Sedang Membaca
Ngaji Gus Ulil: Tingkatan dan Jenis Wujud

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Ngaji Gus Ulil: Tingkatan dan Jenis Wujud

Hakikatnya semua di dunia ini adalah maujud (ada). Sifat maujud atau yang disebut wujud adalah mencakup banyak segala hal. Namun, maujud yang sebenarnya itu berbeda-beda. Ada maujud yang bisa disentuh, ada yang tak bisa disentuh seperti, gagasan seorang arsitek yang mempunyai jumlah kalimat berhamburan dalam pikirannya. Sama halnya dengan angka 2 tidak punya maujud. Memang angka 2 ada, tapi tak bisa dilihat dengan indera mata manusia, karena ia merupakan konsep (sesuatu yang ada secara nalar).

Dalam kitab Faishal al-Tafriqah, Gus Ulil mengatakan bahwa, yang disebut dengan “ada” (wujud-maujud); dalam hal ini, secara makna ada lima tingkatan: Pertama Dzati. Adalah wujud yang ada fisiknya (dzat) berupa barang nyata (material-hakiki) di depan mata dan bisa dipegang. Misalnya seperti buku tulis. Disebut dzati karena ia berada di luar pikiran dan indera (ada di luar kesadaran kita). Meski demikian, wujud ini bisa ditubuhkan ke dalam pikiran. Singkatnya, wujud dzati adalah wujud yang terang-benderang tidak memerlukan contoh dan definisi.

Kedua Hissi. Adalah sesuatu yang “mento” (tergambar). Membayangkan bayangan seolah hadir di depan kita, tapi orang lain tidak bisa melihat karena bayangan ini hanya untuk dirinya saja (bayangan ini tidak ada di luar secara meteril). Wujud yang dilihat pada saat kita tidur (mimpi). Dalam tidur kita bisa melihat sesuatu yang tidak ada wujudnya. Kita bisa melihat dengan Indra, tapi tidak ada fisiknya (dzat).

Wujud ini kadang kala terjadi para Nabi dan wali dalam keadaan sehat, juga dalam keadaan “melek”. Seperti melihat Malaikat misalnya. Dalam hal ini yang dilihat bukan malaikatnya, tapi adalah gambaran yang menyerupai sesuatu yang diwakili oleh gambar itu (gambar yang menyerupai wujud asli). Contohnya, Nabi Muhammad melihat dan bertemu malaikat Jibril yang menyerupai manusia seperti biasa, datang di tengah-tengah para Sahabat mengajarkan tentang apa itu Islam, iman dan ihsan. Allah Swt berfiman:

فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُوْنِهِمْ حِجَابًاۗ فَاَرْسَلْنَآ اِلَيْهَا رُوْحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

Baca juga:  Interkoneksitas Asia dan Diaspora Arab di Tiongkok Era Mao

Artinya: “lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.” (QS. Maryam:17).

Meski malaikat bersifat rohani, rupa-rupanya Nabi Muhammad pernah melihat rupa aslinya malaikat Jibril hanya dua kali saja, selebihnya Jibril datang dalam keadaan menyerupai manusia sebagai mana mestinya. Kadang kala datang menyerupai wajah para Sahabat. Sisi lainnya, malaikat inilah yang menjadi medium untuk menyampaikan wahyu dan ilham. Hal ini terjadi karena kuat dan bersihnya rohani para Nabi dan wali.

Ketiga Khayali. Sesuatu yang bisa diindera (diingat kembali) ketika sesuatu atau benda itu hilang. Wujud itu akan tetap tergambar seperti semula gambar ada di dalam pikiran (otak). Wujud yang bersifat memorial (al-quwwah al-khayaliyah). Misalnya kita melihat taman, namun ketika sudah berlalu, kita bisa melihat taman-taman itu dengan memori kita. Seolah-olah kita bisa melihat sendiri. Pendek kata, wujud khayali adalah suatu kekuatan yang bisa mencetak gambar realitas di dalam pikiran kita.

Keempat Aqli. Wujud yang ada di dalam pikiran. Karena itu, sesuatu yang ada berubah substansi. Jelasnya, wujud yang bersifat intelektual (punyak gagasan dalam pikiran). Misalnya, seorang sarjana punyak gagasan menulis artikel di jurnal. Seorang arsitek ingin membangun apartemen megah dan lainnya.

Kelima Syabahi. Wujud yang bersifat keserupaan, wujud yang bersifat analogis. Atau dalam bahasa filsafat Yunani kita mengenalnya dengan istilah “antropomorfism”. Adanya wujud ini tidak ada, juga tidak ada gambarnya hakikatnya, terlebih dalam memori dan akal kita, melainkan adanya berada pada sesuatu lain yang menyerupainya dalam salah satu kekhususan.

Lalu apa makna lima tingkatan wujud itu?

Saat mau menyebut (menuduh) orang lain kafir atau iman, kita harus melihat terlebih dahulu. Tuduhan kafir itu maksudnya, apakah si fulan menuduh bahwa orang lain tidak percaya dengan apa yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi itu tidak ada atau bagaimana?

Baca juga:  Agama dan Pelintiran Kebencian (2): Senjata Bagi Wirausawahan Politik

Menurut al-Ghazali, kalau ada orang percaya pada apa pun yang dikabarkan Nabi Saw sebagai ada dalam pengertian lima tingkatan di atas, berarti ia masih iman. Begitu juga, kalau ada orang tidak percaya ajaran Nabi Saw dalam lima tingkatan tersebut, maka orang itu kafir.

Misalnya, kita ini warga NU punya akidah, bahwa Allah punya sifat banyak. Sifat pokok ada 20, seperti diajarkan dalam kitab Aqidatul Awwam, bahwa Allah punya tangan. Ini maksudnya tangan apa? Benarkah tangan-Nya Allah di atas tangan manusia benar adanya? Seseorang disebut beriman kalau ia percaya pada apa yang diajarkan al-Qur’an. Pertanyaannya adalah, apakah ada di sini dzati atau bagaimana?

Tentu, kalau menurut akidah Asy’ariyah, Allah punya tangan itu betul-betul ada, itu bukan artinya dzati. Karena tidak mungkin Allah punya tangan seperti tangan manusia, karena sifat-sifat Allah tidak sama dengan makhluknya. Maka mustahil arti tangan itu dzati. Lalu artinya ada ini apa? Akidah Asy’ariyah mengatakan, ini artinya aqli. Apa artinya, fungsi tangan ini untuk apa? Yang jelas, tangan biasanya untuk memberi, melakukan sesuatu. Jadi kalau dikatakan tangannya Allah, artinya kekuasaan Allah Swt.

Namun demikian, tetapi ada sebagian golongan Islam yang memaknai tangan ini dengan tangan sungguhan, tapi tangannya tidak seperti tangan manusia. Kelompok-kelompok ini biasanya sering kali menuduh kita, NU khususnya, dicap kafir. Ini yang dikatakan oleh al-Ghazali, bahwa kita tidak bisa menuduh orang-orang yang mengikuti aqidah Asy’ariyah kafir, karena kita masih mempercayai adanya tangan Allah secara aqli.

Sekiranya ada kelompok yang masih percaya ajaran Nabi dalam wujud dzati, berarti dia masih kategori jalan muslim. Percaya dalam wujud khayali, iman. Wujud hissi, iman. Wujud aqli, iman. Wujud syabahi, iman. Jelas sudah bahwa iman itu cakupannya luas. Apa intinya? Kita jangan gampang menuduh dan mengkafirkan orang-orang Islam.

Inilah inti ajaran kitab Faishal al-Tafriqah. Bahkan, ini juga yang sebetulnya menjadi ciri dari umat Islam seperti NU, umat Islam Ahlusunnah wal Jamaah an Nahdliyah. Dalam hal ini, al-Ghazali dan para imam lainnya seperti Imam Syafi’i tidak gampang menganggap menuduh orang yang berbeda itu kafir.

Baca juga:  Omelan Beras

Kita tahu, bahwa ajaran Islam mudah tersebar di mana-mana, termasuk di Indonesia dan nusantara, karena watak ajarannya di tengah-tengah. Tidak mudah menuduh dan mengkafirkan orang. Ciri khas lainnya dari Ahlussunah wal Jamaah adalah mengikuti tasawuf. Dan ajaran tasawuf yang diajarkan sufi-sufi kita zaman dulu salah satunya oleh Imam Junaid al-Baghdadi, berada dalam kaidah sederhana: “Launul ma’i launul ina’i.” Artinya “warnanya air itu sesuai dengan warna cangkir atau gelasnya”. Apa maknanya?

Misalnya, ada satu gelas minum, lalu kita bayangkan gelas itu warnanya merah. Ketika kita menaruh air, dilihat dari luar, warna airnya seperti berwarna merah. Ketika kita ganti gelasnya berwarna kuning, airnya seolah-olah berwarna kuning. Diganti gelasnya berwarna coklat, airnya seolah-olah berwarna coklat. Pertanyaanya, airnya berubah warna apa tidak?

Jelas, warna air tetap warna air. Tetapi warna air mengikuti wadahnya ini. Tetapi, sejatinya warna air ya seperti warnanya air. Hanya saja, kelihatan oleh yang melihat warnanya berubah-ubah merah, biru, seolah-olah berubah, tapi tidak berubah. Jelasnya, warnanya air seperti seolah-olah warna gelasnya, sementara airnya sendiri tidak berubah. Esensinya tetap, hanya kelihatan warnanya berubah. Itulah salah satu ciri dari Islam ala Ahlussunnah wal Jamaa’ah yang kita ikuti di Indonesia ini.

Syahdan, inilah filosofi para wali dulu yang menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Kemanapun mereka pergi membawa Islam, Islamnya tidak berubah warna. Ketika misalnya datang ke Jawa, ia memakai gelas Jawa, Islamnya kelihatannya Jawa. Ketika datang ke tanah Minang atau Aceh, kelihatannya seperti warna Minang atau warna Aceh. Ini membuat Islam yang dibawa oleh para wali bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kultur yang beragam. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top