Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Alquran

Islam secara khusus mengakui adanya pluralitas dan kemajemukan, baik dalam bidang agama, ras, dan kultur sebagai kehendak Allah. Islam hanya tidak mengakui paham pluralisme yang memandang semua agama sama.

Dalam pandangan Islam, yang membedakan seseorang Muslim dan non-Muslim ialah akidahnya yang termanifestasikan dengan memeluk agama Islam. Perbedaan akidah merupakan perbedaan yang fundamental, sehingga menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam.

Dalam konteks Alquran, istilah non-Muslim mengacu kepada apa yang disebut dengan kafir, hal ini dikarenakan mereka tidak mengakui keimanannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kata kafir sendiri secara etimologis memiliki arti menutup diri, melepas diri, menghapus atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterimanya, dan dari segi akidah, kafir berarti orang-orang yang kehilangan imannya. Sementara secara terminologis, pengertian kafir adalah orang yang ingkar terhadap kebenaran Islam.

Sedangkan istilah kafir dalam Alquran merujuk pada suatu perbuatan yang berhubungan secara langsung dengan Allah, namun semua hubungan tersebut bersifat negatif, seperti pengingkari nikmatnya, lari dari tanggung jawab, penolakan atau pembangkangan terhadap hukum Allah, dan menginggalkan amal saleh yang diperintahkan oleh Allah. Secara keseluruhan, dari 525 kali kata kafir dalam berbagai derivasinya, arti yang paling dominan adalah pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya, khususnya kepada Nabi Muhammad beserta ajaran yang dibawanya.

Istilah kafir dengan non-Muslim dalam arti yang luas adalah sama, yakni orang yang tidak menganut agama Islam. Tentu saja maksudnya tidak hanya mengarah pada satu agama saja, tetapi akan mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Sebagaimana firmannya, Alquran menyebut kelompok non-muslim ini secara umum sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang Musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. Al-Hajj 17).

Ulama mengklasifikasikan non-Muslim menjadi dua kelompok, ahl al-harb dan ahl al-‘ahd. Pembagian ini secara khusus mengacu pada firman Allah dalam surat al-Mumtanahan ayat 8-9. Ahl al-harb adalah golongan orang-orang kafir atau non-Muslim yang memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum Muslim. Sikap kaum Muslim terhadap mereka adalah keras disebabkan sikap mereka yang memusuhi dan memerangi Islam.

Baca juga:  Menyerap Kearifan Ustaz Abdul Somad

Sementara itu, ahl al-‘ahd terbagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni ahl al-dzimmah, ahl al-hudnan, ahl al-aman. Ahl al-dzammah adalah non-Mulsim yang menjadi tanggung jawab kaum Muslim karena telah mengadakan perjanjian berupa tunduk dan patuh terhadap ketentuan beserta hukum Allah dan Rasul-Nya seraya menunaikan jizyah dan mereka berdiam di wilayah Islam. Golongan ini menjadi golongan pernan kaum Muslimin, mereka dijamin hidup dengan aman, damai, dan mendapatkan hak dan kewajiban yang secara umum sama dengan penduduk Muslim lainnya, terutama di bidang sosial.

Golongan yang kedua adalah ahl al-hudnan, yaitu non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara Islam. Kelompok ini tidaklah menetap dilingkungan Islam, hanya mengadakan perjanjian perdamaian. Oleh sebab itu, golongan ini tidak menjadi tanggung jawab kaum Muslim, hanya saja kaum Muslim memiliki ikatan baik dalam berhubungan dengan mereka. Terhadap kelompok ini umat Islam diwajibkan untuk menjaga perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah:

 

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Taubat 4).

Dan firman Allah:

Baca juga:  Sebuah Ikhtiar Mencegah Radikalisme di Masjid

Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam[632]? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Taubat 7).

Golongan terakhir adalah ahl al-aman, yaitu non-Muslim yang tinggal di luar wilayah Islam namun memiliki kesepakatan dan perjanjian untuk mendapatkan jaminan keamanan ketika berdiam ke dalam wilayah Islam dalam jangka waktu tertentu. Perbedaan golongan ini dengan golongan lainnya adalah bahwa keberadaan mereka di wilayah Islam bukan bermaksud untuk tinggal selamanya, namun dalam jangka waktu tertentu yang terbatas dan sementara.

Meski Alquran telah memberikan posisi dan batasan yang jelas terkait dengan masalah hubungan antara muslim dan non-Muslim dalam memberikan dan bersikap secara adil, agaknya akan menjadi berbeda jika dilihat dalam konteks keindonesiaan.

Indonesia adalah Negara majemuk yang di dalamnya terdapat keragaman dalam hal agama dan suku, seluruh perbedaan tersebut disatukan oleh asas pancasila sebagai ideologi pemersatu. Meski kenyataannya Islam menjadi agama mayoritas, namun sistem aturan dan landasan hidup di Indonesia bukanlah Islam, melainkan Pancasila yang berbasis pada sistem demokrasi dan hukum.

Baca juga:  Indonesia Tanpa Gus Dur

Sementara itu, dari seluruh rincian dan konsep-konsep yang Alquran berikan tentang masalah hubungan antara Muslim dan non-Muslim, tampaknya istilah yang agak cocok di Indonesia adalah ahl al-dzimmah, karena pertama-tama ia mengacu kepada adanya mayoritas penganut agama di Indonesia adalah Islam, dan suara-suara keadilan yang muncul dalam pergolakan sosial dan intelektual, banyak dilakukan oleh orang-orang Islam.

Meski kenyataannya Indonesia bukan Negara Islam, tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang seluruh aturan dan sistem kenegaraannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang tertuang dalam Alquran, hal ini berbeda dengan apa yang berlaku bagi penganut agama minoritas di mana mereka harus lebih banyak menyesuaikan meski secara doktrin kadang-kadang ajaran mereka tidak sama secara jelas dengan agama mayoritas.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
7
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
5
Terkejut
2

Air Beriak Tanda Tak Dalam

Indonesia Tanpa Gus Dur

Membongkar Misteri 212

Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top