Menjadi sosok yang alim terutama dalam hal ilmu-ilmu keislaman merupakan impian paling diminati di kalangan para santri. Apa pasal? Selain karena memiliki kedudukan amat mulia di sisi Allah, juga dihormati dan disegani banyak orang. Bahkan, dijadikan rujukan otoritatif menyangkut ilmu agama dan tentu juga lainnya.
Tak ayal ketika berada di pesantren, banyak santri yang memperdalam ilmu keislaman dengan tenaga power full. Mereka rela mengurangi tidur (malam)-nya demi memahami isi kitab kuning karya ulama klasik itu.
Adalah Misdar seorang santri baru di salah satu pondok pesantren di Madura. Sebagai santri baru, tentu ia harus belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, yaitu pesantren agar supaya kerasan atau betah. Karena, pada biasanya di awal-awal santri anyar banyak yang tidak betah, dan akhirnya balik kampung. Misdar pun wira-wiri dari satu kamar ke kamar lain bak orang kehilangan ayam guna mencari teman. Hingga akhirnya ia akrab dengan Andi salah seorang santri senior, yang juga kebetulan adalah ketua kamar, yakni kamar A2.
Keakrabannya dengan Andi memberi arti tersendiri bagi Misdar. Dari Andi ini, Misdar belajar banyak hal tentang kehidupan pesantren. Bahkan, ia juga menimba ilmu kepadanya. Salah satu ilmu yang ia pelajari dari Andi adalah ilmu nahu-saraf. Suatu cabang ilmu yang dianggap paling sulit di pesantren, dan tak jarang membuat jenuh santri. Walau begitu, nahu-saraf tetap harus dikuasai sebab, menjadi jendela awal bagi santri agar supaya mampu membaca dan memahami kitab-kitab seperti fiqih, tauhid, tasawuf, dll.
Hari demi hari pun dilaluinya oleh Misdar dengan tetap belajar kepada Andi. Namun, karena Misdar merasa telah menguasai terhadap ilmu nahu-saraf, akhirnya ia memiliki sifat sombong dalam dirinya. Saya sudah alim. Siapa yang ingin belajar maka datanglah kepadaku. Tidak ada santri yang lebih alim dariku di sini. Siapa pun yang ingin berdebat denganku akan aku ladeni. Demikianlah, ungkapan-ungkapan yang seringkali keluar dari bibir merahnya Misdar.
Hingga pada suatu hari, tepatnya ketika berada di ruang kelas Wustho, Ustaz Bahri mengisi materi pelajaran yang paling disukai dan dikuasainya, yakni ilmu nahu-saraf. Disukai, karena saban waktu kitab paling sering dibaca adalah seputar nahu-saraf, di samping juga kitab lain. Dikuasai, sebab jika ditanya di pesantren itu siapa ustaz paling alim di bidang nahu-saraf? Jawabannya, tentu Ustaz Bahri. Memang, kealiman Ustaz Bahri di bidang itu sudah masyhur di kalangan para santri dan ustaz lainnya. Saking alimnya, ia sampai dijuluki sebagai “nahu-saraf berjalan”.
Seperti kebanyakan ustaz-ustaz lain pada umumnya ketika mengajar, Ustaz Bahri pun mengawali pembelajarannya dengan membacakan kitabnya sembari memberi penjelasan terhadap apa yang ia baca. Kemudian Ustaz Bahri mengajukan pertanyaan kepada santri yang diajarinya. Dan kebetulan, Misdar juga termasuk salah satu santri kelas Wustho yang diajari Ustaz Bahri itu.
“Lafaz ta’rifan termasuk kalimat apa?” tanya Ustaz Bahri pada santri.
Semua santri yang ada di dalam kelas itu pun mulai berpikir untuk mencari jawabannya. Namun, berbeda dengan Misdar. Merasa karena dirinya telah cukup alim, apalagi ia juga sudah lama belajar hal demikian kepada Andi, tanpa berpikir panjang akhirnya ia pun menjawabnya, “kalimat isim ustaz.” jawab Misdar.
“Siapa yang menjawab itu?” tanya Ustaz Bahri.
“Saya ustaz.” jawab Misdar dengan lantang.
“Isim apa Dar?” timpal Ustaz Bahri lagi.
“Isim mudhori’ ustaz.” jawab Misdar dengan tegas.
Mendengar jawaban Misdar itu, Ustaz Bahri beserta santri lainnya kaget dan bertanya-tanya Apa, isim mudhori’? Khawatir salah mendengar, Ustaz Bahri pun mencoba memastikan jawaban Misdar dengan menanyakan ulang. Namun, jawabannya tetap sama: isim mudhori’. Seketika, tawa pun bergemuruh menghiasi ruangan kelas itu. Sebab, di dalam kajian ilmu nahu-saraf tidak adanya namanya kalimat “isim mudhori’”. Yang ada, hanya “isim fiil mudhori’” dan “fiil mudhori’”.
Isim mudhori’, Hahaaha….. He he he…..