Every true love and friendship is a story of unexpected transformation.
If we are the same person before and after we loved, that means we haven’t loved enough.
Mungkin kita masih mengingat kisah klasik ‘Layla dan Majnun’ atau ‘Yusuf dan Zulaeha’ di mana cinta menjadi faktor utama perubahan dalam diri. Sebuah kegilaan nikmat yang tidak disadari, tapi mampu melakukan transformasi total di wilayah personal-spiritual. Sebagaimana orang gila yang tidak mengetahui kegilaannya, orang yang jatuh cinta juga seringkali tidak menyadari kondisinya yang tengah “mabuk”.
Akan tetapi, dengan keistimewaannya cinta mampu membuka pintu penghayatan dan refleksi yang dalam, sehingga membentuk kesadaran baru tentang diri serta realitas yang dialami oleh si pencinta. Ada luapan energi yang memancar dari momen keindahan dan kepedihan sekaligus saat menanggung cinta, karenanya dengan itu karya-karya pun bisa lahir dan menjelma wajah baru dari cinta.
Sebuah novel dari Elif Shafak, ‘The Forty Rules of Love’, kurang-lebih menceritakan mengenai keutamaan dan peran cinta ini dalam proses transformasi diri menjadi Insan-i Kamil (tahap tertinggi dan sempurna sebagai manusia). Pada dasarnya, kisah utamanya ialah sejarah kehidupan Rumi yang diceritakan dalam sebuah novel berjudul “Sweet Blasphemy” oleh Aziz Z. Zahara, penulis Scotlandia sekaligus seorang sufi. Uniknya, novel tersebut lalu secara tidak langsung menjadi perpanjangan tangan dari Tuhan yang memengaruhi kehidupan seorang editor perempuan bernama Ella.
Dia bertugas meninjau karya tersebut apakah layak atau tidak untuk diterbitkan di agensi literasi tempat dia bekerja. Pengaruh Sweet Blasphemy pada diri Ella tidak hanya karena dari subtansi novel tersebut yang memperkenalkannya pada dunia sufistik dan karya-karya Rumi, tetapi juga dari korespondensinya dengan sang penulis yang berhasil membuka wawasan batinnya dan memberi perspektif baru tentang hidup. Jadi karya ini adalah novel di dalam novel. Mirip dengan ‘Kisah Seribu Satu Malam’, namun dalam bentuk jauh lebih sederhananya.
Lahir di Turki tahun 1971, Elif Shafak juga pernah menerbitkan novel lain seperti The Bastard of Istanbul, The Gaze, The Saint of Incipient Insanities, dan The Flea Palace. Saat ini dia mengajar di University of Arizona dan membagi waktunya antara Turki dan USA. Elif menyulam kisah tentang Rumi dengan gaya naratif yang memikat. Tidak banyak memberi deskripsi latar alam atau tempat, tapi lebih menyajikan suara perdebatan batin antara satu tokoh dengan tokoh lainnya.
Ia menonjolkan karakter tiap tokoh lewat cara berpikir, berperilaku, dan sifat yang cukup kompleks. Di novel tersebut, Elif dengan cermat dan cerdas menempatkan satu persatu dari Empat Puluh Aturan dalam Cinta sesuai dengan situasi dan konteks peristiwa yang menjelaskan tiap aturan itu secara relevan. Atau mungkin sebaliknya, menciptakan latar kisah yang memberi makna atas inti dari tiap Empat Puluh Aturan Cinta tersebut.
The quest for Love changes us.
There is no seeker among those who search for Love who has not matured on the way.
The moment you start looking for Love, you start to change within and without.
Aturan Cinta Nomor 12 di atas merupakan metafor yang diucapkan oleh seorang guru sufi, Baba Zaman, ketika melepas Shams of Tabriz yang akan berangkat dari Baghdad ke Konya untuk menemui pendamping jiwanya, Maulana Jalaluddin Rumi. Shams yang semula berambut gondrong, berkumis dan berjenggot, mencukur semua rambut di wajahnya. Hatinya bergetar karena luapan kebahagiaan sekaligus kepahitan dalam menghadapi takdir pertemuannya dengan Rumi nanti. Bersama Rumi, dia akan sampai di tahap tertinggi dalam pengembaraan spiritualnya, sekaligus mencapai fase akhir dari kehidupannya di dunia. Shams adalah seorang kekasih Tuhan yang dianugerahi penglihatan atas masa depannya sendiri dan masa silam dari orang lain.
Kebersamaan Rumi dengan Shams saling menyembuhkan luka kehampaan yang selama ini menggerogoti hati mereka, terutama pada Rumi. Baginya, Shams adalah matahari ilmu yang menghujaninya cahaya untuk menyelusuri jalan Cinta. Jalan yang sesungguhnya untuk menemukan Tuhan. Sebuah pencarian tanpa Cinta, tidak akan pernah membawa seseorang dapat menemukan Tuhan. Sebab Cinta adalah representasi dari Tuhan itu sendiri. Hanya dengan membuka hati untuk Cinta, berarti kita telah menyerahkan diri sepenuhnya demi menerima cahaya Ilahi. Dengan begitu, Tuhan pun menjadi nyata di hadapan mata batin kita. Segala yang kita saksikan adalah perwujudan dari Cinta, manifestasi atas wajah Keilahian.
Sebagaimana puisi-puisi Rumi yang terus menginspirasi dari abad ke abad, dari benua ke benua, dan dari pribadi ke pribadi, kisah kehidupannya yang diceritakan secara fiksi oleh Elif Shafak juga mampu melahirkan inspirasi tersendiri. Begitu reflektif. Di satu sisi, novel ini mengisahkan proses refleksi yang mendalam dari tokoh-tokohnya, di sisi lain, pembacanya pun akan terdorong untuk menjalani momen reflektif yang sama terkait dengan pengalaman spiritualnya sendiri. Ketika membaca novel ini, kita seakan-akan memasuki ruangan sunyi meditasi yang mempertemukan diri kita dengan seluruh rupa buruk ego (nafs) kita. Wahai para pencari Tuhan, bukalah pintu hatimu dan berjalanlah dengan hati itu, niscaya engkau akan menemukan Cinta dengan segala wujudNya.
[Judul Buku : The Forty Rules of Love. Penulis : Elif Shafak. Penerbit : Viking Penguin. Cetakan : 2010. Tebal : 229 halaman. ISBN : 978-0-141-95134-8]