Sedang Membaca
Hukum Takwil Tanpa Dalil Pasti Menurut Gus Ulil

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Hukum Takwil Tanpa Dalil Pasti Menurut Gus Ulil

Al-Burhani (demonstratif rasional), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendektan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi). Lebih dari itu, burhani sangat menekankan proses dan peranan analisis rasional (al-Qiyas, al-Jami’) untuk memperoleh pengetahuan sekaligus sebagai suatu kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana jika ada orang yang menakwilkan ayat-ayat dan hadits antropomorfis (tasybih) tanpa burhan atau dalil-dalil yang pasti?

Jika kita telusuri, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mana secara eksplisit mengajak pembacanya untuk berdialog secara nalar tentang berbagai aspek dalam membuktikan sebuah kebenaran; salah satunya QS: Al-Anbiya: 21-25, ayat yang berbicara tentang pembuktian akan keesaan Allah dan penolakan keras akan adanya sekutu yang menemani dan menyerupainya. Ayat yang dibangun dengan dasar logika yang menghasilkan konklusi bahwa, keesaan Allah merupakan sebuah keniscayaan dan kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan di perdebatkan.

Nalar burhani inilah yang digunakan al-Qur’an dalam membangun kerangka berfikir agar meluruskan akidah dan keyakinan yang sudah lama bengkok dan sulit untuk di luruskan. Dalam hal ini, al-Qur’an berusaha menghadirkan sebuah dialog secara nalar yang bisa digunakan sebagai media yang sangat jitu, dalam menaklukan para pembangkang yang dinilai sangat radikal dalam berargumen.

Sisi ke i’jazan burhan al-Qur’an datang dengan tujuan tarbiyatu al-insan (pendidikan manusia), juga ia tidak hanya menyeru kepada nalar logis saja, akan tetapi melebihi dimensi tersebut, yaitu menerobos ke wilayah terdalam yaitu hawas (indra), psikologis dan perasaan (wijdan), agar secara intusi mampu merasakan bagaimana sentuhan kalam ilahi yang mengajak untuk menyaksikan dengan mata kepala dan mata batin akan hadirnya ayat-ayat kauniah (tanda-tanda yang ada dialam jagad raya) ini, dalam menunjukan kebenaran terhadap kewahdaniyyahan Allah Swt.

Namun tak bisa dipungkiri, ada sebagian orang yang kadang-kala terburu-buru menakwilkan ayat dan hadits bukan dengan burhan (dalil kuat), melainkan dengan ghalabah azh-zhan (sangkaan yang sangat kuat). Dia menyangka bahwa ayat dan hadits ini harus ditakwil. Alih-alih mereka mentakwil, kita tak boleh begitu saja mengkafirkannya (harus menelaah dahulu). Mengingat, semangat kitab Faishal al-Tafriqah adalah semangat toleransi dan moderasi.

Baca juga:  Yudian Wahyudi, Pancasila dan Maqashid al-Syari’ah

Dengan demikian, jika takwilnya mereka berada dalam perkara yang tidak berhubungan dengan pokok-pokok aqidah, maka kita tak boleh mengkafirkannya. Misalnya, seperti pendapat sebagian ahli sufi (ahli tasawuf) tentang kisah Nabi Ibrahim as. tatkala mencari Tuhannya melalui pengalaman empiris, sehingga ia berhasil menemukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah swt selaku pencipta langit dan bumi (inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara samawati wal ardh).

Kita tahu, sejak kecil, Nabi Ibrahim terpelihara dari perbuatan jahat. Beranjak besar ia pun mulai mempertanyakan siapa dirinya dan mengapa kaumnya menyembah berhala-berhala dari batu yang dibuat manusia, yang tak mampu berbuat apa-apa. Ibrahim tak percaya bahwa berhala-berhala buatan manusia itu merupakan Tuhan yang harus disembah. Karena itu ia pun mulai mencari-cari Tuhan yang sebenarnya.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am: 76-78 disebutkan, ketika malam telah gelap, Ibrahim melihat sebuah bintang lalu ia berkata, “inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, “saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Kemudian ketika melihat bulan terbit Ibrahim berkata, “inilah Tuhanku”. Tapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Lalu saat melihat matahari terbit, Ibrahim berkata, “inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, “hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”

Dari pencarian ini, Ibrahim pun berkeyakinan Tuhan tidak akan pernah mati. Karena jika Tuhan mati, berakhirlah kehidupan di dunia ini. Dengan keyakinannya itu, Ibrahim pun meminta bukti bagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa menghidupkan makhluk-makhluk yang sudah mati.

Baca juga:  Bijaksana Menyikapi Zaman, Sibuk Memperbaiki Diri

Karena itu, dalam al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 260 disebutkan, Allah pun memerintahkan Nabi Ibrahim mengambil empat ekor burung dan kemudian mencincangnya. Burung-burung yang sudah dicincang itu diletakkan pada setiap bukit, kemudian Allah menyuruh Ibrahim memanggil mereka dan burung-burung itu pun terbang ke arah Nabi Ibrahim.

Syahdan, menurut para sufi, yang dimaksud dengan kata “melihat” bintang, rembulan dan matahari adalah bukan makna dhahirnya, melainkan substansi-substansi yang bersifat cahaya kemalaikatan. Jelasnya, bintang, rembulan dan matahari dilihatnya bukan seperti yang kita lihat dan rasakan, tetapi ada sesuatu yang menjadi esensi (al-jauhar).

Inilah yang kemudian mendorong para sufi untuk mentakwil ayat dengan makna batinnya. Dengan kata lain, yang dilihat sesungguhnya oleh Nabi Ibrahim adalah Tuhan yang bertajalli; yang menampakkan dirinya melalui cahaya, dan kecemerlangan cahayanya bertingkat-tingkat. Dalam bahasa Gus Ulil “Penampakan Tuhan”. Tuhan menampakkan dirinya kepada Nabi Ibrahim didalam cahaya yang lemah. Karena pada saat itu (mungkin) kemampuan daya serap Nabi Ibrahim terhadap cahaya Tuhan masih lemah.

Bahkan, sebagian para sufi menjadikan dalil terhadap takwil itu bahwa, Nabi Ibrahim masih jauh dan tidak mungkin menekatkan (mengatakan dan meyakini) sesuatu yang mempunyai jism (bentuk) adalah Tuhan. Lalu para sufi berkata: Andaikan jism (matahari) itu tidak pernah tenggelam, apakah Nabi Ibrahim akan mengatakan matahari adalah Tuhan? Apakah mungkin Nabi Ibrahim tidak tahu bahwa sesuatu yang punya jism itu adalah mustahil mempunyai sifat ketuhanan?

Tak hanya itu para sufi juga berdalil, bagaimana mungkin Nabi Ibrahim melihat bintang pertama kali, padahal matahari lebih jelas dan besar? Seharusnya mataharilah yang pertama kali dilihatnya. Pun juga, para sufi mengatakan, sesungguhnya Allah berfiman: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.” (QS. Al-An’am: 75).

Allah memberikan penjelasan, bagaimana Dia menampakkan keagungan ciptaan-Nya di langit dan di bumi, tata susunannya ataupun keindahan tata warnanya. Allah menampakkan kepada Ibrahim benda-benda langit yang beraneka ragam bentuk dan susunannya, serta beredar menurut ketentuannya masing-masing secara teratur. Bumi yang terdiri dari lapisan-lapisan yang banyak mengandung barang tambang dan perhiasan, sangat berguna bagi kepentingan manusia.

Baca juga:  Pandemi dan Uzlah Era 4.0

Kesemuanya itu menjadi bukti adanya kekuasaan Allah, yang dapat dipahami oleh manusia jika mereka mau berpikir sesuai dengan fitrahnya. Allah menjelaskan pula tujuan dari pengenalan Ibrahim terhadap keindahan ciptaan-Nya yaitu agar Ibrahim benar-benar mengenal hukum alam yang berlaku di dunia ini, dan kekuasaan Allah yang mengendalikan hukum-hukum itu, agar dapat dijadikan bukti ketika menghadapi orang-orang musyrik yang sesat, dan menjadi pegangannya agar termasuk orang yang betul-betul meyakini keesaan Allah.

Itu artinya, kalau sudah ditunjukan kerajaan langit dan bumi, kenapa masih berkesimpulan matahari itu adalah Tuhan. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim “menyangka” jism itu adalah Tuhan, setelah “tersingkapnya” kerajaan langit dan bumi. Inilah dalil-dalil dasar yang digunakan para sufi untuk menafsirkan ayat didalam al-Qur’an Surah Al-An’am tentang kisah perjalanan Nabi Ibrahim mencari Tuhan.

Namun demikian, menurut al-Ghazali, dalil-dalil (para sufi) itu adalah merupakan petunjuk yang bersifat azh-zhanniyah, kelihatannya kuat tapi masih bersifat sangkaan. Dan, semuanya tidak bisa dikategorikan sebagai dalil burhani (dalil yang kuat).

Gus Ulil mengatakan, hal-hal yang diatas itu penting untuk dijelaskan karena sebagian orang tidak mengerti, terlebih zaman sekarang banyak orang suka mengkafir-kafirkan. Tak hanya itu, sambung Gus Ulil, jangan terburu-buru mengkafirkan orang yang mentakwil (manafsirkan) ayat dan hadits dengan menggunakan ghalabah azh-zhan. Terlebih dahulu ada baiknya kita telaah sebelumnya. Sekian.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top