Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memberikan bantuan kuota internet bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen. Bantuan ini sebagai respon dan solusi atas persoalan beban siswa, mahasiswa, guru, dan dosen selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah hampir tujuh (7) bulan selama pandemi Covid-19. Kuota terbagi dua jenis: kuota umum dan kuota belajar. Bagi siswa, kuota umum 5 GB dan kuota belajar 30 GB. Sedangkan kuota umum bagi guru 5 GB dan kuota belajar 37 GB. Sedangkan bagi dosen dan mahasiswa masing-masing 50 GB. Semua paket kuota ini diberikan per bulan selama empat (4) bulan ke depan sampai Desember 2020.
Di satu sisi, bantuan kuota internet ini membantu orang tua siswa dan guru karena pengeluaran biaya internet perbulan, mengalami kenaikan ketimbang hari normal. Sebab pembelajaran yang digunakan guru umumnya daring (online). PJJ Daring sangat bergantung kepada akses internet; kepemilikan pulsa/kuota; kepemilikan gawai pintar atau laptop (komputer). Survei FSGI dan KPAI tentang evaluasi pelaksanaan PJJ pada April 2020 lalu, menunjukkan 56% guru mengeluhkan persoalan beban kuota internet selama PJJ. Kebetulan penulis sendiri yang bertanggungjawab dalam survei tersebut, semasa menjadi Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Penulis berkesempatan memaparkan langsung hasil survei di depan Dirjend PAUD Dikdasmen Kemdikbud (mewakili Mas Nadiem), Menteri Agama, Dinas Pendidikan, dan Kanwil Kemenag se-Indonesia via zoom.
Sepertinya Mas Nadiem menindaklanjuti rekomendasi survei tersebut, dengan memberikan bantuan kuota bagi siswa melalui Dana BOS. Maka keluar Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Biaya Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Dalam (dua) Permendikbud tersebut, diatur ketentuan bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa digunakan untuk membeli pulsa internet bagi guru dan siswa, untuk mendukung pembelajaran dari rumah selama masa pandemi Covid-19.
Namun dalam perkembangannya, metode bantuan kuota internet via Dana BOS tidak berjalan efektif dan optimal. Banyak sekolah yang tidak memberikan bantuan kuota kepada guru dan siswa, adapun yang memberikan nominalnya sangat variatif, mulai dari 50 ribu sampai 150 ribu/bulan. Ditambah lagi pencairan dana BOS tidak perbulan, melainkan tiga (3) kali setahun.
Kondisi tersebut menujukkan bantuan kuota internet bagi siswa melalui Dana BOS tak efektif, sebab besaran bantuan memang bergantung mutlak kepada dana BOS yang diperoleh sekolah dari pemerintah pusat. Makin banyak jumlah siswa (peserta didik), maka dana BOS makin besar. Dan satu hal yang perlu diingat, pengeluaran sekolah tentu tak hanya untuk kuota internet siswa. Masih banyak ragam pengeluaran rutin bulanan sekolah yang bersumber dari dana BOS seperti membayar upah guru honorer; biaya rutin listrik; pembelian ATK; pembelian perlengakapan yang menunjang protokol kesehatan; dan lainnya.
Sebagai tindak lanjut, Mas Nadiem kemudian membuat kebijakan baru, yakni bantuan kuota internet langsung ke nomor gawai siswa dan guru mulai September lalu. Dana yang digelontorkan pun tak tanggung-tanggung, 7,2 triliyun, angka yang jauh lebih besar dari dana Program Organisasi Penggerak (POP) yang menjadi polemik antara LP Ma’arif NU, PP Muhammadiyah, dan PGRI dengan Kemdikbud beberapa bulan lalu, yang berjumlah 595 milyar.
Persoalan di Seputar Kuota
Persoalan kemudian muncul, penyaluran kuota tahap I dan II September baru menyasar 27.305.495 nomor telepon selular (ponsel) pendidik (guru dan dosen) dan peserta didik (siswa dan mahasiswa) di seluruh Indonesia (Pusdatin Kemdikbud, 2020). Sedangkan target penerima bantuan kuota data internet sebanyak 50,7 juta siswa dan 3,4 juta guru, serta sebanyak 5,1 juta mahasiswa dan 257.217 dosen (Pusdatin Kemdikbud, 2020). Jenis bantuan tersebar dari tingkat SD, SMP, SMA, SMK, PAUD, Kesetaraan, SLB, mahasiswa vokasi, mahasiswa akademi, guru, serta dosen. Angka tersebut jauh dari kata sesuai target semestinya, tak efektif, dan berpotensi tidak adil. Sebab ada sekitar 30 juta pendidik dan peserta didik yang tidak dapat bantuan kuota di bulan pertama September.
Dalam laporan kepada Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) yang penulis terima, ada 14 provinsi yang sekolah di kota/kabupatennya belum menerima bantuan kuota Kemdikbud. Mulai dari Kab. Kep. Simeuleu (Aceh); Kota Medan (Sumut); Kota Padang Panjang dan Kab. Tanah Datar (Sumbar); Kab.Bintan (Kepri); Kab. Belitung (Babel); Kab. Pandeglang (Banten), DKI Jakarta; Kab. Karawang, Kab Bogor, Kab. Purwakarta, Kab. Garut (Jabar); Kab. Bojonegoro dan Kab. Pacitan (Jatim); Kab. Ende (NTT); Kab. Mimika (Papua); Kab. Kep. Sangihe (Sulut); Kab. Konawe Selatan (Sultra); Kab. Berau dan Kab. Kutai Kertanegara (Kaltim). Persoalannya pun variatif, ada yang sebagian gurunya sudah dapat sebagian belum, siswa juga demikian. Ada juga yang seluruh siswanya sudah dapat, tapi gurunya belum. Sebagai contoh, penulis sendiri yang mengajar di Jakarta, sampai tulisan ini dibuat belum mendapatkan kuota internet Mas Nadiem tersebut.
Selain besarnya jumlah penerima yang tak mendapat kuota, padahal berhak di bulan pertama, potensi tidak efektif dan mubazir dari bantuan kuota internet ini dapat dilihat dari pembagian kuota umum dan kuota belajar. Contoh, untuk guru diberikan 37 GB kuota belajar, kuota tersebut hanya bisa untuk mengakses 19 aplikasi pembelajaran; 5 aplikasi video konferensi seperti zoom, google meet, dll; dan 22 situs termasuk situs perguruan tinggi negeri dan swasta. Persoalannya adalah, diantara 19 aplikasi media pembelajaran tersebut, ada beberapa aplikasi yang tak dikenal, tak pernah dikunjungi, dan tak pernah dimanfaatkan sebagai media pembelajaran oleh guru dan siswa. Umumnya media aplikasi seperti Aminin, Bahaso, Birru, Cakap, Udemy, dan Dua Lingo. Bahkan siswa penulis sendiri, salah satu sekolah swasta “kelas atas” di Jakarta Timur tak mengetahui nama-nama aplikasi di atas, terdengar asing bagi mereka, begitu juga bagi guru.
Lantas, jika siswa dan guru saja tidak kenal dan tak pernah menggunakan aplikasi pembelajaran tersebut, buat apa Kemdikbud mempromosikannya? Memang untuk media palikasi Ruang Guru, Sekolah.mu, Google Clasroom, Zenius, Quipper, dan Microsoft Education lebih akrab didengar dan digunakan selama PJJ. Ada indikasi jika Kemdikbud mempromosikan aplikasi-aplikasi baru ini, yang masih start up, belum dinilai kualitas konten medianya, dan jejak rekam media yang belum terlacak pasti.
Sebaiknya Kemdikbud mempromosikan juga inovasi-inovasi media aplikasi pembelajaran yang dihasilkan dari perguruan tinggi, perguruan tinggi LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan), dan karya anak bangsa lainnya. Praktis hanya aplikasi Rumah Belajar saja yang genuine milik pemerintah (Pusdatin, Kemdikbud).
Di tengah-tengah aplikasi perusahaan swasta lainnya yang ternyata baru beberapa tahun berdiri. Peluang inovasi media pembelajaran di masa pandemi sekarang, menjadi tantangan sebenarnya bagi perguruan tinggi termasuk perusahaan BUMN untuk menghasilkan media pembelajaran yang berkualitas, mudah diakses, sekaligus memberi solusi. Langkah strategi diversifikasi aplikasi media pembelajaran oleh Kemdikbud menjadi penting dan mendesak dilakukan.
Kemudian, potensi tak efektifnya bantuan kuota internet adalah ditinjau dari porsi kuota. Memang harus diakui, selama PJJ Daring guru dan siswa lebih banyak menggunakan aplikasi WhatsApp (WA) sebagai media komunikasi dan interaksi, memberikan dan mengumpulkna tugas pun menggunakan WA. Syukurnya aplikasi WA sudah diakomodir dalam kebijakan Kemdikbud.
Tetapi sayang, Kemdikbud tidak memberikan alokasi kuota belajar untuk mengakses Youtube. Padahal konten pembelajaran via Yuoutube sangat beragam, dikenal secara luas, dan dimanfaatkan oleh siswa dan guru selama pembelajaran, baik sebelum pandemi maupun masa pandemi. Siapa yang tidak kenal Youtube zaman sekarang? Daripada mempromosikan media aplikasi yang tak pernah digunakan siswa dan guru, lebih baik Kemdikbud memperluas kuota belajar dengan menambah akses aplikasi Youtube.
Mengubah Skema
Agar kuota tak terbuang (hangus) sia-sia, tepat sasaran, efektif, dan maksimal dalam penggunaan perbulan, hendaknya rumusan metode pembagian kuota internet Kemdikbud adalah seperti kaidah berikut: “Semua media boleh diakses, kecuali yang dilarang”. Maknanya adalah, perluasan penggunaan media pembelajaran, secara terbuka, kecuali aplikasi tertentu yang dilarang secara terpusat, seperti Tiktok, Game Online, Twitter, Instagram, dan lainnya. Siswa dan guru akan lebih leluasa menggunakan kuota internet perbulan dan lebih maksimal.
Tidak maksimalnya penggunaan kuota perbulan oleh pendidik dan peserta didik, karena faktor media aplikasi yang tak dikenal dan masih dilarangnya akses terhadap Youtube, berpotensi menyisakan kuota perbulan rata-rata sekitar 10 GB, dikali 27.305.495 pengguna yang sudah dapat kuota, lalu dikali harga yang dibeli Kemdikbud dari operator seluler per 1 GB = Rp. 1.000.
Jadi 10 GB x 27.305.495 x Rp 1.000 = Rp. 273.050.000.000 milyar yang hangus sia-sia tak terpakai perbulan. Maka opsi penerapan skema “kuota tidak hangus” bisa diterapkan oleh Kemdikbud kepada operator seluler. Dalam kondisi normal, sisa kuota yang tak terpakai maksimal oleh konsumen memang berisiko hangus, itu mutlak. Namun dalam kondisi darurat seperti sekarang, perlakuan skema “kuota tidak hangus” agaknya menjadi solusi agar para peserta didik dan pendidik lebih maksimal dalam penggunaan kuota untuk belajar.
Menjadi catatan penting adalah, tak terpenuhinya hak-hak guru, siswa, dosen, dan mahasiswa yang jumlahnya kurang lebih 30 juta pengguna, yang belum mendapatkan bantuan kuota di bulan pertama September. Padahal sekarang sudah masuk bulan kedua Oktober, jelas-jelas 30 juta pengguna ini dirugikan, mendapatkan perlakukan tidak adil dari Kemdikbud.
Sebaiknya Kemdikbud mengakumulasikan “utang” kuota di bulan September dengan Oktober sehingga hak-hak mereka tetap terpenuhi. Apalagi skema pembayaran Kemdikbud kepada operator seluler bukan “dibayar di muka”, melainkan dihitung dari berapa pengguna yang sudah menerima kuota. Pada dasarnya, 58 juta pengguna berhak memeroleh bantuan kuota dari negara, tanpakecuali. Bantuan kuota yang wajib tersalurkan, apalagi dananya sudah dianggarkan 7,2 triliyun sampai Desember.
Memupuk Empati Siswa
Terakhir yang patut diinsafi adalah, belum hadirnya negara secara maksimal dalam memberikan layanan selama PJJ kepada guru dan siswa yang menggunakan metode PJJ Luar Jaringan (Luring), karena keterbatasan akses internet, kendala sinyal, tak punya gawai atau laptop. Adapun metode guru kunjung (home visit) dalam PJJ Luring menjadi satu-satunya pilihan terbaik bagi guru dan siswa. Walaupun tantangannya adalah jarak rumah yang jauh, kesulitan moda transportasi, kondisi geografis, sampai pada biaya esktra yang mesti dikeluarkan guru.
Maka penting rasanya para guru (dan dosen) saat ini menanamkan nilai empati kepada para siswanya, agar memiliki rasa kepedulian kepada saudaranya di daerah seperti 3T (terluar, terdepan, tertinggal) yang tidak bisa menikmati bantuan kuota internet dari Mas Nadiem. Agaknya beberapa catatan inilah yang membuat kebijakan bantuan kuota menjadi dilematis.