Sedang Membaca
Jika Kematian Sudah Digariskan, Untuk Apa Protokol Kesehatan?
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Jika Kematian Sudah Digariskan, Untuk Apa Protokol Kesehatan?

026001000 1614066615 20210223 Pemuka Dan Tokoh Agama Jalani Vaksinasi Covid 19 4

Tak sepasti makan menjamin perut kenyang, protokol kesehatan sekadar diduga kuat dapat menghalau virus dari tubuh seseorang. Laeliya Almuhsin, sorang perempuan penyintas Covid-19 berikrar, “Selama pandemi ini, aku termasuk disiplin cuci tangan, cuci semua barang sebelum masuk kulkas, jaga jarak, pakai masker, tambah faceshield, dan lain-lain. Bahkan, selalu mengingatkan orang-orang. Kini bisa terpapar wabah virus juga.” Pengalamannya ini adalah bukti akan hal itu. Sekaligus menandakan bahwa upaya manusia memang terbatas.

Tak terhidarkan, ada waham yang dengan lancang meletakkan upaya manusia sebagai oposisi dari takdir Tuhan. Atas lambar waham ini, mengamalkan protokol kesehatan, selain dinilai sia-sia belaka, dianggap pula telah menyimpang dari batas-batas tawakal yang dipancangkan agama.

Adalah benar bahwa tawakal merupakan bagian keimanan. Juga benar bahwa mengimani kematian sebagai takdir merupakan bagian dari tawakal. Demikian pula benar bahwa ketika tawakal seseorang bermasalah, keimanannya pun sedang dalam masalah. Pokok soalnya adalah apakah taat protokol kesehatan masih dalam koridor tawakal?

Diakui al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa ulama salaf maupun khalaf memang berbeda-beda dalam mendefinisikan tawakal. Melihat hal ini, al-Ghazali agaknya gelisah. Ia menulis dalam Ihya ‘Ulum al-Din, “…. Masing-masing mereka sesungguhnya sedang berbicara tentang maqamnya sendiri, lantas memberitahu batasan-batasannya laiknya tradisi kaum sufi.” Menurutnya, tiada guna bersibuk-sibuk menukil banyak definisi. Tak pelak, ia pun memilih mengembalikan tawakal ke makna generiknya, lalu mendefinisikannya secara lebih sederhana. “Tawakal adalah ungkapan atas kepercayaan sepenuh hati terhadap Sang Wakil (Allah) semata.”

Baca juga:  Fikih Lingkungan (5): Nabi Muhammad Sangat Menyayangi Alam

Kepercayaan sepenuh hati itu dibangun atas dasar keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam Genggaman Allah; Dia Maha Tahu dan Maha Kuasa atas apa atau bagaimana pun hal menyangkut hamba-hamba-Nya. Atensi, Simpati, dan Kasih-Nya sempurna meliputi hamba-hamba-Nya. Ilmu, Kuasa, Atensi, serta Kasih-Nya, melebur segala ilmu, kuasa, atensi, dan kasih yang pernah ada.

Lebih lanjut, al-Ghazali membagi kausa (sabab) atau tindakan manusia dalam meraih tujuannya menjadi tiga macam. Pertama, alsabab al-maqthu’ bih, kausa yang tingkat efektivitasnya tak lagi diragukan sebab berlaku secara universal serta identik dengan sunatullah. Contoh paling mudah adalah makan. Secara aksiomatis, makan menyebabkan perut kenyang. Kalaupun ada orang makan tapi tak kenyang, tentu itu hanya sebatas pengecualian yang tak sampai menciderai, alih-alih membatakan hukum universal.

Kedua, kausa yang diduga kuat efektif (al-sabab al-madznun). Kendati kausa jenis tidak berlaku universal, namun pada galibnya ia menjadi sebab terwujudnya suatu tujuan yang dikehendaki. Kita bisa sebut misalnya pemakaian alat kontrasepsi. Upaya ini pada galibnya berhasil mencegah kehamilan. Toh, meskipun pada sebagian kasus juga terbukti gagal.

Ketiga, adalah kausa yang daya efektivitasnya sangat lemah (al-sabab al-mauhumah). Peluang gagal kausa jenis ini jauh lebih tinggi ketimbang berhasilnya, bahkan nyaris tidak ditemukan korelasi antara tindakan tersebut dengan maksud yang dikehendaki. Misalnya, dahulu dikenal pengobatan dengan memimun air rendaman besi yang dibakar. Akan tetapi secara klinis efektivitas berobat dengan cara ini sangat sulit dibuktikan.

Baca juga:  Menafsir Kematian (1): Dzikr al-Maut Sebagai Kritik Hedonisme

Berdasarkan sejumlah data dari otoritas kesehatan, penerapan protokol kesehatan diduga kuat dapat melindungi seseorang dari serangan virus. Beberapa pakar kesehatan menyimpulkan bahwa efektivitas penggunaan masker dengan baik dan benar dapat menekan peluang penularan lebih dari 50%. Ada pula yang menyebut bahwa menjaga jarak lebih dari dua meter efektif menurunkan risiko tertular hingga 82%. Sedangkan mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir yang dilakukan 6 hingga 10 kali sehari dapat menurunkan risiko penularan hingga 34%. Berdasarkan data-data tersebut pula, penerapan protokol kesehatan telah memenuhi syarat untuk digolongkan ke dalam kausa jenis kedua, al-sabab al-madznun.

Pada kausa jenis kedua ini, juga yang pertama, berlaku kaidah, “al-Sa’y fi al-asbab la yunafi al-tawakkul” atau “al-Tawakklu la yunafi al-asbab”. Bahwa kausa-kausa yang diupayakan tidaklah menegasikan tawakal. Terlebih dalam kausa-kausa yang ditujukan untuk menghalau mara bahaya yang mengancam jiwa dan harta. Dalam konteks ini, al-Ghazali menegaskan, “Meninggalkan tindakan-tindakan preventif tidaklah termasuk syarat tawakal”. Sebagaimana halnya makan tidak lantas membuat seorang jadi tak tawakal. Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan oleh banyak ulama sekaliber Ibn Katsir, al-Razi, al-Alusi, Ibn Hajar al-Asqalani, dan lain-lain.

Untuk mendukung tesis ini, dalam al-Da’u wa al-Dawa’, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengajukan argumen yang sulit dibantah. Bahwa dalam al-Quran terdapat lebih dari seribu titik, di mana Allah Swt. mempertautkan tercapainya kebaikan dan keburukan duniawi maupun ukhrawi dengan amal perbuatan manusia. Ibn al-Qayyim menegaskan, “Secara menyeluruh, dari awal hingga akhir, al-Quran terang-terangan mempertautkan balasan kebaikan dan keburukan, juga hukum alam dan hukum syar’i dengan sebab-sebab.” Fakta ini mengukuhkan bahwa manusia harus berproses, harus berupaya. Lalu, bagaimana mungkin Allah menyuruh kita berupa jika nyatanya bertentangan dengan tawakal yang juga merupakan ajaran-Nya?

Baca juga:  Fikih Lingkungan (1): Kesadaran Fikih dan Tasawuf Bagi Penduduk Ibu Kota Baru

Protokol kesehatan adalah produk pemberdayaan akal budi. Ia adalah upaya menegosiasi takdir dengan takdir. Sebab, seperti kata Ibn al-Qayyim, “Manusia tak mungkin hidup di luar takdir.”. Orang-orang yang menolak protokol kesehatan dengan dalih kematian sudah digariskan mestinya juga tak usah makan, kerja atau menikah. Tak usah pula koar-koar apalagi sampai mendemo pemerintah karena tempat ibadahnya terpaksa ditutup. Toh, segalanya juga sudah digariskan. Tetapi hanya kedunguan 24 karat yang menduga bahwa di saat manusia lapar, Tuhan akan seketika datang membawa makanan, lalu menyuapkannya, sehingga manusia hanya tinggal duduk manis menunggu saja.

 

*Naskah ini adalah bagian dari naskah kompetisi Esais Muda Pesantren tahun 2020, yang diadakan oleh Alif.id dan Kemenag RI.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top