Di antara argumen logis tentang kebolehan berperang dan kekerasan dalam Alquran karena Islam adalah agama yang aktif. Tidak mungkin berperang diperbolehkan jika rasio logisnya mengandaikan bahwa Islam itu sebagai agama yang pasif. Situasi peperangan dan konflik antarsuku ketika Islam lahir juga salah satu sebab penting yang melegitimasi kebolehan melakukan peperangan sekaligus kekerasan itu sendiri.
Tapi perang yang diperbolehkan dalam Alquran selalu mengacu pada jenis pertahanan diri atas tekanan kezaliman atau pembelaan ketika ada ancaman yang datang dari luar. Ini adalah satu-satunya kata kunci untuk memahami konteks historis dan relevansi teks dalam implementasinya di kehidupan nyata, bahwa perang dan kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan ketika agama Islam tidak mendapat ancaman secara langsung, khususnya yang berkaitan dengan ancaman berupa fisik.
Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsubutkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sangat sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam secara luas yang tidak memahami secara baik dan benar. Makna jihad secara bahasa adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harga, jiwa dan pikiran untuk mengalahkan musuh.
Musuh dalam konteks ini bukan hanya sesuatu yang datang dari luar, tetapi juga yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Sebagaimana umumnya diketahui bahwa dalam setiap jiwa manusia terdapat dua unsur sekaligus, yakni kebajikan dan keburukan yang sama-sama sebanding. Jihad dalam pengertian di atas mengacu pada pengendalian kebajikan dan sedapat mungkin menghindari keburukan, baik pada tingkat individu, masyarakat dan negara.
Kendati makna jihad itu beragam, seperti jihad dalam pengertian menghadapi musuh yang nyata, jihad dalam menghadapi setan dan jihad menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri setiap manusia. Namun demikian, jihad yang paling pokok dan utama adalah bagaimana setiap pribadi muslim dapat menghadapi nafsu dalam dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Nabi Saw,
“ Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang paling besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.
Sabda Nabi Muhammad Saw. ini disampaikan beliau ketika baru saja kembali dari medan peperangan. Dalam konteks sabda Nabi ini, jihad tidak ada kaitan sama sekali dengan kekerasan, apalagi terorisme. Memang, ada ayat-ayat yang mengarah pada kebolehan berperang, tetapi ayat itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang sedang menghadapi kezaliman berupa ancaman-ancaman fisik dari luar. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk melakukan peperangan atau laku kekerasan terhadap non-muslim ketika tidak dalam situasi yang benar-benar genting semacam peperangan dan ancaman lainnya.
Itu artinya, memahami jihad hanya dalam bentuk perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah sebuah kekeliruan. Sejarah menunjukkan, Rasulullah sudah sedari awal diperintahkan untuk berjihad, yakni ketika beliau masih berada di Makah. Perintah berjihad ini jauh sebelum diperbolehkannya mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, dengan meledaknya perang Badar, peristiwa perang ini terjadi setelah turunnya ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata, seperti dalam QS. Al-Hajj 22:39-40.
Ayat dalam surat al-Hajj 22:39-40 ini menunjukkan dengan jelas bahwa perang yang diperbolehkan adalah hanya dalam rangka mempertahankan diri, agama dan tanah air. Fitrah manusia juga sebenarnya tidak pernah menginginkan dan menyukai kekerasan, bahkan peperangan itu sendiri. Justru umat manusia lebih mendambakan perdamaian dan kehidupan yang harmonis, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah 2: 216.
Hubungan antara Islam dan di luar Islam pada prinsipnya dibangun atas dasar cinta perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, jika ada pihak yang memusuhi Islam secara sepihak atas dasar semata-mata tidak suka, atau malah pada akhirnya mengumandangkan perang kepada umat Islam, maka Islam mengizinkan peperangan itu. Sebab Islam agama yang aktif, agama reaksioner dan selalu ada tanggapan aktif atas segala sesuatu yang datang dari luar. Bukan malah pasif dan pasrah dengan keadaan yang justru akan menghancurkan Islam itu sendiri, baik dari luar atau dari dalam.
Sebagai perbandingan, perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang bahkan paling toleran sekalipun, seperti tergambar dalam Injil Matius 5: 39 “Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri”, juga mengizinkan berperang dalam situasi di mana umatnya sedang dalam bahaya, seperti terungkap dalam Injil Lukas 12: 49-52 dan 22: 35: 38.
Boleh dikata, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh memulai peperangan kecuali jika non-muslim lebih dulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada serangan dan ancaman. Adalah sebuah kekeliruan jika orang-orang Barat memandang bahwa Islam jaya di atas pedang dan Islam tersebar dengan jalan pedang.
Jihad, oleh sebab itu, lebih mengacu pada prinsip pertahanan diri, menahan diri dan selalu waspada terhadap apa-apa yang datang dari luar. Jihad dalam pengertian ini amat bertolak belakang dengan terorisme, yang secara bahasa berarti menimbulkan kengerian pada orang lain yang umumnya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.
Jihad dalam pengertian perang yang diizinkan adalah bertujuan untuk melindungi agama dan kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama dan tidak ada paksaan dalam beragama, seperti tertuang dalam QS. Al-Baqarah 2: 256 dan QS. Al-Kahfi 18: 29.