Jangan Anda kira seluruh perilaku pemuka Islam seratus persen sama dengan sunnah Rasulullah. Pada segmen-segmen tertentu, dengan alasan tertentu pula, sebagian mereka justru berbeda dengan Nabi. Lihatlah, ketika Abu Bakar sakit lantas ditawarkan untuk berobat. Sahabat sekaligus mertua Nabi ini malah menjawab, “Sang tabib telah melihat kondisiku. Aku pun bebas melakukan apa saja yang kumau!”
Abu Bakar hanyalah seorang dari sejumlah tokoh Muslim yang saat sakit menolak diobati. Sejarah mencatat nama-nama lain seperti Abu Darda’, Abu Dzar, Rabi’ Ibn Khutsaim, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Kendati cara maupun intensitas penolakan mereka berbeda-beda, nyatanya mereka tidak berobat. Sekurang-kurangnya mereka tak menyukai tindakan tersebut. Sementara itu, mustahil mereka tak tahu bahwa Rasulullah sendiri berobat, pun memerintahkannya.
Kemusykilan ini yang barangkali mendorong al-Ghazali untuk mengelaborasi dan menuliskan fenomena ini dalam Ihya ‘Ulum al-Din, tepatnya pada Kitab al-Tauhid wa al-Tawakkul. Tujuannya tak lain untuk mengompromikan, mencari titik temu antara tindakan mereka dan Sunah Rasul. Upaya utama yang mungkin ditempuh adalah memahami alasan-alasan atau motif-motif di balik tindakan mereka.
Al-Ghazali menyebut setidaknya ada enam motif di balik sikap denial mereka yang enggan berobat. Pertama, orang yang sakit termasuk kalangan mukasyafin, yakni orang-orang disingkapkan “tabir” oleh Allah sehingga mereka dapat “tahu sebelum kejadian”. “Weruh sak durunge winarah,” jika dalam istilah Jawa.
Mereka diberi keistimewaan mengetahui sesuatu yang belum terjadi, tak terkecuali ihwal ajal mereka sendiri. Informasi tentang hal itu boleh jadi diterima via mimpi, terkaan dan dugaan kuat, atau bahkan dibeberkan langsung secara jelas dan nyata. Tak pelak, mereka memilih tidak berobat lantaran sudah tahu ajalnya akan segera tiba, dan obat-obatan bagi mereka kala itu sudah tak lagi berguna.
Abu Bakar berindikasi kuat tergolong ke dalam kalangan ini. Indikatornya adalah peristiwa berikut. Suatu ketika Abu Bakar pernah mengklaim bahwa putrinya, Aisyah, memiliki dua saudari. Padahal ketika itu saudarinya hanya satu. Memang benar istri Abu Bakar sedang hamil kala itu. Tetapi jenis kelamin yang dikandungnya masih belum jelas laki-laki atau perempuan. Pernyataan Abu Bakar bahwa Aisyah memilik dua saudari menjadi benar kala istrinya benar-benar melahirkan bayi perempuan.
Kedua, orang yang sakit itu sibuk memikirkan kondisinya. Dirinya telah didominasi rasa takut akan nasIbn ya kelak serta pengawasan Allah terhadapnya. Dalam kondisi sedemikian masygulnya, ia menjadi lupa akan sakitnya. Bagaimana mau berobat, wong, sakitnya saja dia lupa?
Salah satu tokoh yang berindikasi masuk golongan ini adalah Abu Dzar. Dikisahkan ia sedang sakit mata. Ketika ditanya, “Mengapa tidak engkau obati?”
Dia menjawab, “Kedua mataku telah membuat aku sibuk,”
Ketika ditanya lagi, “Kenapa engkau tak mohon saja pada Allah agar kedua matamu disembuhkan?”
Dia pun menjawab, “Aku memohon sesuatu yang lebih penting dari kedua mataku.”
Ketiga, ada kalanya orang tak berobat lantaran meragukan khasiat obat. Tetapi di sini harus dipastikan dari mana keraguan itu muncul. Sebab, boleh jadi keraguan itu muncul bukan karena obat itu memang tidak mujarab, melainkan karena minimnya pengetahuan yang bersangkutan mengenai dunia obat dan pengobatan. Untuk itu, urusan obat dan pengobatan idealnya memang diserahkan kepada otoritas kesehatan, karena merekalah pihak yang paling kompeten di bidang ini.
Pada bagian ini al-Ghazali melancarkan kritik pada kalangan yang cenderung meng gebyah-uyah. Misalnya mereka dapati obat “A” terbukti tak manjur, maka kemudian mereka akan berkesimpulan bahwa semua obat dari “A” sampai “Z” tidak manjur. Akhirnya, mereka menjauhi semua jenis obat dan pengobatan. Sampai titik ini, terang sekali bahwa al-Ghazali menekankan sikap ilmiah dalam menghadapi penyakit.
Keempat, sebagian mereka sengaja ingin berlama-lama dalam sakit dengan motif beroleh ganjaran, baik ganjaran sakit itu sendiri maupun ganjaran atas kesabaran menjalani sakit sebagai ujian. Oleh kalangan ini, sakit dipandang sebagai medan melatih diri, sejauh mana ia mampu bersabar menghadapi ujian. Alasan ini cukup kuat lantaran memang banyak hadis berbicara mengenai ganjaran bagi orang sakit.
Kelima, ada hamba yang sengaja tidak berobat lantaran takut sakitnya lekas hilang. Ia adalah hamba yang bergelimang dosa. Dia takut akan dosa-dosanya, juga tak kuasa untuk menebusnya. Ia beranggapan, sakit dalam rentang waktu yang lama akan menjadi kafarat bagi dosa-dosanya yang tak terbilang.
Keenam, ada kalanya seorang hamba merasa khawatir sebab semasa sehat cenderung menyalahgunakan nikmat. Bahkan sampai pada taraf melampaui batas. Sedangkan sakit, sekurang-kurangnya, dapat meredam kecenderungan-kecenderungan itu. Maka ketika sakit, ia sengaja tak berobat lantaran takut kembali sehat, lalu kembali terjerumus dalam keburukan-keburukan tadi.
Al-Ghazali menyitir hadis qudsi, “Kefakiran adalah penjaraku. Sakit adalah belengguku. Aku menawan siapa saja yang Ku-cintai dari kalangan makhluk-Ku.” Ketika sakit membelenggu seseorang untuk congkak dan bermaksiat, adakah kiranya kebaikan lain yang melebihinya?
Secara faktual, tindakan mereka memang berbeda dengan Sunah Nabi. Namun demikian, berbeda di sini bukan berarti bertentangan. Dengan adanya motif-motif atau alasan-alasan tadi, mereka yang tidak berobat alih-alih bertentangan Sunah Nabi, justru menjadi terpuji.
Tetapi, ada dua hal yang mesti diingat. Pertama, memilih tidak berobat sejatinya adalah tindakan alternatif. Disebut alternatif sebab pada mulanya atau kaidah umumnya, orang sakit, sekurang-kurangnya, dianjurkan berobat. Kedua, alasan-alasan itu bersifat personal-subjektif sehingga tak serta-merta dapat melegitimasi tindakan serupa dalam konteks yang berbeda.