Hakikat Islam adalah ketundukan dan kepatuhan hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan penyerahan diri secara totalitas tanpa reserve. Sikap ini, sebagai manifestasi dari hati nurani yang paling dalam tanpa adanya paksaan, agitasi maupun intimidasi, bahwa sebagai makhluk Tuhan akan senantiasa mengikuti segala hukum dan ketetapan-Nya. Memeluk agama Islam bagi Abdurrahman Wahid berarti ber-Islam, dan bukan memutlakkan Islam sebagai satu-satunya nama agama. Karena semua agama, ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan pemeluknya.
Dalam pengamatan Said Aqiel Siradj, tidak mustahil orang yang dalam pengakuannya secara formal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konghuchu ataupun lainnya, namun hakikatnya dia itu ber-Islam. Allah tidak menuntut manusia untuk memeluk Islam secara formalitas, mengikrarkan syahadat tetapi hatinya justru bertolak belakang. Karenanya simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah, bukanlah standar Islam, esensinya hanya sekedar syi’ar dan selebihnya rapuh bagaikan buih.
Bagi Gus Dur, Islam adalah agama kasih sayang, agama toleran, agama keadilan dan sekaligus agama kejujuran. Artinya, Islam adalah keyakinan yang egaliter, yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan zalim, karena alasan agama, suku, ras, gender, status sosial atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Wahid, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara, bahkan status muslim dan non muslim pun setara.
Pandangan Wahid tentang Islam tersebut oleh Greg Barton disejajarkan dengan prinsip dasar Eropa Kristen dan Yahudi di abad Pencerahan. Gus Dur menghayati Islam sebagai agama yang menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain. Dari pernyataan di atas seakan-akan Gus Dur ingin menyatakan bahwa seluruh agama, sungguhpun secara formalitas peribadatan memiliki perbedaan, pada hakikatnya hanya ingin membentuk sosok al-insan al-kamil (manusia paripurna) yang memiliki akhlaq alkarimah (moralitas).
Meski demikian, perbedaan eksoterik dalam realitas sehari-hari justru sering ditonjolkan dan dibesar-besarkan, sementara elemen esoterik agama, semisal penegakan supermasi hukum, sikap jujur, kebebasan berekspresi, dan lainnya, justru dimanipulasi dan dinafikan.
Penonjolan sisi eksoterik tersebut di atas, selain tidak akan menyentuh nilai-nilai agama yang sesungguhnya, juga akan mengobarkan sikap antipati antarpemeluk agama. Penonjolan legal-formal agama akan membawa imbas pada pensakralan dan politisasi superioritas masing-masing agama, sehingga fanatisme pemeluknya akan menjadi membara. Tragedi Perang Salib merupakan salah satu contoh politisasi yang memakai label agama “Islam-Kristen”. Ketegangan tersebut tidak hanya sebatas relasi antarpemeluk agama, hubungan intern pemeluknya pun semakin terbius dengan perbedaanperbedan legal-formal yang subjektif. Di tubuh umat Islam, insiden al-Fitnah al-Kubra yang meletus empat dasawarsa sepeninggal Nabi Muhammad saw merupakan contoh konkret legalitas politik aliran dalam intern agama.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, agama-agama begitu juga dengan Islam, merupakan kesadaran individu dan urusan pribadi. Oleh karena itu, tidak perlu diformalkan. Gus Dur sangat menentang kelembagaan agama apa pun, begitu juga dengan Islam. Menurutnya, apabila agama diformalkan akan berakibat eksklusif, tidak toleran, dan tidak adil kepada mereka yang berlainan paham, terutama kepada umat yang tidak seagama.
Dia menjelaskan: Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita tentang kelembagaan agama. Betapa hebatnya sebuah agama sekalipun, pendiriannya tidaklah mengajarkan orang untuk mencintai kelembagaan apa pun. Yang disampaikan adalah kebenaran, yang dalam Islam berupa tauhid (ajaran tentang keesaan Tuhan dan keutusan Muhammad SAW). Atas dasar itu, segala macam institusi yang mengatasnamakan Islam sebenarnya hanya bersifat perkiraan (ijtihad) belaka.
Kelembagaan agama, khusus dalam kasus Islam, akan mempersempit peran Islam itu sendiri dan begitu juga dengan kaum Muslim. Padahal kaum Muslim menyakini dengan benar bahwa Islam itu adalah rahmatan li al-alamin, sebagai rahmat bagi semesta. Karena itu, Islam seharusnya dimasukkan ke berbagai macam aspek kehidupan, tidak harus dilembagakan. Pelembagaan itu sendiri berarti membatasi diri, dan ini akan merugikan Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kelembagaan tersebut akan menafikan kelompok lain di luar mereka yang tidak sepaham, padahal Islam dan kaum Muslim tidak pernah dibatasi oleh kelembagaan tersebut.
Karena itu, Gus Dur tetap menganggap seorang itu Muslim walau dia tidak melaksanakan ajarannya, seperti shalat, zakat, atau puasa. Gus Dur tidak menafikan keislaman yang hanya pengakuan atau kepercayaan, keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad, tanpa diiringi dengan pelaksanaan terhadap Syari’at Islam. Baginya, orang itu tetap sebagai seorang muslim. Di sini, terlihat jelas betapa Gus Dur ingin menjadikan Islam tidak hanya milik bagi mereka yang secara formalitas mengerjakan amalan-amalan Islam, tetapi juga bagi mereka yang mengakui Islam sebagai keyakinannya, walaupun belum melaksanakan amalan-amalannya.
Baca selanjutnya bagian kedua klik ini..