Bagi warga Surabaya dan sekitarnya mungkin tidak asing lagi dengan nama Michael Leksodimulyo yang populer dengan sebutan “Dokter Spesialis Gelandangan”. Julukan ini disematkan kepadanya lantaran Dokter Michael, melalui “klinik keliling”, menyediakan pelayanan dan pengobatan gratis pada kaum dhuafa atau fakir-miskin yang tinggal di kompleks-kompleks kumuh, kolong jembatan, area pemakaman dlsb.
Karena aktivitas sosial dan dedikasi kemanusiaan yang ia lakukan bersama Yayasan Pondok Kasih, dokter Katolik-Tionghoa ini berhasil meraih sejumlah penghargaan dari Kementerian Kesehatan RI hingga WHO (World Health Organization).
Tadi malam, Dokter Michael diundang sebagai narasumber (narsum) diskusi (via Zoom) oleh Perkumpulan Boen Hian Tong, Semarang, yang dikelola oleh sahabatku Pak Harjanto Halim. Karena tertarik, saya sempatkan untuk mengikuti diskusi bertema “Tionghoa Mengabdi” ini.
Dari awal hingga akhir saya mendengarkan dengan seksama kisah-kisah heroiknya selama 13 tahun belakangan ini dalam mengabdi pada kemanusiaan, khususnya para manusia yang hidup mereka tidak beruntung secara finansial-ekonomi, yaitu kaum fakir-miskin, khususnya kaum fakir-miskin kota, baik yang balita maupun lansia, dari berbagai latar belakang etnis dan agama.
“Saya melayani siapa saja yang membutuhkan pengobatan dan pertolongan dari etnis dan agama mana saja: Katolik, Protestan, Muslim, Buddha dan bahkan mereka yang tak beragama atau tidak mengakui Tuhan sekalipun,” paparnya. Dokter Michael yang bernama Tionghoa Tan Kian Gwan ini (mohon maaf kalau saya salah menulisnya) juga melayani kaum fakir-miskin di wilayah atau “kantong-kantong” konservatif-agama.
Awalnya, tak jarang dia dimaki-maki oleh sejumlah orang dituduh melakukan “Kristenisasi” atau dituduh “Cino medit metitit” (pelit) karena hanya memberi sembako, mi instan, atau makanan. Bukan hanya itu saja. Ia juga pernah diusir, dilempar dengan makanan yang ia berikan, atau bahkan diludahi.
Tapi Dokter Michael bergeming. Ia tak memperdulikan semua itu. Ia tetap tersenyum, sabar, tabah, dan terus datang & melayani mereka yang membutuhkan hingga akhirnya mereka menyadari kalau apa yang Dokter Michael lakukan adalah murni pelayanan dan pengabdian kemanusiaan yang didasari pada spirit cinta-kasih tanpa embel-embel ormas, parpol, dan agama tertentu. “Mereka yang dulu sempat mencurigai, membenci, dan memusuhiku, kini jadi mendukungku,” katanya.
Bahkan di era awal Covid (sekitar Maret – Juni, 2020) di saat banyak dokter dan suster tiarap tak mau memberi pelayanan karena takut, ia rela “blusukan” ditemani istri tercintanya yang selalu mendukungnya. “Ditemani istriku, saya keliling membagikan sembako maupun memberi pengobatan gratis pada warga miskin di masa-masa awal Covid,” ungkapnya. “Sekarang ada lebih dari 360an yang menjadi relavan,” tuturnya.
Dokter Michael dan Yayasan Pondok Kasih bahkan tidak hanya bergumul di bidang pengobatan gratis saja tetapi juga bergerak di kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya yang dihadapi warga fakir-miskin kota. Misalnya, membantu usaha mandiri kecil-kecilan, berternak atau bercocok tanam sistem hidroponik dlsb. Ia juga memprakarsai pendirian mushala, sekolah dan “tempat ngaji” untuk anak-anak Muslim yang tinggal di kompleks kumuh. “Saya sering memberi ‘sekolah Minggu’ disini tapi bukan untuk mengkristenkan mereka melainkan untuk berbagi tentang pentingnya cinta-kasih pada sesama umat manusia dan makhluk Tuhan,” terangnya.
***
Apa yang menyebabkan dokter Michael memilih jalan menjadi “dokter gelandangan”? Momen apa yang membuatnya pindah haluan menjadi “dokter keliling” melayani warga miskin kota? Peristiwa apa yang membuat dokter Michael memilih mundur dari jabatannya sebagai wakil direktur RS Adi Husada, Surabaya, dan memilih sebagai “dokter blusukan”?
“Suatu saat,” dokter Michael mengisahkan, “Saya diajak jalan-jalan oleh Ibu Hana Amalia Vandayani, Ketua Yayasan Pondok Kasih, untuk mendatangi warga miskin yang tinggal di tempat-tempat kumuh, kolong jembatan, atau kompleks pemakaman yang sulit mendapatkan akses kesehatan. Di tengah jalan kami memergoki orang tua berpenampilan lusuh dan berjalan “ngesot” terseok-seok mencoba menyeberang jalan raya. Seketika Ibu Hana minta turun dari mobil. Ia kemudian berlari menuju orang tua itu kemudian memeluknya erat dengan penuh kasih. Ibu Hana kemudian mengatakan padaku, orang tua ini dan fakir-miskin lain adalah mutiara Tuhan. Jika kamu merasa mencintai Tuhan, maka cintailah mereka dengan segenap hati dan pikiran.”
Momen itu telah meruntuhkan hati doker Michael. Sesampai di rumah dia menangis sesenggukan hingga sang istri bertanya-tanya. Ada apa? Dipecat dari Rumah Sakit? Dokter Michael kemudian mengisahkan pengalamannya pada istri tercinta. Tak lupa ia mengutarakan maksudnya untuk mengajukan pengunduran diri sebagai wakil direktur RS Adi Husada supaya lebih fokus melayani masyarakat miskin kota yang membutuhkan pertolongan kesehatan dan pengobatan. Maka begitulah ia kemudian bergabung dengan Yayasan Pondok Kasih.
Selama ini, sebelum bergabung dengan Yayasan Pondok Kasih, dokter Michael merasa bersalah karena belum memenuhi “janji seorang dokter” dan belum mengabdi secara maksimal pada warga fakir-miskin. Padahal, ia sendiri berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya adalah penjual pakaian di Pasar Karang Turi, Surabaya. Karena itu mereka hanya bisa menangis saat Micahel remaja mengutarakan niatnya ingin kuliah di Fakultas Kedokteran yang tentunya sangat mahal. Meski orang tua membujuknya untuk mengurungkan niatnya karena tak mampu membiayainya, Michael bergeming. Ia bersikeras ingin menjadi dokter.
Tuhan pun akhirnya mendengar – dan mengabulkan – niat dan keinginannya. Maka, ia pun mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tetapi karena tidak punya uang cukup untuk biaya perjalanan, akhirnya ia pun naik kapal barang dan terlunta-lunta di lautan. Di Manado pun ia sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga supaya dapat tempat untuk tinggal dan makan.
Kini dokter Michael sudah memenuhi janjinya. Ia pun merasa lebih bahagia dengan jalan barunya yang ia tempuh itu. Tak lupa ia berterima kasih pada warga fakir-miskin yang telah membukakan mata-hatinya dan menunjukkan jalan baginya untuk mendapatkan “mutiara-mutiara” Tuhan yang terpendam di tempat-tempat kumuh, panas, dan pengap, bukan di tempat-tempat ibadah yang indah, ber-AC, dan megah.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia