“Orang cenderung membenci apa-apa yang tidak dia ketahui.” Ungkapan bersayap dari Ali bin Abi Thalib ini mengandung hikmah yang amat berharga, sehubungan dengan era medsos saat ini, di saat banyak orang lebih gandrung menggeluti hal-hal yang dia sukai, sedangkal apapun pengetahuan itu.
Berabad-abad sebelumnya, rakyat biasa yang ditokohkan dalam Alquran, yang selalu bicara dengan bobot hikmah yang sederhana tetapi mendalam adalah Luqmanul Hakim. Suatu hari, ia berpesan pada anak kandungnya, Tsaron, bahwa ada lima perkara yang layak dijadikan sandaran jika kita ingin dikategorikan sebagai manusia sukses dan bertakwa, yakni agama, ilmu, harta, rasa malu dan sifat dermawan.
“Kalau kelima hal tersebut sudah dikuasai, maka Allah akan menolongnya dari segala bujuk rayu setan,” tegas Luqmanul Hakim.
Luqman dikenal sebagai figur yang senang mengungkapkan hal-hal sederhana namun memiliki bobot makna. Kalimat yang bertele-tele, apalagi minim bobot, bukan saja membuat orang merasa bosan dan mengantuk, melainkan juga sangat rentan tergelincir dalam kekeliruan dan kesalahan. Sedangkan, kalimat yang singkat, padat dan tepat, memang hasil perenungan dan pendalaman akan makna hidup, dan hanya orang-orang cerdas saja yang mampu menghimpun dan merumuskannya dengan cermat.
Karena kalimat itu hasil dari perenungan yang mendalam, maka untuk mengurai dan menafsirkannya juga butuh perenungan yang mendalam juga. Kita pernah membaca kata mutiara dalam cover buku Perasaan Orang Banten yang berbunyi: “Karya yang lahir berdasarkan hati, hanya akan dapat dinikmati oleh pembaca yang punya hati.”
Boleh jadi ada orang yang merasa tersinggung mendengar kata-kata seperti itu, tetapi ketersinggungan itu tentu lahir dari orang-orang yang masuk dalam kategori yang disinyalir Sayyidina Ali tadi bahwa: “Orang cenderung membenci apa-apa yang tidak dia ketahui.” Hal ini mengandung arti bahwa kebodohan memang tak pernah konek dengan pendalaman makna, karena itu orang bodoh cenderung apatis dengan kata-kata yang singkat, padat serta mengandung bobot makna. Ia lebih memilih sesuatu yang enteng dan gampangan saja, biar sedangkal apapun pengertian dan makna yang terkandung di dalamnya.
Tidak cacat logika
Kedangkalan berpikir akan selalu berkaitan dengan logika yang cacat. Ada dialog menarik dalam Alquran yang menunjukkan “cacat logika” dari seorang raja yang berkuasa di zaman Nabi Ibrahim. Dialah Namrud bin Kan’an, yang berdebat sengit dengan Nabi Ibrahim, bahwa dia pun bisa menghidupkan dan mematikan manusia seperti Tuhannya Ibrahim. Saat itu juga, Nabi Ibrahim membungkam kesombongan Namrud dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah memunculkan matahari dari Timur, cobalah kau munculkan ia dari arah Barat.” (al-Baqarah: 258).
Kalimat penuh hikmah senantiasa menciptakan benteng pengamannya sendiri. Kalimat itu akan sulit didebat maupun digugat, dari ia mengandung harmoni dan kesenyawaan antara logika, etika maupun estetika. Coba perhatikan ungkapan bersayap dari kata-kata Rasulullah berikut ini: “Jika engkau tak punya rasa malu, maka berbuatlah semaumu.” Atau kata-kata berikut ini: “Nilai suatu perbuatan itu tergantung dari niat pelakunya.” Suatu kali, Rasulullah memperingatkan seorang sahabatnya, “Perbaikilah sifat dan perbuatanmu, maka akan sempurnalah imanmu.”
Ketika seorang yang berjiwa temperamental meminta nasihat pada Nabi, beliau tak berpanjang-panjang memberinya nasihat, cukup hanya mengingatkan, “Jangan marah.”
Saydina Ali juga seringkali mengucapkan kata-kata yang paralel dengan pesan-pesan Nabi, misalnya, “Orang yang berbuat salah tak boleh dicaci-maki.” Di saat lain, Sayyidina Ali menegaskan, “Tidak ada kemiskinan yang lebih buruk dari kebodohan.”
Luqmanul Hakim
Luqmanul Hakim hanyalah seorang budak penggembala yang berkulit hitam. Namun, ia tersohor dengan akhlak dan kepribadiannya, serta tutur katanya yang bijak, mendalam, serta memiliki bobot makna. Saat mendengar kabar tentang dirinya, Nabi Daud tergerak mengutus ajudannya agar segera menebus dan memerdekakan Luqman. Dalam waktu singkat, ia mengangkat Luqman agar menjabat selaku “hakim” di wilayah kekuasaannya.
Di surat Luqman ayat 12, disebutkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada Luqman berupa “hikmah”. Pengertian hikmah di situ sangat erat kaitannya dengan petunjuk atau “hidayah”. Bahwa ketika seseorang sudah menatap dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, bahkan merasa dengan perasaan Allah, maka dia pun akan berucap dengan ucapan Allah juga. Tidak akan muncul kata-kata mubazir dan sia-sia yang keluar dari mulutnya.
Dan jika pun Anda seorang penulis, niscaya tangan dan pikiran Anda digerakkan oleh kekuatan yang kadang di luar jangkauan pemikiran Anda sendiri.
Luqmanul Hakim pernah memberi tausiyah intensif perihal hikmah kepada puteranya, khususnya mengenai ciri-ciri orang bertaqwa kapan pun dan di mana pun selalu memiliki karakteristik yang sejajar antara satu dengan yang lainnya.
Berabad-abad sebelum kelahiran Rasulullah, kita akan membaca poin-poin nasihat Luqman kepada puteranya, dan kita bisa membandingkan apa-apa yang dikatakannya, berbanding lurus dengan hadis-hadit Nabi, yang dituturkan kepada para sahabatnya. Beginilah kata-kata Luqmanul Hakim (dengan tidak mengubah esensinya):
“Orang yang memiliki hikmah, akan mampu menghidupkan hati-hati yang kaku dan mati. Ia tidak ingin mematahkan hati orang-orang yang sedang berproses untuk memperbaiki diri. Ia senang bergaul dengan orang-orang tak berpunya, tidak mau mengambil jarak dengan rakyat jelata. Orang yang memiliki hikmah justru akan berhati-hati dalam bersahabat dengan pihak penguasa. Kalaupun ia diberi amanat, ia senantiasa istiqamah dengan tugas dan tanggung jawabnya. Orang yang diberi hikmah akan senang menyanjung dan mengangkat derajat orang-orang yang terpinggirkan. Ia tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang yang terhinakan. Ia lebih suka menolong dan membantu orang ketimbang menumpuk-numpuk harta untuk kepentingan dirinya.
“Orang yang memiliki hikmah akan tinggi derajatnya di mata orang banyak. Kata-katanya selalu bermakna, dan selalu didengarkan. Ia tidak takut kepada siapapun, karena setiap kata yang diucapkannya sudah menciptakan benteng pengamannya sendiri. Ia akan memiliki sikap yang tangguh dan berani, bahkan dalam situasi krisis sekalipun. Ia akan senantiasa memposisikan diri selaku kapal atau bahtera yang berfungsi untuk menghantar para penumpang agar sampai ke pelabuhan, biarpun diterjang badai dan ombak ganas sekalipun. Ia juga akan berperan sebagai layar berkembang, yang senantiasa mengarahkan orang-orang di sekelilingnya ke jalan keselamatan dan kebahagiaan.
“Orang yang memiliki hikmah akan selalu merasa cukup, karena ia hanya memerlukan kebutuhan dan bukan keinginan. Ia selalu yakin bahwa Allah Yang Maha Kaya akan selalu memberi kecukupan bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Fokusnya bukan pada hasrat dan kemegahan duniawi, karena segala hal yang bersifat materi dan keduniaan itu bersifat fana dan sementara. Ia selalu tergerak untuk mencerdaskan dan mendewasakan orang banyak, agar kapal yang berlayar itu dapat berlabuh bersama para penumpangnya, dalam mencapai kedamaian dan kesejahteraan bersama.” (*)