Sejak kedatangan beberapa tahun di Mesir, saya melihat pergerakan ormas keagamaan nampak begitu kental. Setiap Mahasiswa Baru (Maba) akan dikader sesuai dengan ormasnya masing-masing sebagaimana ormas mereka di Indonesia. Kendati terdapat beberapa dari Maba itu sendiri hanya sekadar ikut-ikutan dan tidak tahu menahu ormasnya apa, serta apa fungsinya. Upaya tersebut merupakan langkah positif untuk mengikat dan memperkuat tali persaudaraan di bawah satu ajaran dan keyakinan.
Namun terdapat istilah khusus yang kerap kali disematkan untuk orang Madura yang berada di Mesir, yaitu, “Agamanya orang Madura itu NU”. Istilah yang dijadikan candaan tersebut cukup populer bagi orang Madura hingga merambah ke luar Madura di Mesir. Hal ini mungkin yang melatarbelakangi pertanyaan teman-teman saya dari luar Madura sejak dulu, bagaimana mungkin ormas keagamaan menjadi kepercayaan sebagaimana agama?
Kendati di Madura terdapat ormas selain NU, seperti Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam). Namun, kuantitas mereka masih terbilang sangat sedikit, sehingga kebanyakan ritual keagamaan mereka secara esensial juga katut arus NU Madura yang terbilang telah mendarah daging. Tradisi keagamaan tersebut dapat dilihat pada saat bulan Maulid.
Setiap kabupaten, kecamatan, desa, madrasah, dan lembaga lainnya mempunyai cara dan acara khusus untuk merepresentasikan kecintaannya kepada Nabi. Dalam pelaksanaan maulid Nabi, lazimnya dilaksanakan selama satu bulan penuh; sejak malam hari awal bulan maulid dengan cara bergilir dari satu langgar ke langgar lain.
Sedangkan pada akhir bulan, terdapat acara maulid khusus untuk para murid madrasah atau santri pondok, dan biasa disebut dengan molodhên morèd (maulidurasul yang hanya dikhususkan untuk para murid di Madrasah atau Pondok Pesantren). Meski begitu, pada tanggal 12 Rabi’ul Awal, masyarakat akan melaksanakan acara khusus bersama-sama di masjid sebagai acara puncak ritual.
Peringatan maulidurasul pada dasarnya tidak bersifat wajib, dan hanya dilakukan bagi orang yang berkeinginan saja. Namun pada kenyataannya, peringatan ini dilakukan oleh setiap keluarga di langgar masing-masing dalam rangka ingin mendapatkan berkah dari hari kelahiran Nabi SAW. Maka dari itu, mereka berbondong-bondong keliling kampung mendatangi setiap rumah—mayoritas orang Madura mempunyai langgar sebagai tempat acara ritual dengan keluarga atau masyarakat—yang mengadakan maulidarasul. Hal tersebut secara tidak langsung menjadikan silaturahmi masyarakat sangat kuat, sehingga tertanam rasa persaudaraan antara satu sama lain.
Dalam perjalanannya, tradisi ini mempunyai banyak nilai, makna, dan pesan yang dapat diulik dengan pendekatan sosiologi yang dikemukakan oleh David Emile Durkheim, salah seorang pencetus sosiologi modern asal Perancis. Secara mikro, sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial yang ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan simbol interaksi. Tatkala sosiologi dikaitkan dengan kata agama, dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial atau individu secara khusus yang berhubungan dengan aspek ritual atau keyakinan yang disakralkan.
Menurut Durkheim, dalam kepercayaan religius manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, para pengikutnya selalu membagi dan membedakan dua hal; sakral dan profan. Hal ‘yang sakral’ selalu merupakan hal yang dihormati dan memiliki kekuatan besar. Sebaliknya, hal ‘yang profan’ merupakan pengalaman yang biasa, umum, dan rutin dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
Teori yang ditinjau dari pendekatan fungsionalisme ini menghasilkan kesimpulan definitif bahwa agama berperan sebagai perekat sosial dalam masyarakat. Maka dari itu, agama sebagai fenomena sosial kemanusiaan dapat dipahami dengan menggunakan metode empiris. Fakta sosial adalah konstruksi teoritis bahwa dalam kehidupan sosial terdapat perilaku, cara dalam bertindak, dan pola pikir yang berulang-ulang, sehingga mencerminkan pola interaksi sosial dalam masyarakatnya. Perilaku sosial ini kemudian melahirkan tradisi yang dijaga bersama.
Dengan demikian, masyarakat sama-sama sepakat bahwa tradisi ini merupakan suatu yang “sakral” bagi mereka, karena didalamnya berisi tentang hal-hal yang sakral. Sosok Nabi dan hari kelahirannya merupakan suatu yang sakral, sehingga sangat dihormati dan diagungkan dan pada akhirnya membentuk kohesi masyarakat yang kuat. Salah satu bentuk dari kohesi tersebut dapat dilihat dari semua elemen masyarakat yang berkumpul bersama-sama. Bahkan, masyarakat yang sedang berada diperantauan pun menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya hanya ingin mengikuti perayaan maulid Nabi khas kebudayaannya.
Kendati pada umumnya buah-buahan menjadi hidangan dan berkat saat maulidurasul, orang Madura mempunyai inisiatif sendiri dalam menghormati tamunya, antaranya; memberikan berkat satu ekor ayam yang masih hidup, memberikan wadah bak cuci baju yang di isi sembako, dan beras satu karung. Salah satu harapannya ialah tafa’ulan (optimisme) supaya setahun ke depan mendapatkan berkah dari Tuhan berkat maulid Nabi Muhammad SAW sebagaimana apa yang ia sedekahkan.
Kebahagiaan pada saat maulid Nabi turut diimbangi dengan mengingat spirit perjuangan Nabi dalam menyebarkan agama ini. Kiai yang diundang lazimnya menyelipkan dakwah di sela-sela obrolan saat berkumpul bersama masyarakat tentang kisah Nabi, dan tidak hanya terbatas saat berada di atas podium. Hal ini hampir sama dengan cara Shalahuddin al-Ayyubi dalam mensyiarkan kisah Nabi kepada para tentaranya.
Di saat bulan maulid, Shalahuddin menghadapi perang Salib bersama para tentaranya. Saat malam tiba, perang dihentikan untuk istirahat dan merawat orang yang terluka, mereka berkumpul untuk mendengarkan kisah Nabi, perjuangannya dalam menghadapi orang kafir, dan suka-dukanya dengan para sahabat dalam pelbagai ujian. Hal tersebut sebagai upaya untuk membangkitkan semangat para tentaranya dalam menghadapi peperangan.
Wal akhir, kebahagian atas maulid Nabi dengan pelbagai bentuk dan harapan tidak menghalangi orang Madura untuk senantiasa berupaya menjaga tujuan awal dari ritual tersebut, yaitu mengenang sosok Nabi SAW. Maka dari itu, tradisi maulid dan kearifan lokal orang Madura yang kokoh sejak dahulu mungkin menjadi salah satu alasan mengapa NU dapat dianggap menjadi suatu agama di Madura. Kendati belum ada yang tau siapa yang pertama kali mengejawantahkan istilah di muka tersebut. Tabik!
Bahan bacaan:
Georg P. Adams, “The Interpretation of Religion in Royce and Dulkheim”, dalam jurnal The Philosophical Review, Vol. 25, No. 3, Mei 1916 (Duke University Press, on behalf of Philosophical Review) h.300-301
Saidun Derani, “Perayaan Maulid Perspektif sosiologi Agama”dalam jurnal al-Turats, Vol. 12. No.3, September 2006. h. 243