Sedang Membaca
Riwayat Asmara (4): Cinta, Kesadaran, dan Kontribusi Luhur
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Riwayat Asmara (4): Cinta, Kesadaran, dan Kontribusi Luhur

Whatsapp Image 2021 08 17 At 22.03.45 (3)

Ragam peristiwa berlatar cinta terbentang sepanjang sejarah cinta itu sendiri. Sebagian tampak sangat indah bak romansa. Sebagian menjadi tragedi sejarah yang menyisakan trauma. Demikian, cinta menjadi sarat akan misteri, penuh oleh keganjilan. Pertanyaan-pertanyaan tentang cinta pun bermunculan.

Apakah  cinta berada dalam atau di luar kesadaran manusia?

Menjawab pertanyaan ini para pemikir terbelah menjadi dua. Kubu pertama berpandangan bahwa cinta berada di luar batas kesadaran manusia. Dengan kata lain, cinta adalah sesuatu yang sifatnya mendesak (iththirariy), dan bukan sebuah pilihan (ikhtiyariy). Al-Tamimi dalam Imtizaj al-Arwah mengatakan, “Sebagian tabib pernah ditanya ihwal asmara. Tabib itu menjawab, ‘Menimpanya cinta kepada para pecinta bukan atas pilihan mereka, juga bukan karena ketamakan mereka padanya. Melainkan cinta menimpa sebagaimana penyakit keras menimpa. Tidak beda keduanya.’”

“Bila benar orang yang sedang jatuh cinta itu bisa memilih, pastilah ia memilih untuk tidak mencinta.” Demikian al-Mada’ini menukil jawaban seseorang ketika dicaci karena mencintai kekasihnya. Mengapa? Tak lain karena cinta identik dengan penderitaan. Sementara Kamil, seorang penyair yang jatuh cinta pada Salma menulis, “Orang-orang mencelaku karena cintaku pada Salma, seolah mereka memandang bahwa cinta adalah sesuatu yang sengaja aku perbuat. Ketahuilah, cinta yang mengacaukan isi perut ini tak lain adalah ketetapan Tuhan. Dengan cinta Dia menguji hamba-Nya.”

Pandangan ini berpijak antara lain, pertama pada sikap Rasulullah terkait hubungan asmara Mugtist dan Bararah. Tersebut, Mughist adalah budak berkulit hitam yang amat mencintai Bararah, yang kini telah mantan istrinya. Suatu saat ia tampak berjalan di belakangan mantan istrinya dengan berurai air mata. Tapi tidak demikian dengan Bararah. Bararah nampak tak punya komitmen untuk kembali menjadi istri Mughist. Kejadian ini diketahui Nabi. Namun beliau tak pernah melarang Mughist mencintai Bararah, kendati ia sudah bukan istrinya lagi.

Baca juga:  Meraih Kebahagiaan Diri ala Abu Bakar Ash-Shiddiq

Kedua, Firman Allah Ta’ala dalam  Qs. Al-Baqarah: 286,

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

Ya Tuhan kami, janganlah bebani kami sesuatu yang tak mampu kami pikul.”

Banyak mufasir generasi salaf menafsiri “sesuatu yang tak mampu kami pikul” pada ayat ini dengan cinta. Lebih tepatnya, mencintai adalah satu contoh memikul beban yang tak sanggup ditanggung. Demikian penjelasan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Raudlat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqqin.

Sementara kubu kedua berpendapat bahwa cinta itu berada di bawah ikhtiar manusia yang dalam urusan ini bergantung pada keinginan dan kehendak nafsu. Bahkan cinta adalah keinginan kuat (istihkam al-hawa), di mana orang yang mampu menahan diri darinya mendapat pujian dari Allah Ta’ala. Dalam Qs. Al-Nazi’at: 40-41.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya”

Ketika telah dikokohkan bahwa cinta bersifat ikhtiari, maka cinta bisa dinilai baik atau buruk. Nyatanya dalam banyak tempat, Allah memang telah mencela orang-orang yang menetapi cinta yang destruktif. Yakni mereka yang mencinta selain Allah dengan kadar yang harusnya tercurah hanya untuk Allah. Bila memang berada di luar kesadaran manusia, pasti mereka tak akan dicela karena cintanya?  Demikian argumentasi kubu kedua.

Baca juga:  Ngaji Hikam: Manusia Tak Hidup Hanya dari Sepotong Roti

Untuk menyudahi perdebatan ini, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah memreteli kembali konsepsi tentang cinta. Bahwa cinta merupakan konsekuensi.  Sebagai konsekuensi, tentu cinta bersifat iththirari, tak terhindarkan. Tetapi perlu dicatat, konsekuensi tersebut mesti didahului oleh antesaden-anteseden yang notabene bersifat ikhtiari, berada di bawah kuasa manusia. Entah itu berupa pandangan, jalinan komunikasi, interaksi dan seterusnya. Di sinilah berlaku kaedah yang ditegaskan Ibn al-Qayyim, “Ketika sebab itu terjadi atas dasar kehendak dan kesadaran manusia sendiri, maka tak bisa kita berkilah sembari mengatakan bahwa cinta itu timbul tanpa kesadaran.”

Adakah kontribusi cinta bagi kehidupan?

Jawabnya bukan hanya ada, melainkan sangat besar dan vital. Tetapi yang paling mendasar adalah bahwa cinta adalah satu-satunya motor penggerak yang menyebabkan alam semesta ini tiada henti bergerak. Silakan bayangkan, apa jadinya jika alam semesta ini tak lagi bergerak. Demikianlah yang akan terjadi jika cinta musnah dari alam ini.

Kalau bukan karena cinta, planet-planet tak akan berotasi; bintang-gemintang yang bersinar tak akan bergerak; angin semilir itu tak akan bertiup; awan-gemawan yang mengandung hujan tak akan berarak; janin-janin dalam perut ibunya tak akan bergerak; tetumbuhan tak akan pernah menyembul dari bebijian; ombak-ombak yang berkejaran itu tak akan pernah bergelombang; para malaikat tak akan bekerja; langit dan bumi beserta segala isinya tak kan bertasbih kepada Penciptanya.

Baca juga:  Mengenal Arti Makrifat dalam Ilmu Tasawuf

Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Gerakan-gerakan alam semesta berikut segala yang ada di dalamnya bergantung pada gerakan yang dikehendaki sebagai konsekuensi cinta. Maka cinta dan kehendak adalah asal dan pangkal segala perbuatan.” Gerakan yang dimaksud di sini adalah gerakan malaikat selaku ‘eksekutor lapangan’ dari kehendak mutlak Tuhan. Dan tiada faktor lain yang mendorong para malaikat untuk terus bergerak lagi setia menjalankan tugas, kecuali ketundukan dan kepatuhan total atas kehendak dan perintah Tuhan.

Di sinilah letak urgensi cinta. Cinta menjadi dasar bagi kepatuhan dan ketaatan para malaikat. Dengan kalimat lain, kepatuhan dan ketaatan adalah buah dari cinta para malaikat pada Sang Kekasih yakni Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, cinta adalah hulu setiap gerakan alam semesta. “Kesempurnaan cinta,” kata Ibn al-Qayyim, “adalah totalitas penghambaan, kerendahan, ketundukan, dan ketaatan pada Sang Kekasih. Demikianlah seharusnya. Karena dan demi cintalah langit dan bumi, dunia dan akhirat dicipta.”

Mengingat betapa cinta masih merupakan bagian dari keasadaran manusia serta sedemikian agung dan vital kontribusinya bagi semesta dan kehidupan, tentu tak bijak mengkambinghitamkan cinta kendati ia telah merobek-robek keyakinan, menumbalkan nyawa seorang khalifah, dan seterusnya. Betapapun,  manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Di hari-hari rentan seperti sekarang, dengan segenap optimisme kita berharap keluhuran cinta dapat menjadi vaksin ampuh bagi imunitas kemanusiaan kita; menjadi energi penggerak lokomotif peradaban. Tugas manusia adalah berkreasi mengolahnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top