis. Sementara, bagi orang Jawa, suguhan teh yang diminum hingga habis, justru menandakan kesopanan dan rasa simpati, sebab menunjukkan bahwa suguhannya enak dan nikmat. Sontoloyo doang.
Hal lain yang membuat saya agak jengkel. Minggu sore, saya janjian menjemput sang pacar yang akan mengikuti les bahasa Inggris. Sesampai di depan pintu rumah, calon bapak mertua nongol, sambil mengatakan, “Mangga, duduk di payun.” Kemudian ia masuk lagi ke dalam.
Kontan saya cari-cari tangga di sekitar itu, sebab kata “payon” dalam bahasa Jawa berarti atap rumah. Baru belakangan, pacar saya menjelaskan bahwa kata “payun” dalam istilah Sunda berarti depan. Untung tidak ada tangga waktu itu. Bisa-bisa saya disangka wong edan nangkring di atap rumah calon mertua.
Ada juga kata yang arti dan pengucapannya sama, namun pemakaiannya justru berbeda. Dalam soal ini, Jawa dan Sunda sama-sama memiliki udak usuk basa atau kata-kata yang berbeda untuk tingkatan usia (dan strata) yang berbeda. Salah satu pasal yang berpotensi menimbulkan salah paham antara kedua suku ini adalah kata yang artinya sangat penting, yakni makan.
Jika diurutkan dari kata terkasar hingga terhalus, maka urutan dalam bahasa Jawa sebagai berikut: mbadog, madhang, dan dahar. Berarti kata mbhadog untuk orang yang tidak dihormati, sedangkan dahar untuk orang yang disegani. Tetapi dalam bahasa Sunda, urutannya seperti ini: dahar, tuang, dan neda. Kata dahar bisa juga dipakai untuk menyuruh hewan ternak agar segera makan.
Pantas saja rombongan calon besan (sekarang sudah jadi mertua) sewaktu sowan ke rumah orang tua saya, tak henti-hentinya cemberut sewaktu ibu saya memprsilakan makan siang dengan kata: “Ayo dahar bareng-bareng, sampun disiapaken.’
Sepanjang perjalanan pulang, calon istri saya juga kompak cemberut. Tapi setelah saya pancing apa penyebabnya, maka saya pun menjelaskan, bahwa kata “dahar” dalam istilah Jawa berarti mempersilakan makan untuk tamu yang dihormati. Emangnya sang calon besan tega-teganya mempersiapkan makan untuk rombongan onta dan domba. Aya-aya wae…
Setelah itu, calon ibu mertua bertanya lagi, apa artinya, “Niku jangan, ti dahar saos…” Waddeh, tambah runyam aja. Pantas saja, gak ada yang berani menyentuh sayur sama saos….
Di sisi lain, ada kata yang sama bunyinya, namun pengertiannya justru terdapat pada benda lain. Misalnya “gedhang”dalam bahasa Sunda berarti papaya, tetapi dalam bahasa Jawa berarti pisang. Lagi-lagi, mertua laki-laki saya uring-uringan setengah mati, gara-gara menitip bibit gedhang untuk tanam-tanaman di kebunnya, tetapi yang saya bawa dari pasar adalah satu plastik bibit pisang. Kontan dia menarik napas panjang bersama kepulan asap rokoknya. Mau marah ke saya enggak berani, apa boleh buat…
Ada lagi kata “buah” yang dalam bahasa Sunda berarti mangga, tetapi dalam bahasa Jawa (Indonesia) bisa mengacu pada segala jenis buah-buahan. Sewaktu istri saya ngidam anak pertama, dia senang sekali makan rujak dari beragam jenis buah, seperti bengkuang, kedondong, jambu monyet (?), belimbing, pepaya, mangga dan lain-lain.
Suatu hari, saya menyuruh adik ipar mencarikan rujak buah ke daerah perempatan.
“Rujak apa?” tanya adik ipar.
“Rujak buah,” jawab saya.
“Buah apa?”
“Pokoknya, buah apa saja, campur!”
Maka, datanglah ia dengan semangat 45, sambil menenteng plastik, bersama uang kembalian mondol-mondol di kantong celananya.
Walhasil, apa yang terjadi. Setelah pesanan itu dibuka, ternyata rujak itu campuran mangga Indramayu, mangga arum-manis, mangga Golek, mangga Wayang, mangga Petruk-Gareng-Semar dan mangga-mangga lainnya.
“Harganya berapa ini?” tanya istri saya
“Selapan ribu,” katanya singkat.
Rupanya dia mengantongi kembalian sebelas ribu, karena dia membayar dengan uang duapuluh ribu rupiah.
Kok kembaliannya sebelas ribu (pikir saya). Ternyata pengertian selapan itu adalah sembilan dalam bahasa Sunda. Kutu kupret doang!
Pantas saja novel-novel karya Hafis Azhari tak mau berurusan dengan algoritma bahasa yang dibikin-bikin oleh pihak tertentu (termasuk Kompas). Dia nyaris tak pernah memakai kata-kata yang tidak mengindonesia, seperti kata “penyintas”, “memercayai”, “memerhatikan”, “memunyai” dan seterusnya. Walah welah… bikin kacau saja itu bahasa yang tidak memasyarakat, dan tidak ada kesepakatan publik, kecuali inklusif untuk kepentingan dirinya dan medianya sendiri. Sedangkan Hafis, cenderung berkarya secara eksklusif sebagaimana kinerja jurnalis Aiman Witjaksono dan Wahyu Wiwoho. Salam. (*)