Sedang Membaca
Kisah Hikmah Klasik (19): Ketika Nabi Musa Ditegur Allah Lantaran Enggan Berobat
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Kisah Hikmah Klasik (19): Ketika Nabi Musa Ditegur Allah Lantaran Enggan Berobat

Fqwavxiwqaiubwp

Enggan berobat karena alasan teologis bukanlah fenomena baru. Sejarah mencatat, hal ini telah terjadi sejak zaman para nabi. Nabi Musa As. bahkan mengalaminya sendiri. Dalam riwayat Israiliyat yang dinukil Abu Thalib al-Makki dalam Qut al-Qulub, kemudian oleh al-Ghazali dalam Ihya’, dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi Musa tengah terserang suatu penyakit. Mendengar berita sakitnya beliau, serombongan Bani Israel mendatangi beliau, bermaksud menjenguk. 

Nampaknya, mereka yang datang menjenguk ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan kedokteran. Betapa tidak, mereka segera melakukan diagnosis. Sejurus kemudian mereka sudah bisa mengenali jenis penyakit yang sedang bersarang di tubuh Sang Nabi.

Tidak berhenti sampai di situ, dengan wawasan kedokteran yang dimiliki, mereka pun menawarkan sebuah obat yang menurut mereka sangat mujarab. Dengan mantab mereka berujar kepada Nabi Musa, “Seandainya Anda berobat dengan obat ini, niscaya Anda akan sembuh.” Begitulah tanpa ragu mereka menawarkan obat sekaligus menjamin efektivitas obat tersebut.

Menariknya, Nabi Musa seolah tidak percaya dengan obat yang mereka anjurkan itu. Penolakan Nabi Musa pun tidak main-main karena berdasarkan sandaran teologis, yakni Kehendak Absolut Tuhan dalam hal menyembuhkan. “Aku tak akan berobat sampai Tuhan menyembuhkanku tanpa perantara obat.” tegas Nabi Musa.

Akan tetapi, Kehendak Tuhan nampak tidak sesederhana yang dipersepsi Nabi Musa. Terbukti, sakit beliau terus berlanjut. Sementara itu, simpatisan beliau, yakni kelompok yang menawarkan obat tadi terus mempersuasinya. “Obat untuk penyakit ini sudah dikenal luas dan terbukti mujarab, wahai Nabi. Ketika kami terserang penyakit yang sama, kami berobat dengan obat ini. Dan kami benar-benar sembuh.” bujuk mereka.

Baca juga:  Secuil Kisah Mengharukan dari Sahabat Ali bin Abi Thalib

Nabi Musa masih saja enggan, seolah tidak peduli dengan omongan mereka. Beliau tetap keukeh, memegang teguh pendapatnya semula, bahwa Allah Yang Mahakuasa akan menyembuhkannya meski tanpa obat. “Aku tidak mau berobat,” tolak Nabi Musa untuk yang kedua kalinya. Sementara itu, penyakit yang diderita terus menjalar tak kunjung sirna.

Persis setelah penolakannya yang kedua kali itu, turunlah wahyu berisi teguran serius nan langsung dari Tuhan. Saking seriusnya, kalimat teguran itu diawali dengan kalimat sumpah. “Demi Kemuliaan dan Kebesaran-Ku, tak akan Kusembuhkan engkau sebelum engkau berobat dengan obat yang telah mereka anjurkan.” Demikian firman Tuhan pada Musa.

Apa boleh buat, Nabi Musa harus meninggalkan persepsinya semula demi tunduk patuh terhadap Titah Ilahi. Tanpa menunggu lama, Nabi Musa meminta mereka untuk mengobatinya. Mereka pun mengobatinya. Dan benar saja, berkat perantara obat itu Nabi Musa sembuh pun dari sakitnya.

Lamun begitu, rentetan peristiwa ini masih menyisakan kesangsian tersendiri di benak Nabi Musa. Lha, katanya, Tuhan Mahakuasa, tetapi faktanya untuk menyembuhkan orang saja masih tergantung pada obat. Kira-kira begitu nuansa batin beliau kala itu. Sebagai jawabnya, Allah kemudian mengajukan pertanyaan retoris yang dalam bahasa kita cukup menohok. “Apakah engkau [Musa As.] hendak membatalkan skenario-Ku dengan tawakalmu? Lalu siapa lagi yang menyisipkan manfaat di balik obat-obatan itu kalau bukan Aku?”

Baca juga:  Peta Persebaran Buah Khuldi Kehidupan

Sampai di sini, barangkali kisah ini tidak serta-merta meyakinkan pembaca. Alasannya antara lain karena kisah bersumber dari riwayat Israiliyat. Untuk itu perlu ditegaskan bahwa ada tiga cara menyikapi informasi yang berasal dari Israiliyat. Pertama, jika ternyata informasi tersebut bertentangan dengan yang diajarkan oleh Alquran dan Sunah Nabi, jelas harus diingkari. Kedua, jika ternyata kontennya bersesuaian atau diafrimasi kebenarannya oleh Alquran, hadis, atau oleh keduanya sekaligus, riwayat Israiliyat bisa diterima. Ketiga, jika kedua sumber pokok ajaran Islam itu tidak membenarkan, tapi juga tidak menyangkal, maka sikap kita adalah no comment, dalam arti tidak menolak, tidak pula menerimanya.

Nyatanya, semangat yang dibawa kisah ini selaras dengan yang terkandung dalam sumber otoritatif yang kita yakini kebenarannya. Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah hadis dari jalur Usamah bin Suraik yang mengisahkan bahwa suatu ketika beliau didatangi oleh serombongan orang. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika sakit kami harus berobat?”

Dengan tegas Nabi menjawab, “Betul, wahai para hamba Allah. Berobatlah kalian. Sebab Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya.”

Tidak hanya memerintah, Nabi juga meneladankan. Dalam beberapa keterangan seperti yang dinukil Abu Thalib al-Makki dalam Qut al-Qulub, dinyatakan bahwa ketika menerima wahyu Rasulullah merasa pusing. Untuk meredakan gejala tersebut, beliau menjaram kepalanya dengan daun inai.

Baca juga:  Perbedaan Wudhu Syariat dan Tarekat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jilani

Dengan ditopang dalil-dalil yang lain, kisah tentang Nabi Musa ini terbilang cukup kuat untuk sekadar mematahkan anggapan sementara pihak bahwa berobat adalah tindakan yang bersebrangan dengan keimanan, menafikan tawakal, dan lain sebagainya. Kisah ini mendeskripsikan dengan sangat lugas ihwal hubungan sebab akibat, penyakit-obat, sakit dan kesembuhan, yang seringkali tampak kusut sehingga sukar dimengerti.

Ringkasnya, sebagaimana Allah menurunkan penyakit tidak seenteng kita menabur garam pada masakan, Allah pun mencabut penyakit itu juga tidak sesederhana kita mencabut rumput di halaman. Ada sunatullah yang mesti dijalankan. Ada skenario yang mengikat kita. Mengutip al-Ghazali, keterangan semacam ini menampakkan bahwa Allah Ta’ala memberlangsungkan skenario-Nya dengan mengaitkan musabab dengan sebab-sebab demi men-jlentrehkan suatu hikmah. “Dan obat-obatan,” kata al-Ghazali, “tunduk patuh terhadap hukum Allah.” Ia berkerja sebagaimana sebab-sebab yang lain, laiknya roti mengobati rasa lapar atau air menuntaskan dahaga.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top