Sedang Membaca
Mengenang Bisri Effendy: Sang Guru yang Mendadak Pergi
Rahman Seblat
Penulis Kolom

Seniman. Tinggal di Depok

Mengenang Bisri Effendy: Sang Guru yang Mendadak Pergi

Bisri Effendy

Tahun 2004 awal saya kenal Bisri Effendy. Awalnya saya diajak seorang kawan yang mengampu jurnal Srinthil, Praminto Moehayat namanya, yang juga pernah sekantor dengan saya di project media wanita Gramedia Majalah di Jawa Timur.

Di sebuah Jalan Kartini arah citayam yang kala itu masih lengang, berdiri sebuah kantor NGO yang fokus di penelitian kebudayaan. Praminto mengajak saya main ke kantor itu yang belakangan saya tahu namanya Desantara.

Lalu saya sering mendatangi Pramd di kantornya, bahkan kemudian menginap di dalamnya. Bertemu dengan orang-orang muda yang masih sangat produktif, juga bertemu Bisri Effendy. Almarhum ternyata adalah kawan dari kakak saya, Wees Ibnoe Say seorang pendongeng dan aktifis NU.

Saya seperti dapat privilege begitu Mas Bisri tahu siapa saya. Lalu jadi bisa leluasa main di Desantara, sambil sesekali dapat job membantu layout, desain kover, dan ilustrasi untuk jurnal Srintil dan majalah Desantara.

Medio 2004- 2008 adalah masa intim saya dengan Desantara. Berkawan dengan orang-orang yang bekerja di dalamnya laiknya saudara. Saya beberapa kali membantu mendesain jurnal Srinthil bersama Pram dan Miftahussurur. Kemudian saya sering ke dapur Desantara, sebuah percetakan yang terletak di pondok labu. Di sana saya bertemu Mas Wawan, menantu Mas Bisri yang mengelola percetakan. Dari hulu sampai hilir, semua masalah terkait penerbitan bisa saya lakukan di bawah payung Desantara.

Baca juga:  Peter Carey: Perjalanan Mistis Mencari Pangeran Diponegoro

Bahkan bisa masuk dapur redaksi majalah Syir’ah di bawah komando Alamsyah Ja’far, yang waktu merupakan media keislaman ‘underbown’ Desantara dan menajdi rival berat dan penyeimbang majalah Sabili sebagai media kanan progresif. Di Syirah saya bertemu Alamsyah, Mujtaba, Hamim Enha, dan Fathuri, Mereka adalah gang Ciputat yang “nyantri” pada Mas Bisri. Sesekali saya membuatkan ilustrasi untuk majalah Syir’ah.

Oh ya, desantara juga pernah menerbitkan jurnal Jalang, tempat saya kemudian kenal Huda dan Reza Tabalong. Jalang setahu saya Jalang adalah wujud ‘kenakalan’ dari  interaksi pemikiran teman-teman santri Desantara dengan mas Kirik Ertanto, seorang peneliti/antropolog dari Jogjakarta.

Pada prosesnya Mas Bisri adalah tempat saya bertanya terkait isu-isu kebudayaan. Di sela waktu sibuk beliau, saya suka mencuri obrolan yang lumayan menambah wawasan cetek saya. Sampai kemudian di akhir tahun 2008 Mas Bisri memutuskan mundur dari Desantara, lalu menggagas lembaga baru yang tetap berusaha menampung pikiran-pikiran teman yang masih konsen di dunia antropologi kebudayaan bernama Tankinaya.

Meski akhirnya tankinaya tidak maksimal karena masing-masing  teman mulai sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi sesekali kita masih bertemu, bertukar pikiran sambil ngopi di Jalan Madrasah laintai atas, rumah tinggal Mas Bisri. Sambil sesekali merepotkan Bu Bisri yang kalau masak ingkung ayam enak sekali.

Baca juga:  Seabad PK Ojong: Tulisan dan Pergaulan

Sampai beberapa waktu lalu, di penghujung 2019, teman-teman alumni Desantara mendadak membuat hajatan. Anak OB Desantara, Pak Basis yang setia, minta sunat.

Kemudian kita beramai-ramai urunan membuatkan hajatan buat anak Mas Basis, sebagai wujud betapa kita masih tetap merasa satu rumah di Desantara. Hajatan itu menjadi pertemuan terakhir kami, keluarga besar eks Desantara dengan Mas Bisri.

Kabar Tadi malam begitu menyentak kami. Di tengah wabah yang membuat kita membatasi silaturahim, datang kabar duka itu. Mas Bisri menghembuskan nafas terakhir di rumahnya, tempat kami sering ngobrol hingga larut malam, padahal kondisi beliau baik-baik saja. Kabarnya bahkan tadi siang beliau masih terlibat di sebuah acara diskusi.

Selamat Jalan Mas BE, Duka mendalam untuk kepergianmu

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top