Sedang Membaca
Ketika Para Penyair Memaknai Tidur
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Ketika Para Penyair Memaknai Tidur

Dari seorang novelis pemikir, George Orwell lewat buku esai otobiografis Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London (2017), tidur hadir dalam nikmat merayakan lelah. Paris yang gemuk sebagai kota boga sejak abad ke-19, pernah mengukuhkan Orwell sebagai tukang cuci piring di suatu ruangan hotel yang bising, panas, sempit, dan kumuh.

Orwell nekat hidup dalam keparat kemiskinan sebelum depresi besar melanda. Tidur tidak dijelang begitu saja. Tidur adalah obat mujarab dari hidup yang keras, “Bekerja di hotel mengajariku nilai tidur yang sesungguhnya, seperti rasa lapar mengajariku nilai makanan yang sesungguhnya. Tidur bukan lagi hanya kebutuhan jasmaniah; tidur itu sangat menggairahkan, sebuah sukacita, dan bukan hanya sebuah kelegaan.”

Kita memang tidak mungkin mengingat Orwell saat menjelang tidur atau menjelang susah tidur. Entah, seberapa panjang jumlah tidur yang pernah dialami setiap manusia dalam lelah sekaligus tidak lelah, untuk sungguhan berencana tidur, tidur-tidur ayam, atau seringnya “ketiduran”.

Peristiwa biologis itu terjalani begitu saja meski riset mutakhir menunjukkan orang-orang di dunia tengah mengalami kesulitan tidur yang akut.

Dunia ternyata memiliki hari yang tampak nikmat: Hari Tidur Sedunia. Tahun 2018, hari demi tidur jatuh pada 16 Maret 2018. Jika benar-benar dirayakan serentak, kita bisa membayangkan bumi yang terlelap menawarkan sebuah perayaan sepi yang paling sepi. Namun, di balik keberadaan momentum hari tidur, ada masalah cukup serius tentang tidur. Hari Tidur Sedunia menanggapi krisis tidur oleh para warga dunia.

Kompas (13 Maret 2018) mengabarkan bahwa kurang tidur menjadi epidemi global. World Sleep Society menyebut 35 persen penduduk bumi tidak memiliki waktu cukup tidur. Terutama, hal ini dialami oleh warga di kota-kota besar dunia dengan intensitas kerja yang tinggi. Munculnya aktivitas baru, serangan insomnia, dan tentu saja inovasi hiburan malam juga membuat warga dunia hanya sampai di peristiwa mengantuk.

Kurang tidur menyebabkan kerumitan di tempat kerja, luapan emosi tidak menentu, dan kegagalan kesehatan yang pasti menerbitkan komentar klinis dari para ahli kesehatan dan kejiwaan.

Kita membayangkan, doa kecil sebelum tidur yang diajarkan sebagai nikmat dan syukur tidak cukup membereskan. Bahkan mengantuk dan ketiduran sepertinya bukan lagi hal mudah. Sebaliknya, ketika momentum Ramadan hadir, biasanya ujian datang dari ujaran, “Tidur adalah ibadah”. Pernyataan ini menguji keimanan kita yang memilih tidur berlebihan dengan dalih ibadah, bukan semacam mengalihkan ke peristiwa bermutu bagi diri.

Baca juga:  Humor Gelap Gus Dur, Ustaz Abdul Somad, dan Kehidupan Agama Kita

Dalam tidur berkisah di iman dan kesehatan, hadir buku Misteri Tidur (Zaman, 2013) garapan Ahmad Syawqi Ibrahim. Judul seperti menjadi penegasan bahwa yang sakti krusial dan bermisteri bukan hanya ibadah. Tidur pun bisa sangat menempatkan manusia di antara jangkar aib dan iman. Buku dijelaskan dalam wilayah religiositas, sains, kesehatan.

Di salah satu bab, kita diajak menelusuri mimpi di tidur para nabi. Ada penglihatan dalam misi mempersiapkan Yusuf sebagai nabi lewat mimpi-mimpinya dan tentu mimpi Ibrahim untuk menyembelih Ismail.

Tidur yang mendatangkan mimpi bukan saja soal kualitas tidur sesuai standar kesehatan. Tuhan memilih menyampaikan wahyu atau perintah penting lewat mimpi dalam tidur.

Puisi

Para penyair Indonesia memiliki cara berimajinasi atas tidur. Cyntha Hariadi sebagai perempuan sekaligus ibu, membawa penampakan anak kembali dan menuju tidur di puisi “Tidur” (Ibu Mendulang Anak Berlari, 2016). Kita cerap, Ia di sana, aku di sini/ Aku tahu dia membuka mata/ Dan berpikir tentang aku/ Kemudian aku bangun/ (Apakah aku benar-benar tidur?)/ Karena kali ini aku mendengar/ Derap kakinya bergemuruh/ Menggegarkan lantai/ Tergesa-gesa seperti ada badai. Saat anak bangun, yang terpikirkan pertama adalah ibu.

Anak merindu dekapan karena baru saja tidur yang seperti meninggalkan ibu dan dunia. Anak ingin kembali tidur dengan membawa ibu turut serta karena takut ditinggalkan, Ia mengambil kepalaku di tangannya/ Menghirup udara yang baru aku hembuskan berkali-kali/ Sampai aku berkeringat karena wajah kami berhadapan/ terlalu dekat/ Kini ia meringkuk di dadaku, terlelap/ Dan aku terjaga/ Mendengar nafas kami bersahut-sahutan/ Begitu kami berdekapan/ Semua rahasia terungkap/ Mengapa ada kau dan aku.

Ibu dan anak menjadi lebur, tanpa beban, amat manusiawi, dan tenang tatkala melewati waktu-waktu paling hening dari keduanya. Saat tidurlah, waktu membuat keterabaian pada urusan rumah tangga, perkakas yang berantakan, rerimbun cucian, dan keletihan. Ibu mendekap anak tidur menjadi adegan mulia menghindarkan dari hal-hal buruk.

Baca juga:  Toleransi Beragama dalam Khazanah Tafsir Nusantara

Hasan Aspahani (2016) membawa tidur dalam nuansa religius. Tidur berlangsung selamanya, tidur sebagai kematian yang justru dialami dalam kesadaran mutlak. Kita serap puisi “Seperti Mandi yang Terakhir Kali”, Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri, setelah/ sukses menjadi satu-satunya pembicara/ dalam seminar sehari: “Cara Praktis dan Mudah/ Menyelenggarakan Jenazah. Bukan Jenazah Sendiri”.

Seperti kematian yang mestinya tak berbekal perangkat duniawi, Hasan Aspahani justru berkelakar tentang diskon dan sponsor di bait lanjutan, Kepada panitia, dia tak minta honor apa-apa/ Kecuali beberapa hadiah sponsor:/ segulung kafan langsung dari pabrik kain;/ kupon diskon 50 persen toko keranda;/ gratis mobil jenazah kapan saja perlunya;/ dan kavling kuburan di taman pemakaman./ “Lumayan,” katanya. Sebelum terpejam./ “Sekarang aku tinggal memikirkan, kapan/ saat yang paling tepat untuk ditalkinkan…”

Dalam perjalanan menuju kematian atau tidur panjang yang tentu tidak berbekal kebendaan duniawi, Hasan justru berkelar tentang diskon, sponsor, bonus. Pembaringan kematian masih butuh perhitungan dan kebutuhan duniawi.

Betapa tidur adalah nikmat berharga saat orang-orang harus membayar mahal untuk bisa mendapatkan tidur berkualitas. Sudah tidak terhitung dan begitu saja berlalu berapa kepastian tidur karena teralami begitu saja dan rutin, berapa lama manusia tidur dan tertidur.

Baca juga:  Empat Penyangga Islam

Kita tentu mengingat tidur yang fantastis, ajaib, dan berkepanjangan di dalam kitab suci. Sebuah tidur yang nyaris sama seperti kematian. Kita sepertinya lebih sering merasa tidur sebagai aib; tidur untuk menghindari pusaran konflik dan kesedihan, tidur yang keliru waktu sekaligus berkepanjangan, tidur sebagai akar kemalasan, atau tidur-tidur tak disengaja tapi terlalu keseringan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top