Sedang Membaca
Tak Perlu Takut Kearab-Araban
Sarjoko S
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Kajen, Pati. Aktif di Gusdurian, Jogjakarta. Selain menulis, juga suka fotografi dan desain.

Tak Perlu Takut Kearab-Araban

Tak Perlu Takut Kearab-Araban

Bagi saya, Hizbut Tahrir, al-Ikhwanul Muslimun dan sejenisnya bukanlah kaum islamis, walau pun mereka membawa nama Islam dalam setiap gerakannya. Melabeli mereka dengan sebutan islamis hanya akan memengaruhi kalangan awam, membuat seolah-olah memang merekalah pejuang Islam. Padahal, HT atau pun IM adalah gerakan politik. Bahkan di beberapa negara HT sudah menyebut dirinya sebagai partai politik.

Buruknya citra Islam dan istilah-istilah di dalamnya dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya labelisasi selingkung atau istilah-istilah khas seperti jihad, hijrah dan lain-lain pada aktivitas-aktivitas yang bukan islami.

Sebagai contoh adalah terorisme. Media-media sering menggunakan istilah ‘jihad’ ini untuk melabeli aksi teror. Para pelakuknya disebut ‘jihadis’. Makanya saat ini banyak orang parno dengan kata ‘jihad’ dan ‘jihadis’. Padahal, kata ‘jihad’ memiliki makna yang sangat mulia. Jihad sama sekali tidak terkait terorisme karena puncak jihad sebagaimana sabda Rasulullah adalah melawan hawa nafsu.

Begitu pun dengan istilah islamis. Di beberapa diskusi, saya cukup “nganu” kalau ada pemateri yang dengan lantang menentang segala bentuk kegiatan aktivis Islam. “Para islamis ini bla bla bla”. “Apa yang dilakukan para islamis ini bla bla bla”. Kalau diksi yang digunakan seperti itu, ya wajar kalau ada orang menganggap Islam tengah dizalimi. Lah wong kata islamis saja menjadi carut marut maknanya. Karenanya, marilah mulai menggunakan diksi yang tegas. Menyebut aksi teror ya terorisme, pelakunya teroris, bukan jihadis. Menyebut HT ya sebagai gerakan transnasional, aktivisnya disebut transnasionalis.

Baca juga:  Sapiens dan Pelajaran Bahasa Nabi Adam

Menyoal penggunaan diksi, sebenarnya inilah salah satu keunggulan para transnasionalis. Ketika aktivis Islam kultural tengah berupaya melakukan pribumisasi istilah, misalnya kata ‘liqo’ atau diskusi diganti dengan kata ‘cangkrukan’, ‘kopdar’, ‘ngobrol pintar’ dll, mereka berhasil merebut istilah yang bagi awam sangat Islam. Walhasil di kampus-kampus kalangan awam sangat tertarik bergabung dengan kelompok transnasional.

Hal ini saya alami sendiri beberapa tahun silam saat pengetahuan tentang ideologi masih sangat kurang. Saya cenderung mengamini pandangan bahwa yang menggunakan istilah Arab lebih islami ketimbang istilah bahasa lain, apalagi jika menggunakan istilah Barat yang kapir heuheu. Di dunia marketing, hal ini disebut sebagai branding dan packaging. Mungkin ini yang dialami saudara-saudari kita yang kejebur dalam aktivitas transnasionalisme.

Selain soal bahasa, cara berdakwah aktivis Islam kultural pun kurang nendang dibanding para aktivis transnasional. Ukurannya sederhana. Banyak tokoh Islam kultural yang sudah belajar seumur hidup memahami teks-teks agama justru kalah pamor dengan para ustad dadakan yang baru belajar alif ba ta setahun terakhir. Kerennya lagi, para fanboy ustad jenis ini berani mengafirkan, menyesatkan, dan mengecap ahli neraka para tokoh agama sekaliber Habib Prof Quraish Shihab, Buya Syafii Ma’arif, Mbah Mus, KH Said Aqil Siradj dan tokoh lainnya. Padahal gelar Habib, Prof, Buya, KH dll itu bukan gelar sembarangan. Gelar-gelar tersebut adalah pengakuan keilmuan dan ketauladanan para tokoh di bidang masing-masing.

Baca juga:  Khalifah Mana yang Berhak Memerintah untuk Memotong Leher?

Keberanian untuk menghardik para ulama oleh orang yang baru mengenal sekelumit ajaran agama tentu sebuah prestasi. Meskipun para penghujat ini dilandasi, sebagian besar alasannya, adalah kebodohan dan kebencian. Jika ditanyakan pada anak pondok pesantren: Apa hukumnya menghina ulama yang benar-benar ulama alias bukan ulama cap-capan? Jawaban paling afdol adalah kuwalat.

Yang sering saya sesalkan pula dari aktivis Islam kultural adalah sikap anti mereka yang berlebihan pada hal-hal yang berbau Arab. Okelah, saya mafhum maksud Anda. Tetapi mari berkaca pada sejarah dan kenyataan bahwa ajaran agama Islam banyak tercantum di dalam teks-teks berbahasa Arab. Agama Islam sendiri pertama kali muncul di negeri Arab yang otomatis berinteraksi dengan kultur setempat. Ketika dibawa ke ujung dunia sekali pun, pasti menempel Arabnya, minimal dalam salat. Mau pindah ke bulan pun, ya bacaan dalam salat menggunakan bahasa Arab. Wong ajarannya gitu.

Lalu tak perlulah lagi mendebatkan soal jenggot. Itu sudah lawas. Saat ini jenggot lebih pada style, bukan ideologi. Kalau tidak percaya googling saja foto Juan Mata tahun 2010, lalu bandingkan pada tahun 2016. Jika masih ada orang yang menganggap jenggot bagian dari sunah, yawes diiyain saja. Lha wong kemampuannya masih segitu mau diapain. Menghujat orang-orang yang demikian hanya akan membuat pengguna OS Oreo kembali ke era Jelly Bean, Froyo atau bahkan Donut.

Baca juga:  Panggil Saya Ustaz: Downgrading versus Branding

Sikap yang ultra-konfrontatif dengan kultur Arab justru kontraproduktif dan hanya akan dijadikan isu murahan para transnasionalis dalam melempar isu-isu tak sedap terhadap aktivitas Islam kultural. Misalnya saja beberapa bulan yang lalu para transnasionalis mengejek kalangan NU yang memperkenalkan istilah Islam Nusantara. Bagi yang paham dengan yang dimaksud NU, hal ini tidak akan menjadi soal. Tapi bagi awam yang baru belajar agama, NU dianggap tidak menerima apapun yang berkaitan dengan Arab. Makanya mereka memproduksi banyak meme yang bagi saya sendiri kok wagu. Misalnya: kain kafan bermotif batik. Di dalam meme itu ditulis keterangan: “Mungkin seperti ini yang diharapkan para JIN, Jaringan Islam Nusantara”.

Saat melihat meme itu, saya ingin ngakak. Tapi saya pernah mendengar dawuh kiai saya kalau jangan pernah menertawakan orang bodoh. Doakan saja agar kebodohan itu hilang dan tidak menular. Yawes, saya manut saja dawuh kiai saya itu.

Memang seharusnya bersikap sederhana saja sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Jangan membenci sesuatu secara berlebihan, dan jangan mencintai sesuatu secara berlebihan. Sederhana saja, seperti puisinya Sapardi Djoko Damono:
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Karena yang berlebihan itu akan sulit move on-nya. Serius!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top