Sedang Membaca
Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (2)
Saidun Fiddaraini
Penulis Kolom

Lahir di Sumenep 22 Februari 1996, sempat nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, dan sekarang Tinggal di Kepulauan Kangean, Sumenep. Minat Kajian adalah keislaman dan filsafat.

Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (2)

gusdur

Bagi Gus Dur, kebebasan dan kemerdekaan adalah hak bagi setiap warga negara. Negara wajib melindunginya sesuai dengan konstitusi. Perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas dan ter-marginalkan wajib dilakukan dikarenakan termasuk dari amanat Undang-undang Dasar. Artinya, keberagaman atau pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan yang wajib diakui dan dijaga sebagai bentuk komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perundang-undangan yang dianggap tak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, oleh Gus Dur dihapus. Bahkan, pada masa pemerintahannya, Gus Dur pernah bersitegang atau bertentangan dengan Lembaga MPR dan DPR dengan dikeluarkannya Dekrit pembubaran akan lembaga tersebut. Pertentangan ini mencapai klimaks dengan pemakzulan Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden. Sebagai konsekuensi logis atas kebijakannya, Gus Dur dengan jiwa besar menerima pelengseran tersebut.

Walaupun berakhirnya Gus Dur sebagai pemimpin negeri ini secara tidak terhormat, tetapi masih banyak rakyat yang mencintainya. Hal ini dikarenakan model dan cara Gus Dur memimpin begitu dekat dan bermuara pada kepentingan rakyat bahkan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Dalam kepemimpinannya, Gus Dur berpedoman pada kaidah Tasharuf al-Imam ala ar-Ra’iyyah Manutun bi al-Maslah (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus mempertimbangkan kesejahteraan mereka). Tipologi inilah, yang membuat Gus Dur selalu melekat dalam hati sebagian besar masyarakatnya bahkan hingga berpulangnya ke sisi Allah swt.

Baca juga:  Epos Ajaran Kemanunggalan Islam di Nusantara (2): Hamzah Fansuri, Sastra Sufistik, dan Mabuk Spiritual

Ketiga, Gus Dur seorang cendekiawan atau intelektual. Selain memperdalam ilmu di pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan tinggi, khususnya tentang keagamaan pada Fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Kairo, Mesir (1964-1966) serta kiprahnya di pelbagai organisasi keagamaan, baik tingkat nasional maupun dunia, mengantar Gus Dur sebagai sosok pribadi yang mempunyai pengetahuan luas, mendalam, dan universal.

Berbagai ilmu pengetahuan ia pelajari dan beberapa bahasa juga dikuasainya. Ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang cerdik-cendekia yang pernah dimiliki bangsa ini. Komitmen dan kecintaannya akan ilmu pengetahuan tak ada seorang pun yang meragukan. Kebebasan intelektual yang selama ini Gus Dur perjuangkan patut kita kagumi dan teladani. Pemikirannya sangat khas. Ia mengkomparasikan antara pemikiran ke-Islam-an dengan ke-Indonesia-an dalam konteks bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah autentisitas pemikiran Gus Dur yang jarang dimiliki kebanyakan orang.

Kapasitas keilmuan yang dimiliki dan diyakini, menjadikan Gus Dur senantiasa berpedoman pada al-Quran dan hadis sebagai landasan berpikir dan bertindaknya. Artinya, sebagai Muslim yang taat beragama, Gus Dur dalam melakoni hidup, selain berikhtiar, ia juga melakukan penyerahan secara total kepada Sang Pencipta (Allah Swt.). Juga menjalankannya dengan sikap rendah hati, santun, tegas, lugas, dan tanpa beban sedikit pun. Dari apa yang dipahami dan amalkan dalam laku hidupnya, menunjukkan bahwa Gus Dur seorang Muslim yang merepresentasikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin.

Baca juga:  Kata Buya Yahya tentang Bencana

Keempat, Gus Dur seorang pejuang kemanusiaan. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dalam ajaran Islam. Sebab, bagi Gus Dur, sejak kali pertama Islam diturunkan membawa misi dan pesan-pesan perdamaian bagi umat manusia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta memberikan penghargaan terhadap kehidupan sosial.

Seperti sudah jamak diketahui bersama bahwa Islam menaruh perhatian lebih pada manusia (sangat memuliakan). Ini bisa ditilik dari perlindungan Islam atas hak dasar manusia, yaitu hak hidup, hak beragama, hak kepemilikan, hak profesi, dan hak berkeluarga. Karena itu, memperjuangkan kemanusiaan adalah perintah mutlak yang langsung berasal dari Tuhan. Dan Gus Dur, sudah melakukan hal ini dalam bentuk sikap dan perbuatannya selama ini.

Keberpihakan Gus Dur terhadap wong cilik, kelompok minoritas, dan ter-marginalkan, merupakan bukti konkret dari perjuangannya. Artinya, Gus Dur berupaya menjembatani antara Islam, kemanusiaan, dan kebudayaan di ranah kebangsaan dengan komitmennya atas kesejahteraan umat manusia, terlebih warga negara Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah sebuah proses memanusiakan manusia tanpa memandang perbedaan secara primordial setiap individu. Sebagaimana ungkapannya yang sudah masyhur di telinga kita, yakni “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.

Namun demikian, bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21 yang kontribusinya begitu besar terhadap bangsa Indonesia secara khusus dan dunia secara umum, kini telah lama meninggalkan kita, tepatnya tahun 2009 (12 tahun) silam. Walau begitu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap hidup sampai saat ini melalui wacana pemikiran, gagasan, dan teladan hidup yang diwasiatkan pada kita semua. Ini berarti, tanggung jawab sekarang ada ditangan kita semua sebagai generasi penerus bangsa yang mencintainya. Lantas apa yang sekarang dapat kita lakukan untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawab yang tengah diwariskan tersebut? Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top