Statista, perusahan digital yang fokus dalam penyediaan data marketing merilis; sebanyak 41 persen responden dunia merasa dicukupkan dengan membaca judul ketika dihadapkan dengan sebuah berita.
Tren yang muncul dari survei 2016 itu, bukan tak berdampak. Tradisi ini, pada akhirnya dianggap sebagai bagian dari gejala era post-truth, sebabak kesemerawutan di tengah produksi informasi yang sudah berlebihan. Pembaca, terlampau singkat mengambil kesimpulan. Padahal, sebaris judul tentu amat terbatas untuk menampilkan isi secara keseluruhan.
Di sisi lain, kemerosotan semangat membaca utuh ini tak jarang diambil manfaat oleh para produsen konten. Muncul istilah click bait, sebuah strategi penulisan judul yang genit, hiperbola, dan menjurus aktivitas seksual demi menjaring banyak pembaca dan menuai keuntungan dari iklan.
Sebelum memasuki era internet, masyhur kiat membaca yang tak hanya harus utuh, tapi juga tak cukup sekali. Orang-orang besar sekelas Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid, dikabarkan berulang kali membaca sejudul buku demi merawat nalar dan kecerdasan pikiran.
Untungnya, tradisi pesantren tak ikut-ikutan meski zaman kian instan. Kebiasaan kiai dan ustaz membacakan kitab kuning kepada santri secara keseluruhan begitu penting diambil sebagai teladan.
Fenomena Ibnu Malik dan Ibnu Mu’thi
Pesantren, tak sekadar mengamanatkan kebiasaan membaca utuh. Dalam proses mengalih-bahasakan redaksi Arab ke bahasa lokal, orang-orang berseloroh, untung saja tak dimulai dari daftar isi, atau tahun dan perusahaan cetak. Apa sebab?
Lantaran dalam pembacaan kitab kuning lazim dimulai dari bab yang cenderung ditinggal dalam tradisi ruang-ruang pembelajaran modern, yakni bab pengantar penulis.
Sebut misal, pembacaan kitab Alfiyah yang nyaris pasti dikurikulumkan dalam pesantren-pesantren tradisional di Indonesia. Santri, tidak hanya mendapat kedalaman pengetahuan soal tata bahasa. Dalam sekali dayung, disajikan banyak pesan dan amanat dari soal akhlak, hingga wawasan sejarah.
Jauh sebelum menelusuri 1002 bait nazam itu, sang pengarang Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad Jamaluddin ibnu Malik at-Thai atau yang lebih kesohor dengan sapaan Ibnu Malik tersebut menceritakan sisi lain dari panjangnya proses penulisan. Bukan amanat pentingnya mempelajari hal ihwal gramatika Arab, malahan di bait-bait awal ia berpesan soal perlunya kerendah-hatian.
Ibnu Malik, semacam menyisipkan ungkapan penyesalannya di bait ke enam atas ungkapan yang ia tulis di satu bait sebelumnya. Ia menganulir klaim bahwa kitab yang ditulisnya jauh lebih komplet dan komprehensif ketimbang karya pendahulunya, kitab serupa karangan Yahya ibnu Abdil Mu’thi ibnu Abdin Nur az-Zawawi al-Maghribi atau Ibnu Mu’thi.
Wa taqtadi ridlan bi ghairi sukhti, faiqatan alfiata ibn mu’thi. Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi.
Dalam Hasyiyah al-‘Allamah Ibnu Hamdun ‘ala Syarhil Makudi li Alfiyati ibn Malik diterangkan, kreatifitas Ibnu Malik bahkan terhenti di bait Faiqatan laha fi alfi baitin, yang artinya, klaim mengungguli Ibnu Mu’thi dalam hal seribu bait. Hingga ia menyerah, lalu bermimpi dan mendapatkan kritik keras dari Ibnu Mu’thi.
Dalam mimpi itu, Ibnu Mu’thi bilang, Wal hayyu qad ya’libu alfa mayyitin, orang hidup, sudah barang tentu mampu mengalahkan hingga seribu mayat sekalipun.
Merasa dikritik seniornya, Ibnu Malik terbangun dan segera mengkoreksi pernyataannya yang mandek dan mengubahnya menjadi;
Wa huwa bi sabqin haizun tafdhilan, mustawjibun tsanaiya al jamila. Ibnu Mu’thi tetap istimewa sebagai pelopor, beliau berhak mendapatkan hadiah berupa sanjungan.
Alhasil, melalui pengantar penulis alias mualif, pesantren berkepentingan tak melewatkannya agar santri bisa mendapatkan banyak hal. Terlebih, kewajiban menghindarkan diri dari gejala kesombongan. Ini artinya, literasi di pesantren tidak an sich terkait pengetahuan, tapi juga etika, nilai. Belum lagi, ketika ada serupa kewajiban usai menerangkan, para kiai selalu menutupnya dengan kalimat “wallahu a’lam”, hanya Tuhan yang mengetahui atas segenap kebenaran.
Sanad dan kontekstualisasi
Dalam dunia pesantren, dikenal sindiran; belajar kepada setan. Sebutan itu biasanya diarahkan kepada para pembaca yang mengabaikan betapa penting keberadaan pembimbing. Transformasi keilmuan kitab kuning, relatif disarankan agar dibarengi dengan kesinambungan sanad yang jelas, hingga terhubung kepada puncak penyampai syariat, Nabi Muhammad.
Pembelajaran kitab kuning yang tidak boleh sembarang ini dilakukan demi menjaga konsistensi pesan yang terkandung di dalamnya. Peluang tafsir yang beragam terhadap satu redaksi misalnya, diikhtiarkan tetap dalam pakem dan makna yang tidak terlalu berjauhan.
Akan tetapi, ketersambungan sanad sebagai prasyarat tradisi intelektual pesantren tak menghalangi seri ijtihad dan kreatifitas. Melalui kebiasaan bahtsul masail misalnya, dengan berbagai macam rujukan, para santri begitu terbiasa memanfaatkan khazanah klasik tersebut untuk menggali bahkan memecahkan persoalan kekini.
Dengan kekokohan tradisi kelimuan yang sekelumit saya gambarkan di atas, sampah-sampah atau nafsu-nafsu digital seperti hoaks, pemelintiran, pembuangan fakta demi ambisi keduniaan, apalagi fitnah yang merusak sendi-sendi agama dan bangsa, tak ada tempat di pesantren.
Kebiasaan yg dilakukan al maghfurlah KH Ali Maksum thdp santri seniornya, adl membacakan Muqodimah nya sj. Lembar2 berikutnya bisa di baca sendiri.
Membacakan muqodimah/kata pengantar sebuah kitab, bagi Mbah Ali sangatlah penting, tdk sj sebagai bukti ketersambungan sanad, tapi juga supaya pesan2 Mushonif di mengerti